Jakarta – Pemerintah dinilai perlu segera menertibkan social commerce, seperti Tiktok, untuk memastikan persaingan usaha sehat pada industri perdagangan elektronik (e-commerce).
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, setidaknya ada empat hal yang dapat diselamatkan dengan adanya penertiban social commerce.
Pertama, potensi kerugian negara dari pajak transaksi yang tidak dilaporkan oleh aplikasi. Kedua, potensi penipuan terhadap konsumen, baik dari sisi produk maupun dari sisi transaksi pembayaran.
Ketiga, tidak adanya perlindungan kerahasiaan data konsumen. Keempat, terjadi persaingan usaha tidak sehat dengan perusahaan perdagangan elektronik (e-commerce).
Untuk itu, Pemerintah diminta memastikan terciptanya persaingan usaha yang sehat dan adil bagi semua pelaku perdagangan digital, baik e-commerce maupun social commerce.
Nailul Huda menyatakan, bentuk penyetaraan bisa dari pajak, keamanan data pelanggan, hingga perlindungan pelaku usaha dalam negeri.
Semua aktor penjualan online harus taat ke aturan terkait, termasuk ke PP Nomor 80 Tahun 2019 mengenai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
“Kami mendorong adanya persaingan usaha yang sehat dan fair dari semua pelaku penjualan digital dari baik dari ecommerce maupun social commerce,” ujarnya dikutip 10 Juli 2023.
Lebih jauh, Nailul Huda mengungkapkan penyetaraan ini untuk mewujudkan industri yang sehat pula di penjualan secara online.
Baca juga: TikTok Guyur Investasi USD12,2 juta di Asia Tenggara
“Jika ecommerce dikenai pajak, maka social commerce juga harus sama. Dari sisi perlindungan konsumen, data pengguna juga harus sama-sama punya penyetaraan aturan perlindungan data pribadi. Begitu juga dengan upaya meminimalisir penipuan, di mana di ecommerce sudah aware terhadap hal tersebut,” ucapnya.
Ia menambahkan, di social commerce belum terlihat adanya kepastian soal perlindungan konsumen, sehingga transaksi yang sifatnya person to person (P2P) dengan dimediasi oleh platform media sosial, rentan terhadap penipuan.
Maka dari itu, lanjutnya, revisi Permendag terkait PMSE harus memasukkan unsur social commerce juga. Kebijakan ini, jelasnya, diperlukan untuk memaksa social commerce menyesuaikan diri terhadap aturan yang sama dengan ecommerce.
“Maka dari itu, revisi Permendag terkait PMSE harus memasukkan unsur social commerce juga. Hal tersebut guna memaksa social commerce complie terhadap aturan yang sama dengan ecommerce,” paparnya.
Dia juga menilai social commerce harus dipisahkan dari platform sosial media, sehingga tidak ada ranah habu-abu dalam transaksi perdagangan elektronik.
Ia mencontohkan, platform media sosial TikTok yang telah merilis TikTop Shop sebagai ecommerce. Namun, karena dalam penggunaannya digabungkan ke dalam media sosialnya, maka kegiatan social commerce yang berpotensi tidak dilaporkan transaksinya juga besar.
“Itu juga yang akhirnya membuat TikTok launching TikTok Shop. Tapi saya rasa transaksi di luar itu masih banyak juga,” jelasnya.
Baca juga: Tingginya Potensi Penyalahgunaan Data Pribadi pada Social Commerce
Seperti diketahui, Tiktok sebagai sosial media menjalankan bisnis berupa penjualan gift yang dapat diberikan sebagai hadiah kepada pengguna lain yang sedang melakukan LIVE streaming dalam aplikasinya.
Masih ingat dengan fenomena mandi lumpur? Ini adalah salah satu contoh di mana ketika transaksi koin dalam sebuah live tercatat tinggi, maka algoritma akan mendorong konten LIVE tersebut untuk viral, sehingga mendorong transaksi koin yang makin tinggi.
Sebagai sosial media, Tiktok masih kesulitan melakukan penyaringan terhadap konten-konten yang masuk. Media sosial memang berbasis pada user generated content. Namun, bukan berarti aplikator tidak memiliki aturan atau panduan yang harus dipatuhi pengguna.
Salah satu contoh terbaru adalah aksi LIVE streaming dimana seseorang melakukan Masturbasi untuk mendapatkan “gift” hingga mendongkrak pengikut. Anehnya, konten ini sempat viral. Apakah ini karena ada transaksi “koin/gift”?
Sebagai aplikator yang menjual koin di dalam platform, sudah sepatutnya aplikator ikut bertanggung jawab terhadap konten yang tersaji di sosial media.
Tiktok sebagai sosial ecommerce. Sebagai sosio-commerce tiktok mengizinkan pedagang menyematkan link toko online mereka dalam kontennya. Sosial Commerce berbeda dengan lapak e-commerce, karena hanya standby sebagai etalase dan transaksi yang terjadi dilakukan secara langsung oleh penjual dan pembeli.
Baca juga: UMKM Belum Siap, Penerapan Pajak di E-Commerce Tidak Bisa Dipaksakan
Ini juga yang dilakukan oleh Instagram dan Facebook yang menyediakan fitur toko sebagai etalase untuk mempromosikan produk. Namun, Instagram dan Facebook tidak menjadi perantara transaksi alias tidak bertanggung jawab atas yang terjadi selanjutnya.
Itu sebabnya Sosial Commerce disebut masih minim perlindungan dari sisi konsumen, karena transaksi dan pengantaran barang bukan menjadi tanggung jawab penyedia platform.
Tiktok mulai memasuki bisnis ecommerce dengan mengantongi izin dari Kemendag. Uniknya, ecommerce Tiktok berada do dalam satu aplikasi yang bergerak sebagai Sosial Media. Tidak adanya aturan mengenai aplikasi Sosial Media dan ecommerce harus dipisah, berpotensi menjadi permasalahan ke depan. Terlebih terkait soal pengawasan dan penindakan. (*)
Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More
Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More
Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More
Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More