Nasional

Soal Aset Jiwasraya-Asabri, Pakar Sebut Penyitaan dan Perampasan Berbeda

Jakarta – Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Dr Eva Achjani Zulfa menjelaskan, bahwa penyitaan dan perampasan di dalam KUHAP adalah istilah yang berbeda. Maka dari itu, Kejaksaan selaku penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan kedua upaya tersebut dalam rangka pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi.

Pernyataan tersebut disampaikan Eva menyikapi polemik abuse of power penegak hukum soal perampasan aset dalam kasus Jiwasraya-Asabri yang diduga serampangan. “Penyitaan dan perampasan di dalam KUHAP adalah istilah yang berbeda, tindakannya juga tidak sama antara penyitaan dan perampasan,” kata Eva seperti dikutip di Jakarta.

Menurut dia, barang yang disita adalah barang yang berkaitan dengan tindak pidana, barang hasil dari tindak pidana, barang yang dipakai untuk satu tindak pidana, atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana. 

“Nah, di luar itu barang-barang yang tidak berhubungan langsung,  yang tidak ada kaitannya dan tidak dipakai untuk satu tindak pidana, yang bukan merupakan hasil dari tindak pidana, tidak boleh disita. Kita kan membacanya kontra riil seperti itu. Karena memang tujuannya  terbatas untuk mencari barang bukti dari suatu tindak pidana,” ucap dia.

Ia menegaskan bahwa penyidik harusnya melakukan verifikasi atau klasifikasi secara detil terhadap suatu barang sehingga dapat diketahui dengan pasti barang tersebut terkait atau tidak dalam suatu tindak pidana.

“Saya rasa, dalam kasus ini (Jiwasraya-Asabri) tindakan klasifikasi atau verifikasi aset tidak bekerja. Padahal penyidikan itu seharusnya bukan hanya sekedar investigasi membuktikan unsur, tapi juga proteksi oleh mereka sebagai alat negara yang menjaga hak-hak masyarakat yang menjadi korban dari sistem. Untuk itulah penyidik wajib meng-coding alias memilah barang atau aset-aset yang disita,” ujar Eva.

“Sehingga jika diketahui ada barang milik pihak ketiga yang kemudian tersita, maka seharusnya harus dikembalikan segera ke pemiliknya, ini kaitannya dengan the rights of property dalam HAM yaitu hak untuk memiliki sesuatu dan menggunakannya, termasuk pula hak untuk membeli maupun menjual sesuatu.”

Eva pun mengkritisi penggunaan Pasal 45 KUHAP yang menjadi dasar Kejaksaan Agung melelang sejumlah aset yang diduga terkait perkara Asabri. Kata dia, pelelangan bisa dilakukan sekali atas izin hakim namun juga harus izin terdakwa ataupun kuasanya. “Perlu diingat KUHAP membatasi bahwa yang dapat dirampas adalah  terbatas pada barang yang dapat dibuktikan berasal atau terkait erat dengan kejahatan (korupsi),” ujarnya.

Sementara kuasa hukum nasabah WanaArtha, Palmer Situmorang menila,i penyidikan kasus Jiwasraya yang dilakukan kejaksaan terselip sebuah agenda. “Saya melihat terdapat suatu agenda, baik yang disadari atau yang tidak disadari oleh penyidik Kejaksaan, seperti ada euforia ingin mengejar target di publik. “Oh, kami sudah menyita banyak, sebanyak banyaknya, bahkan dengan pongahnya mereka menyebut tidak perlu dicari untuk biaya atau untuk menutup biaya negara atas kerugian yang dikumpulkan,” tegas Palmer.

Ia pun menilai bahwa penegakan hukum kejaksaan itu tidak lagi bisa memilah mana kekayaan tersangka atau terdakwa dan mana yang bukan. Menurutnya, yang pertama dilanggar oleh penyidik adalah penyitaan aset para kliennya itu dengan melibatkan atau dengan sepengetahuan dari pemilik rekening.

“Bahkan sampai sekarang, sampai putusan pengadilan sama sekali tidak melibatkan pemilik rekening, padahal itu wajib! Kejaksaan ternyata hanya minta persetujuan oleh OJK. Cara seperti ini jelas melanggar KUHP. Tidak patut itu dilakukan, ini membuktikan bahwa jaksa telah mendegradasi pikiran obyektifnya,” paparnya.

Palmer menambahkan, bahwa pasal 19 undang-undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999 jelas dan gamblang menyebut barang bukti yang bukan milik tersangka tidak dikenakan perampasan. “Kemudian jaksa memaksa untuk dirampas itu sudah jelas ada pelanggaran lagi. Di kejaksaan terjadi pelanggaran, di pengadilan terjadi pelanggaran. Karena ini kan perkara pidana, kebenaran harus tetap menjadi kebenaran materil. Tidak boleh kebenaran itu disabotase,” katanya. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

PLN Perkuat Kolaborasi dan Pendanaan Global untuk Capai Target 75 GW Pembangkit EBT

Jakarta - PT PLN (Persero) menyatakan kesiapan untuk mendukung target pemerintah menambah kapasitas pembangkit energi… Read More

12 hours ago

Banyak Fitur dan Program Khusus, BYOND by BSI Raih Respons Positif Pasar

Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More

17 hours ago

Pekan Kedua November, Aliran Modal Asing Keluar Indonesia Sentuh Rp7,42 Triliun

Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More

19 hours ago

IHSG Sepekan Turun 1,73 Persen, Kapitalisasi Pasar Bursa jadi Rp12.063

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More

20 hours ago

Top! Baru Setahun, Allianz Syariah Sudah jadi Market Leader

Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More

1 day ago

BPR Syariah BDS Serahkan Cash Waqf Linked Deposit Rp111 Juta ke Warga Yogyakarta

Jakarta - PT BPR Syariah BDS berkomitmen untuk memberikan pelbagai dampak positif bagi nasabahnya di Yogyakarta dan… Read More

2 days ago