Poin Penting
Jakarta – Pemerintah Indonesia telah menetapkan goal untuk mencapai bebas emisi gas rumah kaca atau Net Zero Emission (NZE) selambatnya pada 2060.
Beberapa kebijakan pemerintah untuk mencapai hal itu juga sudah tertuang dalam sejumlah program prioritas pemerintah, seperti dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Asta Cita di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran.
Beberapa langkah yang diambil pemerintah Indonesia untuk mewujudkan hal itu antara lain penerapan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2025-2034 yang menyatakan 76 persen tambahan kapasitas pembangkit dari energi terbarukan dan just transition, serta FOLU Net Sink 2030 sebagai tonggak sektor kehutanan.
Inti dari semua itu adalah pemerintah Indonesia ingin mewujudkan kemandirian bangsa di bidang energi, ekonomi hijau, dan ekonomi biru. Namun, langkah menuju ke sana tidaklah mudah.
Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, Tri Purnajaya menjelaskan, untuk mencapai hal tersebut, pemerintah tak hanya bisa mengandalkan sektor BUMN, tetapi juga pihak swasta.
Whole of economy approach atau sinergi lintas sektor dan mekanisme pasar karbon domestik perlu menjadi pondasi untuk bisa mencapai NZE pada 2060, atau bahkan lebih cepat.
“Karena saya selalu bilang, at the end of the day bahwa nanti yang kita ingin dorong adalah investasi di Indonesia. Investasi dari private sector yang adalah rational actors, aktor-aktor yang rasional,” ujar Tri dalam acara “Nexus Tiga Krisis Planet: Menagih Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca” yang diadakan secara virtual oleh Celios, JustCOP, LaporIklim, dan Madani, Selasa (14/10).
Baca juga: RI Tegaskan Posisi di Paris Agreement, PLN Siap Jadi Penggerak Dekarbonisasi Nasional
Tri mengingatkan, pihak swasta saat menanamkan modalnya tentu menginginkan return dari investasi yang sudah dilakukan. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia perlu menunjukkan komitmen dalam mendukung investasi hijau yang menguntungkan bagi para investor.
Di satu sisi, tantangan eksternal mendisrupsi tujuan jangka panjang NZE ini. Kondisi geopolitik yang saat ini sedang mengalami gejolak dengan adanya sejumlah konflik bersenjata, telah mengaburkan fokus negara-negara di dunia untuk bersatu menangani permasalahan perubahan iklim.
“Misalnya perang di Gaza itu telah memecah belah negara-negara G20. Ada yang mendukung Israel, ada yang mendukung Palestina, dan sebagainya. Ini juga menjadi distorsi ‘lah. Ini menyulitkan dunia untuk berbagai program transisi hijau,” jelas Tri.
Bila kondisi geopolitik global seperti ini terus, maka akan mengganggu jalannya pertumbuhan, termasuk pertumbuhan transisi energi hijau.
Selain itu, Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya di bawah pemerintahan Trump, telah menyatakan pendirian untuk menghindari berbagai isu soal perubahan iklim dan transisi hijau.
“Jadi, ada kemunduran di pihak Amerika terhadap pendanaan untuk skema green dan sebagainya. Itu juga menjadi kemunduran untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia yang masih membutuhkan investasi atau dukungan pendanaan,” tegas Tri.
Tantangan internal juga masih mencengkeram Indonesia dari implementasi transisi ke energi terbarukan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dasarnya masih ditopang oleh industrialisasi dan hilirisasi. Yang mana, industrialisasi dan hilirisasi ini masih ditopang oleh energi fosil.
Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani mengungkapkan, hal tersebut penyebab utama dari Indonesia masih belum menyetor dokumen rencana aksi iklim terbaru Second Nationally Determined Contributions atau Second NDC menjelang digelarnya konferensi iklim PBB COP30 di Belem, Brasil pada 10–21 November 2025.
Para negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) diharapkan dapat melaporkan dokumen ini sebelum pertemuan akbar tahunan tersebut.
NDC sendiri adalah kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan memuat detail rencana suatu negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai Perjanjian Paris alias Paris Agreement.
“Karena infrastruktur energi fosil di Indonesia sudah cukup established. Kalau misalnya didorong pakai energi terbarukan, kita masih butuh membangun infrastrukturnya dulu, bikin kebijakan yang mendukung pembangunan komponen-komponen pembangkitnya,” terang Syaharani di kesempatan yang sama.
Syaharani mencontohkan infrastruktur energi surya, yang saat ini Indonesia belum bisa memproduksinya di dalam negeri. Di samping itu, dalam program RUPTL, Indonesia masih punya target 13 gigawatt PLTU baru yang belum dibangun. Yang mana, 13 gigawatt tersebut baru akan beroperasi pada 2030. Sehingga, menyebabkan fosil lock in.
“Kayak fosil lock-in karena ketika PLTU itu sudah jalan, dia harus berjalan beberapa tahun dulu gitu ‘kan. Karena tidak mungkin PLTU-nya cuma beroperasi lima tahun karena rugilah secara ekonomi. Itu mungkin beberapa pertimbangannya,” sambung Syaharani.
Syaharani pun mengusulkan pemerintah Indonesia untuk mengubah model perbandingan bisnisnya dari memakai business-as-usual (BAU) sebagai baseline ke sistem base year.
Misalnya, Nationally Determined Contribution (NDC) di negara-negara lain yang sebenarnya perbandingan penurunan emisinya dibandingkan ke emisi historis, seperti yang dilakukan Uni Eropa (EU).
Baca juga: Berhasil Tekan Emisi Karbon, KoinWorks Menuju Fintech ‘Net Zero Carbon’
“Kalau di Eropa tuh mereka membandingkannya dengan emisi tahun 1990. Jadi, misalnya ketika EU berkomitmen untuk mereduksi 55 persen emisi mereka, itu 55 persen dibanding emisi EU di tahun 1990 gitu,” paparnya.
Ia turut menyarankan agar kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk komoditas batubara ditinjau kembali. Mengingat, energi terbarukan di tingkat global saat ini sudah banyak yang bertransformasi menjadi sumber energi paling murah.
“Jadi, sebenarnya untuk kebaikan tak cuma untuk finansial negara, tetapi juga untuk semangat transisi energi. Saya rasa memang sudah waktunya domestic market obligation untuk batu bara ini ditinjau lagi pemberlakuannya,” tukas Syaharani.
Terkait Second NDC, pemerintah Indonesia pun optimistis bahwa Second NDC Indonesia dapat segera rampung dan disampaikan ke register UNFCCC sebelum pelaksanaan COP30.
“Sebenarnya draft-nya sudah ada, saya masih optimistis (segera disetor), ‘kan masih beberapa minggu lagi,” sebut Tri Purnajaya. (*) Steven Widjaja
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More