Oleh Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen Bank Central Asia
PERJALANAN ke Merauke, pagi itu, kami tempuh dengan lancar dan menyenangkan. Ini adalah pertama kalinya saya melakukan perjalanan ke Merauke. Pemandangan yang sangat menarik tampak sewaktu pesawat kami mendekati Merauke. Pemandangannya tidaklah seseram yang kami bayangkan sebelumnya.
Daratan yang luas tampak ditingkahi laut dan sungai yang besar dan berliku sehingga menghasilkan pemandangan yang indah. Tampak pula lahan yang banyak digarap para transmigran dari Jawa yang sudah berada di daerah tersebut selama puluhan tahun.
Tidak lama setelah pesawat kami menjejakkan rodanya di landasan, kami sudah dalam perjalanan sejauh lebih dari 50 kilometer menuju kawasan yang hendak dikembangkan menjadi perkebunan tebu. Merupakan suatu kejutan pula bahwa jalan raya yang kami lalui sampai ke lahan tebu tersebut relatif bagus dan halus. Ternyata pembangunan infrastruktur yang sangat masif di zaman Presiden Jokowi sungguh menyentuh daerah pinggir seperti Merauke ini.
Sesampainya di tempat yang dituju, tanaman tebu yang meninggi sudah menyambut kami. Tanaman tersebut tumbuh di tanah mineral yang subur sehingga memungkinkan tebu tumbuh dan berkembang dengan baik. Pohon tebu yang tingginya lebih dari 4 meter banyak berjajar dan berdesakan di lahan yang kami kunjungi. Tebu tersebut ditanam dengan sangat teratur di kawasan yang luas. Sekarang ini bahkan sudah ribuan hektare lahan yang ditanami tebu.
Tanaman tebu yang awalnya dimulai dari bibit yang didatangkan dari Australia dengan beberapa kali pengangkutan menggunakan pesawat terbang itu, akhirnya mulai dikembangkan sendiri setelah bibit dari Australia tersebut mulai meninggi dan siap untuk dikembangkan lebih lanjut. Di kebun tersebut juga ditanam bibit tebu dari perkebunan tebu Gunung Madu Plantation dari Lampung.
Setiap pohon akhirnya bisa menjadi 10 bibit dan ini yang membuat lahan untuk tanaman tebu tersebut pun kemudian diperluas. Lahan yang sudah ditanami tebu itu adalah lahan yang dikembangkan oleh PT Global Papua Abadi (GPA), di mana pengusaha sawit terkenal, Martua Sitorus dan Martias, adalah pemegang saham utamanya.
Pengembangan perkebunan tebu tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi automasi tingkat tinggi. Pembukaan lahan (land clearing) dilakukan dengan menggunakan sejumlah alat berat yang secara cepat melakukan tugas mempersiapkan lahan tersebut. Demikian juga untuk penyiapan lahan lebih lanjut dan penanaman bibitnya dilakukan dengan bantuan tenaga mesin.
Pada saat panen, nantinya mereka juga akan mempersiapkan mesin pemanen (harvester) yang akan mereka datangkan dari Brasil. Ini berarti tenaga kerja yang ada harus dilatih secara intensif untuk menggunakan berbagai peralatan tersebut supaya investasi yang besar tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian, pembukaan lahan industri tebu tersebut pada akhirnya akan mendorong berkembangnya tenaga kerja terlatih yang mampu untuk menggunakan alat berat yang dikembangkan di sana.
Yang juga mereka persiapkan dengan serius adalah dalam hal penanganan hama yang memang cukup banyak berkembang di daerah tersebut. Dengan demikian, bisa diharapkan perkebunan tebu yang dibangun tersebut akan menghasilkan tebu dengan rendemen yang cukup tinggi. Sampai dengan saat ini, dari tanaman tebu yang mereka kembangkan menghasilkan prospek panenan yang baik, dengan produktivitas mendekati 100 ton per hektarenya dan dengan rendemen di sekitar 10 persen.
Baca juga: Akhirnya Indonesia Bisa Bikin Mobil Listrik Sendiri
Indonesia pernah mengalami masa kejayaan perkebunan tebu di zaman penjajahan Belanda. Tebu ditanam di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan di Jawa Timur, dengan dilengkapi sarana pabrik tebu yang berkembang subur di mana-mana. Namun, dengan diambilalihnya perkebunan tebu tersebut oleh pihak asing maupun swasta, perkembangannya pun mulai melambat.
Terlebih lagi dengan jarangnya para petani menggunakan bibit yang baru. Tanaman tebu di Indonesia sendiri merupakan hasil bibit dari pokok yang lama. Petani bahkan menggunakan bibit yang sama untuk lebih dari 10 kali pemaprasan.
Perkembangan perkebunan tebu yang lambat di Indonesia menyebabkan terjadinya defisit industri gula yang sangat besar. Permintaan dari masyarakat dan industri tercatat sangat besar, sementara industri gula Indonesia banyak tidak mengalami perkembangan yang signifikan.
Pengembangan perkebunan tebu dengan skala besar pun akhirnya dilakukan di Lampung oleh beberapa pengusaha. Krisis moneter tahun 1998 menyebabkan terjadi beberapa perubahan kepemilikan perusahaan di daerah Lampung tersebut. Industri gula yang sudah berkembang di Provinsi Lampung tersebut pun menjadi industri yang mengalami keuntungan lumayan baik.
Perkembangan juga terjadi di Pulau Jawa namun dalam skala yang relatif lebih kecil. Pabrik gula yang dibangun, seperti di Pekalongan (hasil refurbishment dari pabrik gula yang sudah ada sebelumnya), lalu pabrik gula di Blora dan di Lamongan, pada akhirnya tetap tidak bisa terlalu banyak menolong situasi yang sudah menurun tersebut.
Melihat makin melebarnya defisit gula di dalam negeri tersebut, pada akhirnya pemerintah mendorong pengembangan industri perkebunan tebu yang baru yang dilengkapi dengan industri gula dan bahkan juga industri etanolnya.
Salah satu perusahaan yang menjadi pionir pengembangan industri perkebunan tebu tersebut adalah Grup Djarum Kudus. Grup bisnis tersebut telah melebarkan sayapnya ke bidang perkebunan dengan melakukan pengembangan industri kelapa sawit terutama di Provinsi Kalimantan Barat. Pengembangan kebun kelapa sawit dilakukan dengan sangat serius oleh perusahaan tersebut dan bahkan juga industri pengolahan sawitnya (PKS-nya). Salah satu pabrik kelapa sawit (PKS) yang pernah saya kunjungi adalah di daerah dekat Sungai Pinyuh, Kalimantan Barat, yang dibangun dengan menggunakan konsep “zero waste”.
Perusahaan perkebunan tersebut (Hartono Plantation Indonesia, yang merupakan salah satu perusahaan dalam Grup Djarum tersebut) kemudian melebarkan sayapnya ke industri gula setelah memperoleh konsesi lahan seluas 26.000 hektare di Pulau Sumba. Pulau tersebut memiliki iklim yang sama dengan yang ada di Australia Utara sehingga sangat cocok untuk dikembangkan menjadi lahan perkebunan tebu.
Sayangnya lahan tersebut memiliki lapisan batu yang cukup tebal sehingga upaya pengembangan lahan tersebut dilakukan dengan cara penghancuran lapisan batuan secara masif. Mesin penghancur batu didatangkan dari luar negeri, dari yang berkelas standar sampai yang sangat canggih, ke daerah tersebut untuk mengatasi tantangan alam tersebut. Hancuran batu tersebut akhirnya menjadi media bagi penanaman tebu.
Minimnya sumber daya air yang tersedia juga mendorong perusahaan tersebut untuk membangun puluhan bahkan ratusan embung untuk upaya konservasi air. Dari embung inilah air disalurkan secara sistematis menggunakan jaringan selang yang ditanam di bawah tanah dengan menggunakan sistem yang bernama “sub dripping system” yang dikembangkan oleh industri pertanian di Israel.
Jadilah perkebunan tebu tersebut sebagai perkebunan tebu yang sangat modern dengan tingkat produktivitas tebu yang secara terus-menerus diupayakan untuk dapat ditingkatkan. Sementara itu, rendemen di perusahaan tersebut sekarang ini mampu mencapai lebih dari 10% sehingga memberikan prospek yang lebih baik bagi perusahaan tersebut.
Baca juga: Globalization is Changing, Not Ending
Perkembangan industri perkebunan tebu di Indonesia pada akhirnya mengalami pasang-naik dengan berbagai langkah yang ditempuh oleh banyak pengusaha Indonesia. Pengembangan perkebunan tebu yang dilakukan oleh dua pengusaha sawit dalam bentuk PT Global Papua Abadi kemudian memperoleh momentum baru dengan didirikannya PT MNM (Murni Nusantara Mandiri). Penanaman perdana tebu di lahan perkebunan tersebut dilakukan oleh perusahaan tersebut pada saat kami mengunjungi lahan perkebunan mereka.
Perkebunan tebu yang akan dikembangkan oleh PT MNM itu memiliki pola yang sama dengan yang sudah dikembangkan oleh perusahaan sebelumnya, yaitu PT GPA, yang banyak terbantu dengan hadirnya para tenaga ahli dari Australia. Saya juga sangat mengagumi keberadaan manajemen dari Indonesia yang telah melakukan kerja keras dalam upaya pionir pengembangan perkebunan tebu tersebut. Keseriusan para pendiri maupun manajemen dari perusahaan tersebut meyakinkan saya bahwa inilah awal dari kebangkitan industri gula nasional. Sungguh sedang dimulai.
Jika industri perkebunan tebu dan industri gula yang secara tradisional sudah berakar di Pulau Jawa dan Sumatra bisa dikembangkan kembali (di-revive), di lain pihak langkah pionir yang dilakukan oleh Group Djarum, Group KPN (dari Martua Sitorus) maupun grup dari perusahaan Martias bisa terus didorong, maka pada akhirnya potensi dari industri perkebunan tebu dan industri gula di Indonesia sungguh akan mengalami kebangkitan kembali.
Kesuksesan langkah mereka pasti akan diikuti oleh grup perusahaan yang lain yang sudah biasa dalam pengembangan industri pertanian skala besar sehingga pada akhirnya akan terjadi efek bola salju (snowballing effect) yang terus membesar. Jika Indonesia bisa menjadi raja dalam industri kelapa sawit dunia, maka kemungkinan Indonesia untuk tampil menjadi raja industri gula dunia mestinya tidak bisa kita nafikan. Rasanya kita bisa mengharap terjadinya hal itu dalam beberapa dasawarsa mendatang. (*)
Poin Penting Hashim Djojohadikusumo meraih penghargaan “Inspirational Figure in Environmental and Social Sustainability” berkat perannya… Read More
Poin Penting Mirae Asset merekomendasikan BBCA dan BMRI untuk 2026 karena kualitas aset, EPS yang… Read More
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More