Categories: News Update

Sektor Pertambangan RI Jeblok di Kuartal III 2025, Benarkah Akibat Lesunya Permintaan?

Poin Penting

  • Sektor pertambangan jadi satu-satunya yang kontraksi di Q3 2025, turun 1,98% yoy akibat pelemahan batu bara, migas, dan bijih logam.
  • Penurunan dipicu insiden tambang dan gangguan produksi, termasuk force majeure di Grasberg serta melemahnya permintaan global dan sikap wait and see investor.
  • Prospek jangka menengah tetap positif, didukung potensi hilirisasi dan arus FDI 2026 yang diproyeksi mencapai USD50–60 miliar, mayoritas ke sektor pemrosesan logam.

Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor pertambangan menjadi satu-satunya sektor usaha yang mengalami kontraksi pada kuartal III 2025.

Sektor pertambangan dan penggalian tercatat terkontraksi 1,98 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). Pelemahan ini terutama disebabkan penurunan kinerja pada subsektor minyak dan gas bumi (migas), batu bara, dan bijih logam.

Pertambangan batu bara pada kuartal III 2025 menurun sebesar 7,29 persen YoY akibat melemahnya permintaan di pasar global. Sementara itu, subsektor pertambangan bijih logam turun 3,19 persen.

Penurunan kinerja bijih logam disebabkan oleh turunnya produksi bijih tembaga dan emas, terutama di wilayah Papua. Kondisi ini diduga berkaitan dengan sejumlah kejadian kahar yang terjadi di area operasional PT Freeport Indonesia, sehingga berdampak pada produksi tembaga dan emas.

Sejalan dengan pelemahan kinerja sektor tersebut, kontribusi penerimaan pajak dari sektor pertambangan juga menunjukkan tren penurunan. Hingga Oktober 2025, penerimaan pajak pertambangan tercatat turun 0,7 persen YoY menjadi Rp205,7 triliun, dibandingkan Rp207,1 triliun pada Oktober 2024.

Baca juga: Rosan Klaim Tambahan 12 Persen Saham Freeport untuk RI Tanpa Biaya

Menanggapi kondisi tersebut, Ekonom Senior Bank DBS, Radhika Rao, menyebut kontraksi sektor pertambangan umumnya dipicu oleh sejumlah faktor, salah satunya insiden atau disrupsi dalam proses produksi.

“Contohnya, jika ada beberapa insiden di pertambangan. Hal-hal seperti itu sering menyebabkan kontraksi,” ujar Radhika saat media briefing DBS Metal and Mining Forum 2025 di Jakarta, Rabu, 26 November 2025.

Ia menilai kejadian force majeure berupa longsor tambang bawah tanah yang terjadi di Grasberg, Papua, menjadi faktor utama kontraksi sektor pertambangan Indonesia pada kuartal III 2025.

Bencana tersebut sedikit banyak mempengaruhi rantai pasok tembaga, karena terdampaknya sejumlah smelter yang proses perbaikannya tentunya membutuhkan waktu.

Investor Wait and See Tekan Harga Komoditas

Selain faktor gangguan produksi, Radhika menilai sikap wait and see investor juga turut berpengaruh, terutama terkait arah kebijakan pemerintah terhadap subsektor nikel dan batu bara dalam konteks keberlanjutan.

“Harga nikel mungkin di year to date masih flat, turun sedikit. Itu juga memberikan sedikit wait and see terkait arah harga dan kebijakan pemerintah,” imbuhnya.

Namun, pihaknya optimistis, dengan adanya cadangan sumber daya alam (SDA) yang kaya dan potensi besar investasi downstreaming (hilirisasi) untuk transisi energi, sektor pertambangan tetap akan menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia ke depannya.

Spesifik untuk total foreign direct investment (FDI) di Indonesia, Radhika memproyeksikan dana investasi asing yang masuk ke Indonesia akan mencapai level USD50 miliar sampai USD60 miliar pada 2026.

Yang mana, 60 sampai 70 persennya akan diinvestasikan untuk bidang pemprosesan berbasis metal.

“Terdapat beberapa sektor baru yang memiliki reserve (cadangan). Dan, Indonesia beserta negara lainnya sangat berminat untuk berpindah dari sekadar memiliki kapasitas penampung (reserve) ke pembangunan fasilitas produksi,” tukas Radhika.

Baca juga: DBS Indonesia Komitmen Dorong Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Sebagai informasi, DBS juga merilis riset terbaru mengenai subsektor pertambangan logam paling potensial secara global pada 2026. Dalam riset tersebut, emas menempati posisi pertama, melanjutkan tren pertumbuhan positif pada 2025.

Selanjutnya diikuti oleh baja, timah, nikel, kobalt, batu bara, aluminium, dan tembaga. Delapan subsektor pertambangan tersebut diproyeksikan tumbuh di kisaran 2 hingga 10 persen pada 2026. (*) Steven Widjaja

Yulian Saputra

Recent Posts

Hashim Djojohadikusumo Raih Penghargaan ‘Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability’

Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More

3 hours ago

Dua Saham Bank Ini Patut Dilirik Investor pada 2026

Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More

3 hours ago

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

4 hours ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

5 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

5 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

6 hours ago