Jakarta – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dimita untuk tidak menganggap remeh anjloknya nilai tukar rupiah yang bisa berdampak pada krisis ekonomi nasional. Asal tahu saja, hingga saat ini nilai tukar Rupiah masih bertengger di angka Rp14.800 per dollar Amerika Serikat (AS).
Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini melalui keterangan resminya. Didik pun menyebut, pelemahan nilai tukar sudah terjadi 4 hingga 5 tahun yang lalu dan praktis tidak ada upaya kebijakan yang signifikan dan cukup serius untuk menahan laju pelemahannya selama 4 tahun terakhir.
“Nilai tukar terkuat 5 tahun lalu berada pada kisaran 9 ribu rupiah per dollar AS dan sekarang mencapai 15 ribu rupiah per dollar AS. Jadi kalau tidak diambil periode sepotong, maka pelemahan nilai tukar selama ini mencapai tidak kurang dari 60 persen, dan data yang dipakai sepotong untuk memoleh pelemahan nilai tukar adalah 8 persen dihitung cuma beberapa bulan terakhir saja,” jelas Didik melalui keterangan resminya di Jakarta, Minggu 16 September 2018.
Baca juga: Kuatkan Rupiah, Pelaku Usaha Berkomitmen Kurangi Dolar
Dari pelemahan tersebut, Didik menilai muncul kontroversi mendadak tanpa melihat proses yang terjadi sebelumnya. Kontroversi apakah Indonesia akan mengalami krisis seperti tahun 1998 sangat mengemuka sebagai diskusi publik. Di satu sisi, pengamat menilai bahwa nilai tukar sudah masuk ke dalam kawah panas krisis seperti tahun 1998, sementara ekstrim pihak satunya menganggap ekonomi baik-baik saja dan krisis tidak akan terjadi.
“Pelemahan nilai tukar yang dalam sekitar 60 persen selama 4 tahun terakhir ini adalah tanda bahwa kebijakan makro tidak pruden, tetapi karena pencitraan publik melihat kebijakan yang ada begitu pruden,” tambah Didik.
Didik menyebut, semestinya pelemahan nilai tukar tidak kurang dari 60 persen selama beberapa tahun tersebut secara otomatis dapat menahan laju impor sehingga bisa memperkuat neraca perdagangan maupun neraca berjalan. Tetapi apa yang terjadi, kedua neraca yang sangat penting tersebut jebol karena memang terjadi kekosongan kebijakan ekonomi untuk menahan tekanan eksternal terhadap sektor eksternal dari ekonomi Indonesia.
“Ketika rupiah terpuruk ke puncak 15 ribu rupiah per dollar, maka make up yang dilakukan adalah faktor eksternal. Ekonomi Indonesia baik-baik saja. Anehnya, yang diterima publik betul-betul make up dan pencitraan tersebut,” tukas Didik.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat defisit transaksi berjalan meningkat pada triwulan II 2018. Defisit transaksi berjalan tercatat US$ 8,0 miliar atau 3,0% terhadap PDB pada triwulan II 2018, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan sebelumnya sebesar US$ 5,7 miliar (2,2% PDB).(*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More