Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun 2022 berada pada angka 5,1%. Hal ini, mengindikasikan bahwa Indonesia tidak akan mengalami resesi namun akan terjadi perlambatan ekonomi.
Tercermin, dari normalisasi pasca pandemi yang sudah sesuai dengan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Meskipun, pada kuartal IV-2022 akan melambat moderat yang diperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,3% yang saat ini di kuartal-III 2022 5,72%.
“Walaupun ini sesuai dengan semangat PEN pemulihan dan normalisasi. Normalnya apa? normalnya di kuartal IV-2022 biasanya negatif growth, memang polanya begitu pra pandemi karena puncaknya di kuartal-III 2022 dan normalnya Indonesia masih 5%,” kata Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF, Selasa, 8 November 2022.
Lebih lanjut, pihaknya melihat bahwa Indonesia tidak akan mengalami resesi, tetapi melambat ditambah dengan inflasi yang akan naik, sehingga stagflasi kemungkinannya tinggi.
Untuk itu, Indef merekomendasikan beberapa kebijakan bagi pemerintah agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tinggi dan terjaga. Kebijakan tersebut antara lain, belanja barang dan modal pemerintah yang masing-masing masih sebesar 66,44% dan 66,83% harus dikebut agar bisa diserap sampai akhir tahun, tapi juga tetap berkualitas jangan mencari metode atau belanja yang rendah kualitas dan dampaknya
“Khususnya bantuan dan perlindungan sosial yang tepat sasaran karena saat ini kurang tepat sasarannya karena datanya tidak update, yang akhirnya dilaksanakan survei Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi) agar data segera diolah dan digunakan untuk penyaluran Bansos dan Perlinsos jangan tunggu tahun depan,” pungkasnya.
Selain itu, penyesuaian moderat BI 7 Day Reverse Repo Rate. Jadi kalau memang rupiah sudah menguat dan capital outflownya sudah agak melemah, bisa disesuaikan lagi tidak perlu meningkatkan secara agresif mengikuti The Fed dan Bank Sentral lainya.
Terakhir, meningkatkan ekspor non komoditas dan industrialisasi. Meskipun di negara lain belum sepenuhnya membaik tapi perlu didorong ekspor non komoditas dan di dalam negeri juga perlu ditingkatkan industrialisasi.
“Karena dari data, terjadi tendensi deindustrialisasi dimana proporsi sektor manufaktur cenderung menurun, padahal kalau kita lihat di negara-negara Asia Timur pertumbuhan, kesejahteraan itu dilihat dari sektor manufaktur. Jadi, industrialisasi dan transformasi yang ekspor oriented belum jadi prioritas kebijakan,” tegas Berly. (*) Irawati
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9:00 WIB, Jumat, 18 Oktober 2024, Indeks… Read More
Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan telah bergabung dengan Global Asia Insurance Partnership (GAIP)… Read More
Bangkok - Kasikorn Bank (KBank) semakin mengukuhkan posisinya di kawasan ASEAN dan sekitarnya dengan strategi… Read More
Jakarta - BNI Sekuritas menyoroti pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More
Solo - Solo International Art Camp (SIAC) 2024 kembali lagi. Event yang digelar pada 17-24… Read More
Jakarta - Perkembangan teknologi digital yang pesat telah mendorong industri keuangan memperluas jaringan melalui aplikasi… Read More
View Comments
pemerintah maupun masyarakat secara individu dapat melakukan langkah preventif maupun pencegahan terhadap dampak dari resesi ekonomi sehingga nantinya tidak terlalu merasakan kesulitan ketika resesi ekonomi mulai melanda