Perbankan

Siapa Bilang Untung Perbankan Ketebalan?

Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

PEMERINTAH Kembali mempersoalkan net interest margin (NIM) perbankan yang dianggap terlalu tebal. Padahal, banyak bankir sendiri sedang bekerja keras untuk mempertahankan NIM yang menunjukkan tren menurun sejak 2016. Menurut Biro Riset Infobank, NIM industri perbankan menurun dari 5,63% pada 2016, 5,32% pada 2017, 5,14% pada 2018, 4,80% pada 2019, 4,32% pada 2020, 4,51% pada 2021, dan 4,71% pada 2022.

Jika keuntungan perbankan di tanah air terlalu tebal juga tidak benar. Sebab, kemampuan bank-bank terutama yang di papan bawah dalam mengakumuasi keuntungan dalam satu dekade terakhir jauh lebih kecil dibandingkan besaran modal yang harus disuntikkan untuk memenuhi ketentuan modal minimum Rp3 triliun pada 2022 lalu.

Ambil contoh Bank Index Selindo, yang modal intinya pada 2021 sebesar Rp1,47 triliun dan pemegang sahamnya bersedia menambah modal Rp1,53 triliun hingga memenuhi modal intinya Rp3 triliun pada 2022. Kendati mencatat NIM bank ini rata-rata 4,92% selama lima tahun terakhir, namun kemampuan Bank Index Selindo mengakumulasi laba selama 10 tahun hanya Rp900 miliar.

Kemudian, Bank Mayora yang modal intinya pada 2021 sebesar Rp1,14 triliun dan untuk memenuhi modal minimum Rp3 triliun pada 2022 harus menambah Rp1,86 triliun, tujuh kali lipat dari laba yang dibukukan selama 10 tahun sejak 2011 yang hanya sebesar Rp264,53 miliar.

Maka, sulit dibilang keuntungan perbankan ketebalan, karena dibandingkan margin di sektor bisnis lain masih jauh menarik. Lihat saja Bank Mayora yang kendati mencatat NIM rata-rata 4,07% selama lima tahun terakhir, namun keuntungannya masih kalah menarik dibanding Mayora Indah yang bergerak di bisnis pengolahan makanan dan minuman. Rata-rata return return on equity (ROE) dan return on asset (ROA) Bank Mayora selama lima tahun hanya 0.50% dan 2.35%.

Sedangkan Mayora Indah mampu mencatat ROE dan ROA selama lima tahun rata-rata 22,17% dan 11,16% dengan margin kotor sebesar 27,93%. Makanya, ketika Bank Negara Indonesia (BNI) datang meminang gayung pun langsung bersambut. Jogi Hendra Atmadja mempersilahkan BNI untuk menjadi juragan baru di Bank Mayora tahun lalu.

Begitu juga Bank MNC dan Bank Nationalnobu. Lima tahun terakhir kedua bank ini berhasil mencetak laba positif. Namun, akumulasi labanya selama 10 tahun terakhir masih negatif atau karena kerugian yang pernah dialami pada 2017 (dan 2016 untuk Bank Nationalnobu). Karena profitabilitas yang kurang menarik, sang pemilik yang merupakan konglomerat kaya seperti enggan menambah modal banknya yang masih di bawah Rp3 triliun. Bank MNC dimiliki Hary Tanoesoedibjo sementara Bank Nationalnobu dimiliki keluarga Mochtar Riady. Jika banknya memiliki untung yang tebal, apa susahnya bagi kedua konglomerat ini menyuntikkan modal daripada memenuhi permintaan OJK untuk melakukan merger.

Para pengusaha sangat menyadari bahwa kebutuhan modal di bisnis bank sangat padat selain aturannya makin ketat. Setiap kali aset tumbuh, saat itu saat itu juga bank harus menambah modal. Sementara, marginnya tipis dengan risiko yang dihadapi sangat kompleks. Makanya, sebelum pandemi pun ketika ada bank yang mencari investor strategic pun tidak banyak pengusaha kaya di Indonesia yang tertarik mengambil kesempatan. Karena bisnis bank tidak lagi menarik seperti pada era 80-an dan awal 90-an.

Dan jangan bandingkan NIM perbankan Indonesia dengan negara-negara maju seperti di Eropa, Singapura, Korea Selatan, atau Jepang, yang rasio kredit terhadap produk domestic bruto (PDB) sudah di atas 100%. Bahkan, di Malaysia dan Thailand pun masing-masing sudah 134% dan 160%. Rasio kredit terhadap PDB Indonesia baru 45%, dan di semua negara dengan financial deepening masih dangkal memang NIM perbankannya tebal dan surga masih ada di telapak kaki para bankir.

Negara-negara mana saja yang NIM perbankannya sangat tebal dan mengapa NIM perbankan Indonesia masih relatif tebal dan berada dalam urutan ke-31 tertebal di dunia? Seperti apa kemampuan bank-bank dalam mengakumulasi keuntungan dan memenuhi ketentuan permodalan minimum? Dan simak juga hasil survei digital brand selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 539 Maret 2023. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

6 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

6 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

8 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

8 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

10 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

10 hours ago