Jakarta – Akhir-akhir ini wacana publik dihangatkan dengan isu mengenai upaya Singapura dalam merespon kebijakan amnesti pajak yang baru saja diberlakukan Indonesia. Pasalnya, Singapura ingin menghadang Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin mamanfaatkan tax amnesty ini.
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menyarankan, agar sebaiknya pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini untuk segera melakukan langkah perbaikan yang nyata. Mengingat amnesti pajak adalah program nasional yang amat penting, maka diperlukan berbagai upaya yang harus dilakukan pemerintah terkait tax amnesty ini.
Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo menilai, langkah yang diambil beberapa pihak di Singapura merupakan hal yang lumrah dan tidak melanggar hukum. Negara mana pun tentu akan berupaya mempertahankan eksistensinya sebagai reaksi terhadap kebijakan negara lain yang berpotensi merugikan kepentingannya.
“Apa yang dilakukan Singapura bukanlah hal yang tiba-tiba dan reaktif. Justru mereka sudah dengan cermat berhitung dan menyusun langkah-langkah antisipasi terhadap inisiatif global untuk menangkal praktik penghindaran pajak yang agresif,” ujar Yustinus, dalam keterangannya, di Jakarta, Senin, 25 Juli 2016.
Menurutnya, upaya Singapura untuk menghadang tax amnesty tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi bereaksi yang cenderung emosional dan tidak terukur. Justru upaya menjegal pelaksanaan amnesti pajak menjadi tantangan konkret bagi Pemerintah untuk menempatkan amnesti pajak dalam kerangka reformasi fiskal dan moneter yang komprehensif.
“Masih buruknya perencanaan dan tata kelola fiskal dan moneter kita merupakan insentif cuma-cuma yang kita berikan kepada negara lain untuk memfasilitasi dana milik WNI yang mencari kepastian dan kenyamanan,” tukasnya.
Sedangkan di sisi lain, pernyataan dan penegasan Presiden Jokowi bahwa amnesti pajak berfokus pada repatriasi dana merupakan harga mati bagi kesuksesan program ini. Visi Presiden tersebut sudah sepantasnya didukung komitmen dari seluruh institusi pemerintahan dan segenap rakyat Indonesia.
Untuk itu, kata dia, amnesti pajak harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia dengan mudah dan pasti. “Peraturan turunan, standar pelayanan, teknis pelaksanaan, dan tindak lanjut harus dipastikan tersedia dengan baik. Segala bentuk penyimpangan tidak dapat ditolerir demi kredibilitas amnesti pajak,” ucapnya.
Pemerintah juga harus segera meresponnya dengan merumuskan kebijakan taktis dan strategis. Hal jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah adalah menerbitkan payung hukum yang memuat peta jalan reformasi hukum, fiskal dan moneter secara komprehensif, peningkatan kepastian hukum dan koordinasi antarlembaga penegak hukum, debirokratisasi, dan implementasi paket kebijakan ekonomi.
“Reformasi perpajakan yang memuat revisi UU Perpajakan yang lebih berkepastian dan berkeadilan, pembenahan administrasi perpajakan, peningkatan kompetensi dan integritas aparatur pajak, dan transformasi kelembagaan, harus segera mengiringi amnesti pajak,” paparnya.
Pemerintah perlu menegaskan keberpihakan pada penguatan perbankan nasional. Untuk itu sudah layak dan sepantasnya amnesti pajak ini menjadi kesempatan untuk Bank-bank BUMN ambil bagian yang utama dan pertama, sambil diberi kesempatan untuk berkembang. Jika bank-bank BUMN tidak sanggup menampung dan menyalurkan dana repatriasi, kesempatan dapat diberikan kepada Bank Swasta Nasional.
Presiden juga perlu menginstruksikan kementerian dan lembaga terkait, termasuk Pemerintah Daerah, untuk menyesuaikan diri dan memfasilitasi proses investasi terutama di sektor riil yang berdampak luas. Soal kenyamanan wajib pajak merupakan tantangan dan seyogianya tidak menjadi hal yang dibesar-besarkan.
“Pengorbanan dan kemurahan hati Pemerintah sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk meminta fasilitas yang tidak pada tempatnya,” tambahnya.
Dia mengungkapkan, hal yang belum terselesaikan dan ditunggu kepastiannya oleh masyarakat wajib pajak adalah koordinasi kelembagaan antara Pemerintah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kerahasiaan data amnesti dan LHKPN, dengan PPATK terkait kewajiban pelaporan transaksi dan pengenalan nasabah, dan IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) terkait pengungkapan harta dalam rangka amnesti dan opini serta kewajiban pernyataan kembali oleh akuntan publik. Tanpa memberi kepastian terkait tiga hal ini, amnesti pajak dikhawatirkan tidak akan optimal.
Untuk mengawal program amnesti pajak yang merupakan program penting pemerintahan Presiden Jokowi, perlu segera dibentuk satuan tugas multipihak yang bersifat independen dan bebas intervensi, dengan tugas menerjemahkan visi Presiden, mengawal pelaksanaan amnesti pajak, mencegah terjadinya moral hazard, memantau repatriasi dan investasi, dan memastikan agenda reformasi pajak dijalankan dengan baik.
“Sehingga pasca amnesti sistem perpajakan baru telah siap dijalankan sehingga menjamin keberlanjutan penerimaan pajak bagi pembangunan,” tutup Yustinus. (*)
Editor : Apriyani
Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More
Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More
Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengapresiasi kesiapan PLN dalam… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan telah melaporkan hingga 20 Desember 2024, Indonesia Anti-Scam… Read More
Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) membidik penambahan sebanyak dua juta investor di pasar… Read More