Analisis

Siapa Cepat Melawan Disruption

 

Oleh : Karnoto Mohamad

Perusahaan go public yang masuk dalam 100 fastest growing companies berhasil mencatat kinerja yang moncer. Para pelaku bisnis harus cermat membaca tren. Sebab, pasar sangat dinamis dengan persaingan makin ganas. Brand dan reputasi tak bisa menolong perusahaan tergilas oleh persaingan.

Jakarta – Lanskap dunia bisnis berubah cepat dalam lima tahun terakhir. Di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global, muncul perusahaan-perusahaan rintisan (start up) yang tumbuh dengan sangat cepat dan memiliki valuasi yang fantastis. Contohnya ialah Tokopedia, perusahaan aplikasi jual beli online yang berdiri pada 2009, pada Agustus lalu mendapatkan investasi sebesar US$1,1 miliar (Rp14 triliun) dari Alibaba, raksasa e-commerce dari Tiongkok. Sebelumnya, Go-Jek yang berdiri pada 2015, perusahaan aplikasi transportasi online, belum lama juga kembali mendapatkan guyuran US$1,2 miliar (Rp16 triliun) dari investor asal Tiongkok.

Besarnya valuasi sejumlah perusahaan start up seperti menampar perusahaan-perusahaan yang sebelumnya menguasai pasar, tapi kini harus bekerja keras mempertahankan bisnisnya. Sebut saja yang dialami PT Blue Bird Tbk, perusahaan operator taksi yang berdiri pada 1972 dan go public pada 2014. Blue Bird yang sudah puluhan tahun merajai bisnis taksi kini harus bertahan melawan serbuan taksi online berbasis aplikasi, seperti Go-Car, Grab, dan Uber. Dengan penguasaan market share 35%, tahun lalu Blue Bird masih bisa mencetak untung, kendati mengalami penurunan, baik dari sisi pendapatan usaha maupun maupun labanya.

Jika Blue Bird terkena “tanduk” taksi online tapi selamat, berbeda dengan yang dialami PT Express Transindo Utama Tbk, operator taksi yang berdiri sejak 1989 dan go public pada 2011. Menurut Biro Riset Infobank (birI), akibat tersapu angin technology disruption, kinerja keuangan Express pada 2016 memerah dengan cepat. Padahal, pada 2015 tidak ada tanda-tanda darurat bisnis taksi dan Express berhasil membukukan pendapatan Rp970 miliar dengan laba Rp32 miliar. Namun, pada 2016, pendapatan usaha Express anjlok menjadi Rp618 miliar dan mencatat kerugian Rp185 miliar.

Sebelum menutup 2016, dua direksi dan empat komisaris mengundurkan diri karena pesimistis bisa memulihkan kinerja keuangan perusahaan pada 2017 akibat serbuan taksi online. Per semester pertama, pendapatan Express anjlok menjadi Rp158 miliar dan kerugiannya mencapai Rp130 miliar. Selain sudah merumahkan lebih dari 250 karyawannya untuk efisiensi, Express berusaha menyasar segmen lain, yaitu angkutan wisata, bekerja sama dengan sejumlah hotel untuk mencetak pendapatan usaha.

Selain menghantam sebagian perusahaan taksi konvensional, technology disruption mulai menggoyang sektor ritel. Peritel besar seperti PT Matahari Putra Prima Tbk dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk tahun ini harus menutup beberapa gerainya yang sepi pengunjung untuk mempertahankan kinerja keuangan perseoran. Penutupan gerai merupakan langkah efisiensi dari sisi operasional, tapi bisa menjadi pertanda kinerja keuangan yang kurang sehat. Kendati kedua perusahaan ritel ini masih mampu mencetak pertumbuhan pendapatan dan laba, peritel ini harus memikirkan kelangsungan kinerja keuangannya.

Para eksekutif di perusahaan ritel Indonesia harus cermat membaca tren. Di Amerika Serikat (AS) toko online telah melumpuhkan ritel konvensional. Macy’s yang merupakan pusat perbelanjaan favorit warga AS telah mengumumkan akan menutup cabangnya di 68 lokasi berbeda sepanjang 2017. Toko sepatu seperti Payless dikabarkan telah menutup 808 cabangnya, begitu juga Crocs yang menutup 160 cabangnya. Diperkirakan, lebih dari 6.000 toko ritel di AS dikabarkan akan tutup sepanjang 2017.

Di Indonesia penurunan omzet gerai-gerai ritel bukan karena faktor lemahnya daya beli masyarakat. Faktanya, konsumsi masyarakat yang menyumbang 55% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih tumbuh di kisaran 4,8% hingga 5%. Namun, gejala perubahan perilaku masyarakat, baik dalam membelanjakan uangnya maupun cara berbelanja, sudah sangat terlihat. Berbeda dengan penguatan daya beli masyarakat yang bisa ditunggu sambil melakukan efisiensi, perubahan perilaku berbelanja dan cara masyarakat mengeluarkan uangnya harus direspons dengan inovasi atau transformasi bisnis proses.

Menurut kajian Biro Riset Infobank (birI), bertajuk “100 Fastest Growing Companies 2017”, transformasi dan inovasi bisnis akan menjadi kunci kelangsungan kinerja fundamental perusahaan terbuka. Ini merupakan tantangan perusahaan-perusahaan go public. Seperti apa potret kinerja perusahaan go public? Perusahaan mana saja yang membukukan pertumbuhan tercepat? Simak laporan utama majalah Infobank yang mengupas kinerja 57 perusahaan go public dalam edisi 100 Fastest Growing Companies 2012-2016 yang terbit awal November 2017.(*)

Apriyani

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

8 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

8 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

10 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

10 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

12 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

12 hours ago