Jakarta – Nilai tukar rupiah berpotensi terus menguat karena aksi ambil untung dolar AS. Namun, kenaikan laju rupiah sepertinya akan dibatasi oleh sejumlah faktor eksternal, terutama masalah perang dagang global yang masih sangat mengganggu sentimen dan membuat pasar menghindari risiko.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Research Analyst FXTM, Lukman Otunuga, dalam riset hariannya di Jakarta, Rabu, 4 Juli 2018. Menurutnya, masih adanya risiko global itu, membuat mata uang negara berkembang termasuk rupiah, masih akan mengalami tekanan terhadap dolar AS.
“Perlu dicatat pula bahwa faktor penggerak fundamental di balik apresiasi dolar yang agresif masih terus ada. Koreksi teknikal yang saat ini dialami dolar dapat memberi peluang baru bagi investor untuk mengangkat harga lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa saat ini perhatian pasar akan tertuju pada notulen rapat Federal Open Market Committee (FOMC) dan data Non-farm Payroll (NFP) ADP yang dijadwalkan bakal dirilis pada hari ini (4/6) yang diperkirakan bakal memberikan isyarat baru mengenai waktu kenaikan suku bunga AS di tahun ini.
“Dolar berpotensi memantul apabila notulen FOMC lebih hawkish dari yang diperkirakan. Apresiasi dolar tentu akan semakin memukul rupiah,” ucapnya.
Nilai tukar rupiah pada pagi hari ini (4/6/) dibuka menguat 47 poin atau 0,33 persen ke level Rp14.350 per dolar AS, setelah diperdagangan sebelumnya rupiah ditutup melemah 7 poin atau 0,05 persen di level Rp14.397 per dolar AS. Rupiah diprediksi terus menguat meski masih ada beberapa risiko global yang harus diwaspadai.
Menguatnya nilai tukar rupiah, bisa jadi akibat adanya dampak dari kenaikan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate yang sebesar 50 basis points (bps) pada akhir bulan lalu menjadi 5,25 persen. Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, pihaknya terus melakukan serangkaian langkah stabilisasi terhadap rupiah.
Selain melakukan pengetatan kebijakan moneternya melalui jalur suku bunga acuan, kata Perry, Bank Sentral juga akan melakukan stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi dengan menggunakan cadangan devisa yang ada saat ini. Di mana posisi cadangan devisa Indonesia hingga akhir Mei 2018 tercatat US$122,9 miliar.
“Intervensi untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valuta asing (valas) maupun rupiah, serta melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar,” papar Perry.
Perry menyampaikan, bahwa saat ini pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS bukan hanya terjadi pada rupiah saja, namun juga terjadi dan dialami oleh beberapa negara-negara regional. Menurutnya, secara relatif, pergerakan nilai tukar rupiah tersebut masih terkendali (manageable) sebagai bagian dari fenomena global yang terjadi saat ini.
“Pergerakan nilai tukar rupiah, harus diukur secara relatif dibandingkan dengan negara-negara lain. Ke depan BI akan terus menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian perkembangan ekonomi global, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah,” tutupnya. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More