Jakarta – Untuk menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat di tengah ketidakpastian ekonomi, bank perlu membangun permodalan yang kuat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan ketentuan modal inti minimum Rp3 triliun sebelum akhir 2022 bagi bank umum dan hingga akhir 2024 bagi bank pembangunan daerah (BPD) yang tertuang dalam POJK12/2020 tentang konsolidasi bank umum.
Hal tersebut mendorong bank umum untuk segera memperkuat permodalan termasuk BPD. Per Juli 2022, dari 27 BPD ada 12 bank daerah yang modal intinya masih di bawah Rp3 triliun.
Direktur Utama Bank BJB, yang juga menjabat Sekjen Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Yuddy Renaldy mengatakan, Asbanda secara proaktif melakukan komunikasi kepada seluruh stakeholder untuk mencari solusi dalam memenuhi ketentuan modal Rp3 triliun. Menurutnya, BPD yang saat ini modal intinya masih di bawah Rp3 triliun bukan “bank sakit”, hal itu tercemin dari kinerja bank yang masih memberikan imbal hasil bagi pemegang sahamnya.
“BPD-BPD tersebut secara kinerja keuangan masih mampu menghasilkan return on equity (ROE) dikisaran 10% sampai 26,8%,” jelas Yuddy dalam Webminar Ekonomi dan Perbankan, Kamis, 13 Oktober 2022.
Lebih lanjut Yuddy mengungkapkan, penambahan modal inti bisa menjadi dilematis karena sejumlah BPD telah memiliki rasio kecukupan modal di atas 25%. Selain itu, dengan ruang lingkup pemasaran BPD yang cenderung fokus pada basis operasional di wilayahnya, injeksi tambahan modal belum tentu dapat diserap oleh ekspansi bisnis.
“Mengingat skala ekonomi BPD yang berbeda-beda di setiap daerah dan justru dapat membebani biaya modal sehingga secara ekonomi return ke pemda selaku pemegang saham menjadi tidak optimal,” ujar Yuddy.
Yuddy menambahkan, potensi BPD sangat besar karena memiliki ekosistem yang erat kaitannya dengan rantai pengelolaan APBD seluruh pemerintah daerah di indonesia. Misalnya, dari sisi pendapatan daerah, BPD mengelola penerimaan pajak dan restribusi. Kemudian dari sisi belanja daerah terdapat potensi kerjasama mengenai belanja modal dan belanja jasa terkait proyek pembangunan di daerah. Selain itu juga terdapat potensi dari belanja pegawai dimana jumlah ASN instansi daerah mencapai 3 juta jiwa.
Namun demikian, saat ini pemanfaatan ekosistem tersebut masih belum tergarap optimal karena terkendala permodalan. Selain itu, Yuddy menilai saat ini BPD masih berdiri sendiri sesuai wilayah operasionalnya. Namun demikian, pihaknya menyakini, BPD dapat bergabung dalam satu holding atau sinergitas sehingga lebih optimal dalam mengelola ekosistem pemerintahan daerah.
Dengan demikian value BPD akan meningkat dan secara optimis value pemegang saham atas kepemilikan di BPD juga akan meningkat serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat,” ungkap Yuddy. (*) Dicky F.
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More