Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lahir pada 22 November 2011, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan lembaga negara independen yang diamanatkan untuk mengatur dan mengawasi seluruh industri jasa keuangan nasional, secara terintegrasi. Kehadiran OJK, yang November ini genap berusia 10 tahun, mengakhiri sistem pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terpisah yang dilakukan oleh beberapa institusi, yang sebelumnya dianut Indonesia.
Sebelum OJK berdiri, pengaturan dan pengawasan perbankan dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Sedangkan, untuk pasar modal dan industri jasa keuangan nonbank (IKNB), pengaturan dan pengawasannya dijalankan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) — yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan RI. Tugas pengawasan pasar modal dan IKNB secara resmi beralih dari Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 2012. Sedangkan, pengawasan perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013, dan lembaga keuangan mikro pada 2015.
Krisis ekonomi menjadi latar belakang tercetusnya ide pembentukan satu lembaga yang mengawasi industri jasa keuangan secara terintegrasi di negeri ini. Krisis ekonomi di 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan. Terkait dengan hal itu, muncullah pemikiran mengenai perlunya suatu model pengawasan yang berfungsi mengawasi segala macam kegiatan keuangan atau terintegrasi, yang kemudian direalisasikan dengan terbentuknya OJK.
“Sebagian kalangan di dunia mengatakan bagus (pengawasan terintegrasi), tetapi kalau tidak yakin (dengan pengawasan terintegrasi), jangan coba-coba. Namun, kalau berhasil, ya bisa jadi the best. Selama ada OJK, inilah benefit dan menguntungkan masyarakat, bahwa OJK bisa melihat segalanya,” kata Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK, kepada Infobank beberapa waktu lalu.
Pada praktiknya, produk dan layanan dari industri jasa keuangan, baik itu perbankan, asuransi, multifinance, pasar modal, maupun lembaga dana pensiun, kian saling terkoneksi. Sebagai contoh, perbankan memasarkan produk asuransi atau asuransi menjadikan produk pasar modal sebagai underlying untuk produk asuransi berbalut investasi.
Hal seperti itu common di industri jasa keuangan global, termasuk juga di Indonesia. Karenanya, tak salah jika menyebut, akan menjadi lebih rumit jika pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan dilakukan terpisah melalui beberapa lembaga. Namun, pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan satu pintu, seperti yang dilakukan OJK juga tidak mudah. Sebab, untuk Indonesia, industri jasa keuangan yang ada sudah sebegitu besar.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI), total aset industri jasa keuangan di republik ini, per Agustus 2021, tercatat Rp12.370,60 triliun. Angka itu tujuh kali lipat dari APBN Indonesia 2021 yang ditargetkan sebesar Rp1.743,60 triliun. Belum lagi dari sisi jumlah lembaga keuangan yang diawasi dan institusi yang menjadi bagian dari ekosistem industri jasa keuangan, ribuan dan lintas sektor. Pun dari sisi konsumen atau nasabah, jutaan jumlahnya.
Karena itu, Infobank Institute memandang, yang mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan nasional, dalam hal ini OJK, harus terus meningkatkan profesionalismenya, keandalannya, dan juga capability-nya. Sebab, selain sudah sangat besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, industri jasa keuangan nasional akan menghadapi berbagai tantangan yang makin kompleks di masa-masa mendatang.
Dalam 10 tahun terakhir, industri jasa keuangan nasional tumbuh dan berkembang dengan berbagai dinamikanya. OJK pun menjadi lokomotif dalam memajukan sektor jasa keuangan di Tanah Air. Di lima tahun pertamanya, 2012-2017, sebagai lembaga yang baru dibentuk, salah satu fokus OJK adalah membangun organisasi yang solid dan infrastruktur yang memadai untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan namun tetap menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan dengan optimal. Di periode ini OJK dipimpin oleh Muliaman D. Hadad sebagai Ketua Dewan Komisioner OJK.
Untuk periode kedua, 2017-2022, OJK dipimpin Wimboh Santoso sebagai Ketua Dewan Komisioner OJK. Di masa ini, secara organisasi OJK sudah lebih mapan. Sehingga, dengan demikian, OJK dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan lebih baik dan maksimal. Namun, yang dihadapi OJK di lima tahun keduanya juga tak kalah menantang. Terlebih di dua tahun terakhir ini. Adanya pandemi COVID-19 menguji kapabilitas OJK dalam menjaga industri jasa keuangan. Pandemi COVID-19 membuat perekonomian nasional merosot. Hal yang sama juga dialami industri jasa keuangan nasional. Namun, OJK merespons pandemi COVID-19 dengan cepat, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang efektif dan terbukti mampu membuat sektor jasa keuangan bertahan di tengah krisis, stabil, dan bisa turnaround dengan cepat. (*) Ari Nugroho
* Laporan selengkapnya mengenai 10 Tahun OJK dapat dibaca di Majalah Infobank No.523, edisi November 2021
Jakarta - PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia (Allianz Syariah) terus berupaya meningkatkan literasi masyarakat tentang… Read More
Jakarta – Pesatnya perkembangan teknologi di era modern tidak hanya membawa kemudahan, tetapi juga meningkatkan… Read More
Jakarta - Bank Mandiri Taspen (Bank Mantap) terus menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan para nasabahnya,… Read More
Jakarta – Rencana aksi korporasi BTN untuk mengakuisisi bank syariah lain masih belum menemukan titik terang. Otoritas… Read More
Suasana saat penandatanganan strategis antara Dana Pensiun Lembaga Keuangan PT AXA Mandiri Financial Services (DPLK… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal kedatangan satu perusahaan dengan kategori lighthouse yang… Read More