Oleh: Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute
KREDIT, kredit siapa mau? Pada bulan Juli 2021 lalu, kredit bank melambat pertumbuhannya. Bank makin sedikit “kencing” kreditnya. Namun, justru bank “minum” terlalu banyak likuiditas. Tapi namanya bank selalu ada jalan. Meski kredit rendah, dan likuiditas banjir, toh masih ada Surat Berharga Negara (SBN). Nikmat apalagi yang kau dustakan.
Sejak Juni 2020, pertumbuhan kredit minus. Nah, baru Juni 2021 lalu bergerak positif 0,59%. Ada optimisme karena pertumbuhan ekonomi Semester I/2021 juga 7,07%. Sayangnya, PPKM Darurat menyebabkan mobilitas orang terganggu. Yang mau beli takut, yang jualan tidak laku. Jadi, kegiatan ekonomi terganggu. Sejumlah usaha gulung tikar.
Kredit pun hanya tumbuh 0,50% (YoY). Melambat dari 0,59% menjadi 0,50%. Jujur saja perlambatan 0,09 ini sangat tipis, karena PPKM Darurat dampaknya tidak seperti ketika diberlakukan PSBB di tahun 2020 lalu. Bisa jadi masyarakat sudah menemukan keseimbangan. Namun memang angka kredit tidak sangat leluasa ketika Triwulan 2 yang ketika ekonomi tumbuh 7,07%, kredit hanya tumbuh 0,59%.
Pertanyaannya, apakah pertumbuhan ekonomi sekarang ini tanpa dukungan kredit perbankan? Kenaikan konsumsi masyarakat ternyata ditopang oleh APBN. Dan, sumber APBN (menambal defisit) dari kenaikan utang pemerintah. Jadi, kredit bank sekarang ini daya dorong terhadap pertumbuhan rendah. Kenyataan ini tentu perlu dikaji lebih jauh. Bahkan, sejak tahun 2015 hingga tahun 2021, kredit bank terus melambat.
Menurut data Infobank Institute yang diolah dari Bank Indonesia, per Juli 2021, kredit konsumen tetap mengamai kenaikan lebih tinggi (2,40%). Kredit komersial yang masih dalam anjloknya minus 2,12%, dan kredit korporasi minus 0,5%. Sementara kredit UMKM masih
Perlambatan kredit sangat tipis. Namun hal ini bukan hanya sekedar angka, tapi sebuah signal. Sektor dunia usaha terganggu kapasitasnya. Bank-bank pun memilih jalan aman dengan menempatkan ke SBN yang terus ,membesar. Nikmatnya lagi SBN bisa repo lagi ke Bank Indonesia. Putar-putar di pasar uang. Data Infobank Institute menyebutkan rasio SBN terhadap kredit mencapai 24-26%. Padahal, sebelumnya hanya sekitar 14-15%.
Tidak salah, dan juga tidak perlu malu jika banknya “doyan” SBN—karena itulah jalan satu-satunya, aman dan masih ada yield tebal mendekati margin kredit (untuk bank-bank tertentu). Bank-bank tertentu itu yang punya cost of funds sangat rendah dari rata-rata perbankan. SBN itu nikmat, halal dan aman.
Data Infobank Institute menyebutkan, rasio yield SBN dengan suku bunga kredit masih 0,63% (2020). Makin tinggi rasionya maka bank-bank lebih suka “makan” SBN. Jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN, yield SBN Indonesia paling tinggi yaitu sebesar 6,00%. Sementara Vietnam yield SBN-nya hanya 2,28%, Thailand 1,13%, Singapura 0,84% dan Malaysia 2,26%. Dari sisi rasio yang sedikit di atas Indonesia adalah Malaysia. Angkanya 0,68%.
Itulah sebabnya mengapa bank selalu mencetak laba. Kini lombanya bukan pada pemberian kredit, tapi mencari cost of funds yang lebih murah. Lebih murah. Tapi tidak semua bank bisa mencari dana murah. Itu menyangkut pada basis tabungan dan nasabah.
Mewaspadai Moral Hazard Kredit Macet
Kondisi di mana bank-bank lebih doyan SBN, itu persis seperti krisis 1998 – aset bank dipenuhi dengan obligasi rekap. Kredit belum banyak dialirkan, karena “sawah” sejumlah perusahaan mengalami kemacetan. Kredit-kredit macet dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bedanya, dengan sekarang – aset berkualitas rendah masih “dikekepin” bank. Risikonya sewaktu-waktu meledak.
Lihat saja loan at risk (LAR) bank-bank, meski mulai menurun angka restrukturisasi kredit, tapi angkanya masih membuat was-was para bankir. Angka LAR mencapai 22%-23% (baik karena Covid-19 maupun tidak). Jika menghitung LAR karena Covid-19 mencapai 14-15% selama tahun 2020-2021 (Juli 2021). Angka LAR itulah yang menjadi bom waktu. Rasa dag-dig-dug selalu saja ada, karena bisa turun menjadi non performing loan (NPL).
Banyak debitur kelas satu justru melunasi pinjamannya. Tapi, sekelompok debitur “KW3” mulai mengajukan moratorium utang. Bank dalam posisi sulit. Apalagi debitur-debitur jumbo. Tidak dikasih tambahan dana, maka kredit menjadi macet – bisa jadi menjadi masalah. Di kasih tambahan seperti menambah utang yang terus membesar.
Namun umumnya debitur-debitur kakap ini senantiasa mendapatkan kucuran kredit. Alasannya diberi “napas” buatan yang sewaktu-waktu bisa hidup kembali. Para debitur kakap ini tahu posisinya, sehingga bank tidak bisa berbuat apa-apa. Program restrukturisasi kredit yang akan diperpanjang hingga tahun 2023 bolah jadi “doping” bagi bank-bank.
Jangan sampai pemerintah mengeluarkan program moratorium 3 tahun bagi debitur. Jika ini dilakukan maka “kiamat” APBN akan terjadi, karena bank-bank butuh suntikan modal lagi. Lebih baik kredit-kredit macet “dicuci” di tempat seperti zaman BPPN, dan tentu dengan perbaikan.
Pengalaman ketika BPPN, mereka-mereka yang kredit macetnya besar sulit dikejar – terutama yang bersumber dari bank-bank pelat merah. Bebas. Pakai beking politik. Yang terus diburu adalah obligor penerima BLBI. Padahal, angka BLBI sekitar Rp144,5 triliun, dan obligasi rekap mencapai Rp422,6 triliun.
Bahkan, ada satu konglomerat besar Indonesia yang gagal bayar obligasinya — baik rupiah maupun dolar masih tetap hidup dan membesar. Masih terus dipercaya bank-bank. Terus menggali kredit hingga makin dalam. Surga ada di telapak kaki debitur kakap.
Publik hanya mengingat BLBI, tapi faktanya yang tidak dari BLBI, dan sama-sama “makan” uang APBN lebih besar. Setelah BPPN bubar (2004) sampah kredit itu masih anteng di Kementrian Keuangan RI. Sudah lebih 17 tahun aset-aset yang dialihkan ke BPPN nyaris tak terdengar pengembaliannya.
Jangan sampai jatuh ke lubang yang sama. Laju kredit memang lambat, tapi tetap perlu diwaspadai, jangan sampai para bankir lantas “kencing” kredit kemana-mana. Kredit jangan dikucurkan karena tekanan para “beking” politik. Apalagi Sri Mulyani Indrawati, Menkeu menegaskan, APBN tidak cukup kuat mendorong perekonomian, harus disertai dengan dorongan kredit perbankan.
Jangan karena itu – maka bank-bank pun obral kredit. Sisi permintaan kredit masih loyo. Gelombang Covid-19 tak pernah tahu kapan selesainya. Dan, itu telah menjadi “hantu” bagi permintaan kredit. Proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan pinjaman bank juga sedang “kliyengan” mabuk utang.
Banyak terdengar debitur komersial pun sudah banyak yang lempar handuk putih. Moral hazard sudah tercium. Modusnya bisa lewat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan mengajukan kreditur abal-abal. Juga, banyak yang “nodong” dengan meminta tambahan kredit baru, meski sebenarnya tak layak.
Siapa Sih yang Tak Pingin “Kencing” Kredit
Rendahnya suku bunga tak segarus lurus dengan turunnya DPK. Justru sepanjang tahun DKP selalu tumbuh double digit. Posisi Juli 2021 (YoY) bank-bank kebanjiran dana naik 10,45%. Karena pertumbuhan kredit lambat, dan kenaikan dana masih kenceng, maka loan to deposit ratio (LDR) berada pada angka di bawah 79,87%.
Bank-bank banjir likuiditas, dan cenderung over likuid. Itulah bedanya dengan masa-masa krisis tahun 1998, atau pun 2008 lalu. Waktu itu terjadi krisis yang selalu diikuti dengan segmentasi likuiditas. Atau, terjadi fligt to quality. Tapi, krisis kali ini tidak menerpa kantong likuiditas bank-bank. Walau pun begitu, bank-bank tetap harus waspadai dengan langkah AS yang akan melakukan kenaikan suku bunga.
Semua bankir ingin memberikan kredit. Tidak ada seorang bankir pun yang tidak mau memberikan kredit. Pendapatan bunga dari kredit selalu lebih besar dari pendapatan fee based. Asal, debiturnya bagus di tengah ekonomi yang juga sudah pulih. Sebab, bank itu lembaga kepercayaan yang menerima dana-dana dari publik. Modal bank itu hanya 8%, atau paling banter capital adequacy ratio (CAR) sebesar 23%.
Sejatinya, kredit adalah roh dari pada bank. Tak ada artinya bank tanpa bisa menyalurkan kredit. Bank-bank menderita disfungsi intermediasi dalam kurun lama akan menimbulkan komplikasi terhadap ekonomi. Ibaratnya bank itu adalah aliran darah bagi perekonomian. Banknya tak berfungsi tentu akan menimbulkan dampak perekonomian.
Katanya ekonomi membaik, eh kredit perbankan kok masih seperti sakit “prostat”, tak sampai “setetes” persen (0,50%). Untungnya masih ada SBN yang tahun depan (2022) akan dicetak pemerintah untuk APBN dengan jumlah mendekati Rp1.000 triliun. Nikmat apalagi yang kau dustakan. Sabar Chief Jangan obral kredit. Kita harus menjaga bank-bank tetap kokoh. (*)
Jakarta - PT Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatera (PHE OSES) resmi menyalurkan gas bumi ke… Read More
Jakarta - PT PLN (Persero) meluncurkan program Gerakan Tertib Arsip (GEMAR) dan aplikasi New E-Arsip… Read More
Jakarta - Demi meningkatkan kinerja keselamatan dan integritas aset, Pertamina Subholding Upstream Regional Jawa dan PT Badak… Read More
Jakarta - Penyelenggara inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) harus melewati regulatory sandbox milik Otoritas Jasa… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bersedia mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen Presiden… Read More
Jakarta - Saat ini, secara rata-rata masa tunggu untuk melaksanakan ibadah haji di Indonesia bisa… Read More