Analisis

Rotasi Direksi Bank BUMN dan Keberanian Mengucurkan Kredit

Oleh Eko B. Supriyanto

Jakarta – PRESIDEN Joko Widodo bulan lalu memanggil direktur utama (dirut) dan komisaris utama bank seluruh Indonesia. Pesannya jelas, perbankan terlalu konservatif, kurang berani mengambil risiko, yang tecermin dari rendahnya pertumbuhan kredit. Menurut Presiden, perbankan sekarang ini tidak berani mengambil risiko. “Dan, risiko terbesar bank ketika tidak berani mengambil risiko,” demikian Jokowi menegaskan.

Sudah lama Presiden “marah” soal sektor mikro tersebut. Kredit seret, ekonomi lesu, sementara optimisme makro terjadi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang masih 5,1%, inflasi yang terjaga, suku bunga rendah, dan cadangan devisa yang relatif besar.

Apakah ada hubungannya antara rotasi direksi bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) dengan lambatnya pertumbuhan kredit? Tidak ada yang memastikan tentang korelasi kedua hal itu. Bisa jadi, ini hanya rotasi, dan lebih banyak karena tidak satu chemistry saja dalam tim.

Masalahnya, mengapa di bank-bank BUMN sering terjadi bongkar pasang? Para investor sering bertanya, apa urgensinya pindah-pindah yang orangnya itu-itu saja? Mengapa baru satu tahun sudah dipindah? Apakah ada maksud lain dari perpindahan itu?

Tidak mudah mencari jawaban itu. Namun, yang pasti, bank-bank BUMN sekarang makin sehat dan direksinya tiap tahun sport jantung atawa deg-degan. Pergantian direksi bank BUMN bukan karena key performance indicator (KPI), melainkan lebih karena hubungan batin antara Kementerian BUMN dan dirutnya. Jangan harap dengan kinerja bagus tidak diganti. Jadi, menjelang Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) selalu deg-degan. “Pasrah saja, Mas. Sing penting sehat badan dan tak melakukan kesalahan,” demikian bunyi WhatsApp dari seorang direksi bank BUMN kepada Infobank.

Tanpa harus menghubungkan rotasi direksi bank BUMN dengan lambatnya kredit, tulisan ini hanya mengupas, mengapa kredit rendah ketika pertumbuhan baik, investment grade membaik, inflasi terjaga, dan yang terpenting suku bunga terendah sepanjang sejarah Republik Indonesia. Presiden berkeinginan kredit tumbuh lebih besar sehingga ekonomi tumbuh 5,4%.

Menurut pandangan Biro Riset Infobank (birI), mengucurkan kredit sangatlah mudah. Obral kredit itu mudah, yang susah adalah bagaimana agar kredit tidak menjadi non performing loan (NPL). Apalagi bagi bank-bank BUMN dan bank pembangunan daerah (BPD)—sering kali kredit macet menjadi senjata balik menjadi tersangka. Jadi, mengambil risiko yang konyol juga tidak ada gunanya karena jika terjadi kemacetan pada akhirnya risiko ditanggung sendiri.

Sejak tiga tahun terakhir, pertumbuhan kredit tidak punya korelasi penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama tiga tahun terakhir, kredit hanya tumbuh single digit dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,01%. Menurut catatan Biro Riset Infobank, sebelum 2014 pertumbuhan kredit selalu di kisaran tiga hingga empat kali pertumbuhan ekonomi. Itu artinya, kredit perbankan benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi. Sejak 2014, justru kredit tak punya peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi. Atau, sebenarnya pertumbuhan ekonomi itu mendorong pertumbuhan kredit?

Dari mana sumber pertumbuhan ekonomi? Biro Riset Infobank menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir berasal dari konsumsi yang bersumber dari utang luar negeri. Pertumbuhan utang pemerintah untuk infrastruktur terus meningkat dan mendorong konsumsi. Bisa jadi, ini akan terus berlangsung hingga 2019.

Untuk itu, kredit bank tidak bisa dipaksakan dan bukan salah bankir, apalagi tidak berani mengambil risiko karena tidak berani mengucurkan kredit. Ada gula ada semut. Ada bisnis ada kredit bank. Sudah tentu di dunia ini tidak ada bank yang tidak memberikan kredit karena bank hidupnya dari memberikan kredit—agar ekonomi tumbuh dan memperoleh keuntungan untuk modal memberikan kredit yang lebih besar.

Mengapa kredit tetap seret, meski suku bunga rendah? Ternyata, suku bunga rendah juga belum mampu mendorong kredit. Risk premium kredit pun masih besar akibat credit at risk yang juga masih besar.

Fakta lain bahwa bank tidak punya keberanian dalam memberikan kredit setidaknya tidak benar. Lihat saja, angka undisbursed loan atau kredit yang belum terpakai terus mendaki. Pada 2014 angkanya masih sekitar Rp1.137 triliun dan pada 2017 menjadi Rp1.410 triliun. Itu artinya, pengusaha tidak mencairkan kreditnya. Bisa jadi, pengusaha lebih baik wait and see daripada tidak bisa mengembalikan kredit.

Faktor lain yang membuat pening bankir adalah banyaknya kredit macet akibat debitur “sontoloyo” yang tidak mau membayar pinjaman dengan “main” di Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Fakta lain sekarang ini banyak perusahaan yang mencari sumber pembiayaan di pasar modal dengan menerbitkan corporate bond dan rights issue yang nilainya mencapai Rp415 triliun tahun lalu.

Keberanian memberikan kredit bukan keberanian konyol yang akan membuahkan kredit macet. Persoalan lambatnya kredit bukan persoalan di dalam perbankan sendiri karena bank ada prudential regulation. Lambatnya kredit karena masalahnya ada di luar perbankan, hukum tidak membela bankir, dan daya beli masyarakat masih belum kuat. Ada kontraksi akibat penarikan pajak tax amnesty.

Sektor perbankan membutuhkan kebijakan stimulus. Apakah regulator sudah membuat kebijakan pendorong agar bank-bank memberikan kredit? Jadi, kredit seret masalah terbesarnya di luar perbankan. Bankir tak boleh nekat dan sok berani karena risiko tetap ada di bank dan bankir sendiri. Maka, tetaplah hati-hati. Besarnya capital adequacy ratio (CAR) yang 23% tidak otomatis bisa mengucurkan kredit—urusan kredit, para bankir tidak usah disuruh-suruh karena memberikan kredit sudah tugas bankir.

Nah, kalau sekarang bankir belum memberikan kredit yang deras, itu karena banyak masalah yang ada di luar perbankan. Para debitur sontoloyo itulah yang kini masih main-main di luar dan sering bermain di pengadilan. Walau kredit seret, plus setiap tahun “dag dig dug” menjelang RUPS, toh laba meningkat dan sudah tentu bonus yang dibawa pulang pun makin besar. Tetap hati-hati dalam memberikan kredit! (*)

Risca Vilana

Recent Posts

Jumlah SID Naik, BEI Gaspol Tingkatkan Keaktifan Investor di Pasar Modal

Balikpapan – PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, jumlah single investor identification (SID) menembus 14 juta per… Read More

10 hours ago

Generali Indonesia Beri Perlindungan Asuransi bagi 6.000 Pelari di PLN Electric Run 2024

Jakarta – PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia (Generali Indonesia) terus mendukung berbagai kegiatan yang mempromosikan kesehatan… Read More

11 hours ago

Diikuti 6.470 Pelari, PLN Electric Run 2024 Ditarget Hindari Emisi Karbon hingga 14 ton CO2

Jakarta - Sebanyak 6.470 racepack telah diambil pelari yang berpartisipasi dalam PLN Electric Run 2024… Read More

18 hours ago

Segini Target OJK Buka Akses Produk dan Layanan Jasa Keuangan di BIK 2024

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membidik pencapaian Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2024 sekitar 8,7… Read More

18 hours ago

HUT ke-26, Bank Mandiri Hadirkan Inovasi Digital Adaptif dan Solutif untuk Siap Jadi Jawara Masa Depan

Jakarta - Merayakan usia ke-26, Bank Mandiri meluncurkan berbagai fitur dan layanan digital terbaru untuk… Read More

1 day ago

KemenKopUKM Gandeng Surveyor Indonesia Verifikasi Status Usaha Simpan Pinjam Koperasi

Jakarta - Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) menunjuk PT Surveyor Indonesia, anggota Holding BUMN IDSurvey,… Read More

1 day ago