Oleh Eko B. Supriyanto
LORONG yang gelap. Itulah prediksi International Monetary Fund (IMF) terhadap ekonomi global. Sulit diprediksi. Hantu stagflasi ada di mana-mana. Kondisi ekonomi global tahun depan tidak lebih baik dibandingkan dengan 2022 ini. Lampu kuning sedang menyala di banyak negara.
Bersyukur, Indonesia disayang Tuhan dengan “durian runtuh”. Rezeki nomplok dari kenaikan harga komoditas setidaknya dapat untuk menambal “bolong-bolong” subsidi dan kompensasi energi serta bahan bakar minyak (BBM). Namun, harus tetap “eling lan waspodo”.
Bank Indonesia (BI) sudah mengambil sikap ahead the curve, dengan menaikan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) dari 3,5% menjadi 3,75%. Kenaikan ini sebagai langkah antisipasi terhadap inflasi yang bakal naik. Itu karena rencana pemerintah yang akan menaikan harga BBM. Inflasi Juli 2022 sudah mencapai 4,94% (year on year/yoy).
Sejalan dengan itu, mau tidak mau pemerintah akan menaikkan harga BBM. Sebab, jika tidak dinaikkan, diperkirakan keuangan negara tak akan mampu menopang subsidi energi yang sudah mencapai Rp502 triliun. Angkanya akan terus naik jika kebutuhan energi subsidi ini terus melambung.
Pertumbuhan ekonomi semester satu 2022 yang sebesar 5,44% tentu patut disyukuri. Tidak banyak negara yang seberuntung Indonesia. Kenaikan harga komoditas, yang menambah pemasukan negara sebesar Rp420 triliun, tentu sebuah keberuntungan. Indonesia memang kaya dan disayang Tuhan.
Di samping itu, intervensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diakui dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dapat menjadi pelumas pertumbuhan ekonomi. Harus diakui, meski banyak menteri dari partai lebih banyak bicara koalisi dan tak henti-henti ngomong copras-capres.
Jujur, dampak kehancuran di berbagai sektor karena COVID-19 belum sepenuhnya selesai. Sektor ekonomi juga belum pulih benar. Jadi, ada baiknya OJK tetap memperpanjang program restrukturisasi. Atau, memberlakukan untuk sektor-sektor yang sudah pulih, misalnya sektor komoditas.
Kini, melihat inflasi yang tinggi dan ekonomi global yang tengah “gundah gulana”, yang perlu dilakukan OJK bukanlah bertahan, atau dengan kata lain, berpikir sekadar tidak ada bank yang bangkrut. Namun, juga bisa membuat bank terus tumbuh memberikan kredit. Perlu kebijakan agar bank-bank tetap punya ruang untuk berkembang. Hal itu sudah dibuktikan, ketika masa pandemi COVID-19, bank-bank masih tetap tumbuh.
Sejalan dengan itu, jangan sampai ada bank bangkrut. Cilaka. Pengalaman 2020 lalu, ketika ada bank bermasalah, baik OJK, LPS maupun BI saling lempar bola panas. Mau minta BI sebagai lender of the last resort tidak dikasih. Lha, minta ke LPS juga tidak mau terima karena belum diserahkan ke OJK. Ruwet. Trauma penyehatan Bank Century melekat di mana-mana.
Terjadi saling lempar. Akhirnya meminta bank-bank pelat merah untuk menolong. Itu pun tidak terjadi. Masak bank pelat merah dijadikan “tong sampah” – untuk menolong bank sakit. Untuk apa punya LPS, BI, dan OJK? Semoga tidak ada bank yang kehabisan likuiditas akibat dampak dari inflasi, dan kenaikan suku bunga ini.
Situasi ke depan memang berat, tapi percayalah, ekonomi Indonesia punya “kuda-kuda” yang relatif kuat. Kenaikan inflasi ini memang akan memberatkan bank-bank jika tidak hati-hati terhadap kualitas kredit. Jangan biarkan loan at risk (LAR) menjadi NPL. Suku bunga rendah saja macet dan direstru, apalagi suku bunga tinggi.
Namun, perbankan masih akan terus bertahan dalam situasi inflasi yang mulai merambat naik. Pencadangan masih cukup menahan LAR yang jatuh menjadi NPL. Menjaga brankas likuiditas menjadi sangat utama, karena pelan-pelan dana akan pindah jika tak dilakukan penyesuaian suku bunga.
Sisi lain, kredit juga mulai terasa panas. Bank-bank akan terasa lebih berat, terutama bagi bank yang tak menyediakan cadangan yang cukup. Bank-bank kembali ke zona aman, menghitung ulang ekspansi kredit. Karena memang suasana perekonomian juga panas inflasi dan tahun politik mulai terasa awal tahun ini.
Selama pandemi COVID-19, rapor bank-bank tetap kinclong, bahkan labanya membengkak, meski kredit tidak tumbuh dengan baik. Itu karena suku bunga dana rendah akibat kebijakan suku bunga rendah dari BI. Dan, kini BI menaikkan suku bunga tahap pertama dan bisa jadi tahap kedua dan ketiga, tergantung inflasi sampai mana membakar perekonomian.
Itu salah satunya karena “bedak kecantikan” dari OJK yang bernama restrukturisasi kredit. Banyak bank “mengunduh” cadangannya menjadi laba, karena memperlakukan kolektibilitas akibat ketakutan berlebihan karena efek COVID-19.
Sekarang akan lebih baik jika OJK mengumumkan lebih awal, apakah restrukturisasi akan dicabut atau diperpanjang? Juga, kepada pemerintah, apakah subsidi BBM akan dicabut atau tetap “dipikul” keuangan negara?
Lebih cepat, lebih baik. Hantu “inflasi” ada di mana-mana. Salah-salah bisa membakar duit masyarakat. (*)
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (24/12) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih berada di atas… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Rabu, 24 September… Read More
Jakarta – Pilarmas Investindo Sekuritas melihat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal hari ini (24/12)… Read More
Jakarta – Evelyn Halim, Direktur Utama Sarana Global Finance Indonesia (SG Finance), dinobatkan sebagai salah… Read More
Jakarta - Industri asuransi menghadapi tekanan berat sepanjang tahun 2024, termasuk penurunan penjualan kendaraan dan… Read More