Jakarta – Langkah Bank Sentral Amerika (The Fed) yang kembali naikan suku bunga hingga ke level 2 persen mempengaruhi negara- negara emerging market, termasuk Indonesia. Sehingga tidak heran nilai tukar rupiah pun usai Lebaran juga terpantau sempat melemah ke level Rp14.000 per dolar AS.
Oleh sebab itu untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, Senior Research Analyst PT Infovesta Utama, Praska Putrantyo mengungkapkan Bank Indonesia perlu segera menaikan suku bunga acuan.
“Salah satu cara ya BI perlu kembali menaikan suku bunga,” jelas Praska saat ditemui di Bursa Efek Indonesia, Kamis, 21 Juni 2018.
Namun ujarnya BI juga perlu hati-hati dalam menaikan suku bunga acuan. Pasalnya jika BI sudah menaikan suku bunga diatas tiga kali tahun ini, investor akan lebih khawatir.
Hal itu dikhawatirkan dapat mengganggu beberapa sektor, terutama perbankan. Hal itu tentunya akan mendorong bank ikut menaikan suku bunga. Sehingga bukan tidak mungkin, kredit perbankan juga akan melambat.
“Kalau sudah diatas tiga kali tentu investor akan khawatir,” jelasnya.
Baca juga: The Fed Naik, Rupiah Diperkirakan Semakin Merosot
Seperti diketahui, Bank Sentral sudah menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebanyak dua kali menjadi 4,75 persen. Hal ini dinilai beberapa kalangan belum cukup untuk merespon risiko global yang terjadi saat ini. Padahal upaya itu sendiri merespon kenaikan suku bunga The Fed.
Keputusan BI untuk menempuh kebijakan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve ini dilakukan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.
Disisi lain The Fed baru saja menaikkan suku bunga acuannya ke kisaran 1,75 persen hingga 2 persen pada pekan lalu dan akan melanjutkan kebijakannya tersebut dua sampai tiga kali lagi pada tahun ini.
Artinya, peluang BI kembali menaikan suku bunga pun sangat terbuka. Namun sampai berapa kali BI akan mengikuti The Fed dalam menaikan suku bunga?
Menurut Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, jika BI kembali menaikkan suku bunga acuannya, maka akan memberikan imbas terhadap perekonomian, salah satu impeknya adalah kontraksi di pertumbuhan kredit lantaran permintaan kredit yang menurun akibat ikut meningkatnya suku bunga kredit perbankan sebagai respon kenaikan bunga acuan.
“Memang kebijakan BI ini seperti buah simalakama. Kalau tidak dinaikan nanti capital outflow terus keluar dan tekan rupiah. Imbas untuk ekonomi menjadi kurang bagus. Kalau dinaikkan berefek ke kontraksi pertumbuhan kredit dan menggerus pertumbuhan ekonomi,” ujar Bhima kepada Infobank.
Suku bunga acuan yang naik akan memicu naiknya bunga kredit perbankan dalam waktu 1-3 bulan. Asumsinya, kata Bhima, jika bunga acuan BI naik sebanyak 4-5 kali ditahun ini atau menjadi level 5,25 persen, maka suku bunga kredit perbankan bukan tidak mungkin untuk tembus mencapai rata-rata 11,75 persen sampai dengan 12 persen. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More