News Update

RUU Penyiaran Dinilai Belum Ciptakan Industri Sehat

Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang Undang Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI.

Jika kesepakatan dalam rapat tersebut tercapai, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang nantinya Komisi I akan membawa draf RUU Penyiaran ke Sidang Paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU Penyiaran.

Meskipun demikian, melihat hasil rapat harmonisasi, pembulatan dan pemantapan pada tanggal 20 September yang lalu, konsep RUU Penyiaran tersebut dinilai masih jauh dari harapan dalam menciptakan industri penyiaran yang sehat dikarenakan masih ada sejumlah poin yang secara
substansi belum menemukan titik temu.

Seperti diketahui,salah satu dari perubahan substansi yang dilakukan oleh Baleg adalah tentang model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terresterial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital. Komisi 1 dianggap tidak bersedia untuk mengubah konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ishadi SK menilai, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran.

Dalam konsep tersebut dimana frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI, justru menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

“Kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dlakukan oleh lembaga yang dimiliki oleh Pemerintah,” jelas Ishadi SK dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Senin, 25 September 2017.

Ishadi menegaskan bahwa konsep single mux bukan merupakan solusi dalam migrasi TV analog ke digital.

Penetapan single mux operator akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja, terjadinya pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi. (*)

Dwitya Putra

Recent Posts

Begini Upaya PTPN Group Dorong Swasembada Gula

Jakarta – PTPN Group bersama kementerian dan sejumlah institusi berkolaborasi meluncurkan program “Manis Swasembada Gula”.… Read More

3 hours ago

Usai Caplok Permata Bank, Bangkok Bank Bakal Akuisisi Bank RI Lagi?

Jakarta – Bangkok Bank sukses mengakuisisi 89,12 persen saham PT Bank Permata Tbk (BNLI) dari Standard Chartered Bank dan… Read More

1 day ago

PLN Butuh Dana Rp11.160 Triliun untuk Capai NZE 2060

Jakarta – PT PLN (Persero) dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 membutuhkan investasi mencapai USD700 miliar… Read More

1 day ago

Menilik Peluang Permata Bank Naik Kelas ke KBMI IV

Jakarta - PT Bank Permata Tbk (BNLI) atau Permata Bank memiliki peluang ‘naik kelas’ ke Kelompok Bank… Read More

1 day ago

Danantara Dinilai jadi Jawaban Pendongkrak Ekonomi RI Capai 8 Persen

Jakarta – Presiden Prabowo Subianto optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai level 8 persen dalam kurun waktu… Read More

1 day ago

ICC Resmi Keluarkan Surat Penangkapan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant

Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More

1 day ago