News Update

Siapa Bertahan di Zona Merah?

Permodalan menjadi isu penting ketika perusahaan-perusahaan pembiayaan kembali dihantui penurunan pembiayaan, digerogoti kredit macet, maupun laba anjlok. Tahun lalu 116 perusahaan pembiayaan menderita penurunan laba, bahkan 40 di antaranya merugi. Siapa mampu bertahan di musim paceklik dan perusahaan pembiayaan mana yang harus menambah modal? Karnoto Mohamad

Jakarta –  Para pelaku bisnis di industri multifinance/perusahaan pembiayaan sedang pontang-panting. Musim paceklik belum berlalu dan para praktisi di perusahaan-perusahaan pembiayaan terus sibuk mempertahankan kualitas asetnya yang telah digerogoti kredit macet.

Di tengah tantangan mengarungi musim paceklik yang terjadi sejak 2014 hingga saat ini, perusahaan-perusahaan pembiayaan harus melaporkan tingkat kesehatan keuangannya berdasarkan beleid baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Surat Edaran (SE) Nomor 1/SEOJK.05/2016, pengukuran tingkat kesehatan keuangan perusahaan pembiayaan meliputi rasio permodalan, kualitas piutang pembiayaan, rentabilitas, dan likuiditas.

Kendati OJK memberi toleransi dari seharusnya berlaku per Juni 2016 diundur menjadi per September depan, banyak pelaku di industri multifinance tetap berkeluh. “Cukup menyulitkan. Kami harus mempersiapkan modal lebih,” keluh seorang petinggi di sebuah perusahaan pembiayaan kepada Infobank, bulan lalu. Perusahaan yang bermodal memadai pun masih ada tantangan lain. “Sekarang ekonomi sedang lesu. Bagaimana berpikir kualitas aset tetap terjaga dan capital tetap produktif pun tidak mudah,” sergah praktisi multifinance lain kepada Infobank.

Kendati demikian, Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), mengatakan bahwa mayoritas anggotanya tidak mengalami persoalan. “So far tidak ada masalah. Regulator pun cukup memahami dan sebagian besar perusahaan pembiayaan bisa memenuhi aturan baru,” ujar Suwandi kepada Infobank, Juli lalu.

Menurutnya, yang menjadi tantangan lebih bagaimana menjaga kualitas pembiayaan agar tidak menurun, apalagi pembiayaan baru pun masih sulit dilakukan karena daya beli masyarakat yang lemah. “Kredit macet pasti naik karena pembiayaan baru menurun,” akunya.

Menurut data OJK, saat ini ada 17 perusahaan pembiayaan yang non performing financing (NPF)-nya tinggi dan sekarang sedang melakukan restrukturisasi dan mencari investor baru. “Tetapi, secara umum tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hingga Juni, NPF multifinance masih di bawah 3%. Nyaris tidak ada pergerakan dari posisi akhir tahun lalu,” ujar Dumoly F. Pardede, Deputi Komisioner OJK, kepada Novita Adi Wibawanti dari Infobank, bulan lalu. Yang menjadi isu krusial justru masalah permodalan. “Ini (regulasi OJK) akan memacu multifinance untuk meningkatkan modal mereka. Sekaligus untuk mendorong multifinance melakukan initial public offering (IPO) atau rights issue,” imbuh Dumoly.

Sebelumnya, ketentuan permodalan perusahaan pembiayaan cukup enteng karena perusahaan pembiayaan hanya wajib memiliki modal sendiri minimal 50% dari modal disetor. Dengan hitungan ini, Biro Riset Infobank (birI) mencatat hanya segelintir perusahaan pembiayaan yang tak mampu memenuhi ketentuan itu karena mengalami kerugian besar dua tahun terakhir. Sekarang perusahaan pembiayaan wajib memiliki rasio per-+modalan minimal 10% dari aset yang disesuaikan atau aset perusahaan dikalikan dengan bobot risiko. Konsekuensinya, setiap kucuran pembiayaan baru harus dibarengi dengan penambahan modal. Baik dalam kondisi rugi maupun bisnisnya tumbuh, perusahaan harus memiliki modal memadai sesuai dengan ketentuan.

Apalagi, tingkat permodalan juga akan menentukan kemampuan perusahaan pembiayaan dalam mendapatkan pinjaman. Misalnya, jumlah pinjaman subordinasi yang dibatasi maksimal 50% dari modal disetor dengan jangka waktu paling singkat lima tahun. Artinya, ketika ingin berekspansi dalam pembiayaan dan membutuhkan pinjaman, perusahaan pembiayaan harus memiliki permodalan memadai.

Jika bisnisnya tidak bisa tumbuh dan pendapatan operasionalnya stagnan, apalagi menurun, perusahaan pembiayaan akan tertekan oleh biaya operasional. Imbasnya tidak hanya menggerogoti laba, tapi juga faktor rentabilitas, seperti biaya operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional (BO/PO), return on asset (ROA), dan return on equity (ROE). Padahal, rentabilitas menjadi salah satu faktor penentu tingkat kesehatan perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan yang tidak sehat sulit dipercaya investor atau bank untuk memberikan pinjaman dan tentunya akan mendapatkan teguran bahkan sanksi regulator.

Biro Riset Infobank memprediksi, tahun ini masih menjadi musim paceklik yang membuat industri multifinance masih sulit mencetak pertumbuhan laba. Pada 2015 laba industri multifinance anjlok 17,20%, dalam hal ini ada 83 perusahaan pembiayaan yang menyumbang penurunan itu. Sedangkan dari sisi pembiayaan secara industri menurun 0,02% dan ada 97 perusahaan pembiayaan yang menyumbang penurunan itu.

Pada 2016 upaya industri multifinance terancam mengulangi pertumbuhan negatif lagi. Per Mei pertumbuhan pembiayaan multifinance tumbuh minus 0,36%. Sampai dengan akhir tahun, APPI pun hanya berani menargetkan pertumbuhan pembiayaan 3% sampai dengan 5%.

Karena kue pasar yang stagnan, perusahaan-perusahaan pembiayaan akan bertarung secara panas, terutama memperebutkan pembiayaan konsumen (consumer financing) yang sebagai mesin utama pertumbuhan bisnis tapi kuenya stagnan. Tiga tahun terakhir, penjualan domestik kendaraan bermotor roda empat (mobil) maupun roda dua (sepeda motor) yang menjadi pasar utama pembiayaan multifinance terus menurun. Tahun lalu penjualan mobil domestik anjlok 16% menjadi 1,01 juta unit. Begitu juga dengan penjualan sepeda motor yang tahun lalu hanya 6,50 juta unit atau lebih rendah daripada penjualan 2014 dan 2013 yang masing-masing sebanyak 7,86 juta unit dan 7,74 juta unit.

Tahun ini penjualan mobil relatif stagnan dengan volume sebanyak 1,05 juta sebagaimana diprediksi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Penjualan mobil pada enam bulan pertama tahun ini sebanyak 531.929 unit atau naik tipis 1,22% dari semester satu tahun lalu yang sebanyak 525.491.

Pelemahan penjualan masih berlanjut di segmen sepeda motor. Tahun lalu penjualan sepeda motor dalam negeri hanya 6,5 juta unit, lebih rendah daripada penjualan 2014 yang masih sebanyak 7,9 juta unit. Tahun ini, dari target penjualan sepeda motor nasional sebanyak 6,5 juta unit, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) sudah merevisi menjadi hanya 6 juta. Alasannya, kinerja penjualan sepeda motor per semester satu tahun ini hanya 3,11 juta atau anjlok 4,8% dari pencapaian pada semester satu tahun lalu.

Perlambatan penjualan kendaraan bermotor tidak hanya disebabkan oleh kondisi ekonomi makro dan melemahnya daya beli masyarakat, tapi juga density kendaraan bermotor, terutama roda dua yang makin rendah. Kondisi ini memberi aba-aba bagi pelaku industri multifinance untuk tidak lagi mengandalkan pertumbuhan bisnis dari sektor otomotif dan mendiversifikasi usahanya ke bidang pembiayaan lain.

Lagi pula, keran usaha industri multifinance telah dibuka lebar melalui Peraturan OJK Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Beleid ini menjadi payung hukum, dalam hal ini kegiataan usaha perusahaan pembiayaan tidak lagi hanya pembiayaan konsumen, sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), dan kartu kredit, seperti yang selama ini dilakukan. Perusahaan pembiayaan diberi peluang untuk melaksanakan usaha pembiayaan multiguna, jual dan sewa balik, modal kerja, hingga investasi. Perusahaan pembiayaan juga diberi kesempatan melakukan pembiayaan proyek dan infrastruktur serta menjadi penyalur kredit program pemerintah, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Pembiayaan infrastruktur dan UMKM merupakan pasar terbesar yang bisa dilirik oleh pelaku industri multifinance. Untuk menggarap pasar ini, perusahaan pembiayaan harus memperkuat modal dan kemampuan untuk memitigasi risiko. Selain bisa memperlebar lini bisnisnya, rasio permodalan dan kualitas aset adalah bobot terbesar apakah sebuah perusahaan pembiayaan dikatakan sehat dan aman di mata perbankan dan investor di market. Dengan kinerja keuangan yang sehat dan dipercaya pasar, perusahaan pembiayaan berpeluang untuk menjaring potensi dana repatriasi tax amnesty melalui penjualan surat utang.

Seperti apa kinerja perusahaan pembiayaan, dan bagaimana proyeksiya tahun ini? Ikuti ulasan lengkapnya di Majalah Infobank Edisi Rating 173 Multifinance versi Infobank 2016 yang terbit awal Agustus 2016. (*)

Apriyani

Recent Posts

Evelyn Halim, Dirut SG Finance, Raih Penghargaan Top CEO 2024

Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More

2 hours ago

Bos Sompo Insurance Ungkap Tantangan Industri Asuransi Sepanjang 2024

Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More

3 hours ago

BSI: Keuangan Syariah Nasional Berpotensi Tembus Rp3.430 Triliun di 2025

Jakarta - Industri perbankan syariah diproyeksikan akan mencatat kinerja positif pada tahun 2025. Hal ini… Read More

3 hours ago

Begini Respons Sompo Insurance soal Program Asuransi Wajib TPL

Jakarta - Presiden Direktur Sompo Insurance, Eric Nemitz, menyoroti pentingnya penerapan asuransi wajib pihak ketiga… Read More

4 hours ago

BCA Salurkan Kredit Sindikasi ke Jasa Marga, Dukung Pembangunan Jalan Tol Akses Patimban

Senior Vice President Corporate Banking Group BCA Yayi Mustika P tengah memberikan sambutan disela acara… Read More

5 hours ago

Genap Berusia 27 Tahun, Ini Sederet Pencapaian KSEI di Pasar Modal 2024

Jakarta - PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat sejumlah pencapaian strategis sepanjang 2024 melalui berbagai… Read More

5 hours ago