Secara tren, laju Rupiah cenderung bergerak sideways, sehingga pergerakannya masih rentan dengan berbagai sentimen yang ada, terutama sentimen yang negatif. Rezkiana Nisaputra
Jakarta–Membaiknya data-data ekonomi di Amerika Serikat (AS) telah memberikan kesempatan bagi Dolar AS untuk bergerak naik berbarengan dengan munculnya persepsi akan naiknya suku bunga bank sentral AS (Fed Fund Rate) di akhir tahun ini.
Analis PT NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada mengatakan, pelaku pasar cenderung mentransaksikan mata uang Dolar AS dibandingkan dengan mata uang lainnya. Akibatnya laju Dolar AS mengalami kenaikan terhadap beberapa mata uang lainnya sehingga Rupiah pun ikut terkena imbasnya.
“Apalagi dari dalam negeri tidak banyak sentimen positif yang dapat dijadikan alasan penguatan laju Rupiah. Terkecuali adanya sentimen intervensi dari Bank Indonesia untuk menahan pelemahan laju Rupiah lebih lanjut,” ujar Reza dalam risetnya di Jakarta, Senin, 16 November 2015.
Dia menilai, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menargetkan realisasi investasi pada 2016 menembus angka Rp600 triliun atau meningkat 15% dibanding tahun ini, dan realisasi investasi yang bakal melampaui target yang telah ditetapkan sebesar Rp519,5 triliun, akan memberikan dampak positif pada laju Rupiah.
Menurutnya, kendati rilis pertumbuhan produksi dan investasi Tiongkok yang menunjukkan pelambatan dan memberikan tekanan pada laju Yuan serta sentimen dari dalam negeri yang belum sepenuhnya cukup positif, namun laju Rupiah masih dapat bertahan di zona hijaunya.
“Dan meski masih ada imbas pemberitaan terkait rencana kenaikan The Fed namun, sudah mulai berkurang sehingga pelaku pasar kembali masuk ke asset-aset mata uang beresiko, termasuk diantaranya laju Rupiah,” tukasnya.
Sedangkan terkait dengan adanya sentimen dari rencana stimulus bank sentral Eropa (ECB) yang berimbas pada penurunan indeks Euro, tidak terlalu memberikan efek negatif pada Rupiah, meski laju Dolar AS masih mengalami kenaikan terhadap sejumlah mata uang, akan tetapi Rupiah masih mampu bergerak positif.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, sejumlah sentimen masih ditanggapi positif terutama terkait dengan kondisi makroekonomi internal Indonesia yang antara lain ekspektasi positif akan isi paket kebijakan VII yang sempat batal diumumkan pada hari Kamis (12/11), lalu target inflasi Pemerintah di tahun 2015 yang berada di bawah 4%, dan sejumlah harapan positif Pemerintah.
Akan tetapi, penguatan Rupiah terhalangi sikap wait and see pelaku pasar jelang pengumuman pidato Presiden ECB dan beberapa petinggi The Fed, termasuk Gubernur The Fed. Meski sempat melemah, laju Rupiah sepanjang pekan kemarin tercatat menguat. “Laju Rupiah sempat berada di bawah target support Rp13.688. Rp13.755-13.608 (kurs tengah BI),” ucapnya.
Sedangkan pada perdagangan hari ini (16/11) volatilitas Rupiah terhadap Dolar AS diperkirakan akan dipengaruhi oleh data neraca perdagangan domestik yang akan dilansir Badan Pusat Statistik (BPS). Reza mengatakan, rilis data neraca perdagangan dan perkembangan upah buruh maupun nilai tukar eceran rupiah akan mewarnai pergerakan rupiah hari ini.
“Untuk itu, tetap waspadai dan cermati sentimen yang akan muncul mengingat masih adanya potensi pelemahan lanjutan,” tambahnya.
Secara tren, laju rupiah cenderung bergerak sideways, sehingga pergerakannya masih rentan dengan berbagai sentimen, terutama jika sentimen yang ada kurang positif. Dia memperkirakan, kurs tengah Bank Indonesia akan berada pada kisaran Rp13.500-Rp13.588. “Laju Rupiah di bawah target support Rp13.588,” ujar Reza.
Sebelumnya dia juga menyampaikan, pelemahan sejumlah mata uang terhadap Dolar AS dimotori oleh Euro, setelah merespon hasil pidato ECB yang mengindikasikan adanya pelambatan ekonomi. Pergerakan Rupiah tersebut, sesuai dengan perkiraan sebelumnya yang cenderung mengalami pelemahan setelah tidak mampu bertahan di zona hijau.
Padahal, kata dia, rilis defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III-2015 kembali mengalami penurunan di level 1,86% atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 1,95%. Sementara di sisi lain, laju Dolar AS menguat terhadap Euro, Poundsterling, Dolar Selandia Baru, Yen dan beberapa mata uang lainnya.
Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo sempat mengatakan, salah satu penyebab kurs Rupiah tidak lagi berfluktuasi tajam adalah karena adanya rencana stimulus moneter yang akan dilakukan oleh Bank Sentral Eropa. “Stimulus akan tetap diberikan oleh Eropa, jadi tidak terjadi satu kondisi yang terlalu menekan rupiah,” ucapnya.
Respon positif pelaku pasar atas situasi di Eropa tersebut, kata Agus, telah mengurangi tekanan pada mata uang di negara berkembang, padahal ketidakpastian akibat isu kenaikan suku bunga AS masih terjadi. “Sebetulnya dari sisi kita dengan AS, itu risk off. Biasanya kalau risk off mata uang kita semua tertekan, tapi adanya stimulus Eropa membuat itu set off,” tegasnya.
Sebagai informasi, Bank Sentral Eropa telah memberikan indikasi untuk mengeluarkan kebijakan stimulus moneter pada awal Desember mendatang, sebagai bentuk respon pelemahan mata uang Euro terhadap dolar AS yang terjadi sejak Oktober 2015. (*)
Jakarta - PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) telah menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp158,60… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tegas melaksanakan langkah-langkah pengawasan secara ketat terhadap PT… Read More
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (22/11) Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - Rupiah berpeluang masih melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat ketegangan geopolitik Ukraina dan Rusia… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Jumat, 22 November… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More