Jakarta – Ketergantungan Indonesia akan impor gula masih sangat tinggi. Pasalnya, kebutuhan yang terus bertumbuh tak dapat dipenuhi oleh industri gula dalam negeri. Mesin-mesin pabrik gula berumur ratusan tahun (100-187 tahun) masih mendominasi hingga 59,7%, dan perubahan peruntukan lahan pertanian masih menjadi kendala.
Pabrik gula tua yang rata-rata didapati di pabrik gula BUMN membuat produksi gula tidak hanya menjadi terbatas. Karena tak efisien, harga gula dari pabrik-pabrik tua tersebut menjadi 3-4 kali lipat lebih tinggi dibanding gula impor sehingga tidak laku di pasar. Beberapa kalangan pun mengkritik langkah pemerintah yang tak kunjung melakukan revitalisasi industri gula secara komprehensif.
“Yang tua itu kan pabrik-pabrik gula BUMN. Revitalisasi pabrik juga kelihatan setengah hati. Cuma revitalisasi di bagian apa, terus di bagian apa. Harusnya revitalisasi menyeluruh,” ujar Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Revrisond Baswir, seperti dikutip di Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019.
Untuk diketahui, harga gula lokal sampai dengan November 2018 lalu sebesar tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan harga gula dunia. Harga gula lokal mencapai Rp12.163 per kg, sementara rata-rata harga gula mentah dunia hanya Rp4.000.
Revrisond berpandangan, soal revitalisasi pabrik gula secara menyeluruh ini sulit terjadi. Pasalnya, investor akan cenderung ragu melihat produksi tebu nasional yang dipandang tidak akan mencukupi kebutuhan pabrik gula sendiri. “Selama ini kan lahan tebu masih bercampur-campur. Jarang yang lahan tebu doang tanpa ditanami apa-apa lagi,” ucapnya.
Namun, perluasan lahan pun menjadi muskil dilakukan. Melihat dari kecenderungan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) yang cenderung abai terhadap masalah produksi tebu nasional ini. “Perhatian Kementerian Pertanian masih minim yaa soal gula ini,” keluhnya.
Dilihat dari Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Tebu 2015-2017, lahan perkebunan tebu dalam periode 2008-2017 tak banyak mengalami perubahan. Pada periode tersebut, luas rata-rata mencapai 454.782 hektare, dengan luasan tertinggi pada 2014 yakni 478.108 hektare dan luasan terendah pada 2009 seluas 441.440 hektare. Dari luasan tersebut, rata-rata produksi pada periode yang sama adalah 246 juta ton.
Menurut Anggota Komisi VI DPR-RI Inas N Zubir, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah terkait peningkatan produksi gula nasional. Pihaknya menyesalkan pemerintah yang terkesan lamban dalam hal revitalisasi ini. Berdasarkan kunjungan yang dilakukannya di beberapa pabrik gula milik BUMN, rendahnya produksi gula nasional lantaran pabrik yang sudah berusia tua.
Dari kunjungan itu, Inas menyatakan, pabrik gula berplat merah sudah tak dapat direvitalisasi lagi. “Pabrik gula itu harus dibongkar dan dibangun ulang dengan mesin yang modern. Karena sudah terlampau tua” tegasnya.
Tak hanya umur pabrik gula yang menjadi masalah minimnya produksi gula dalam negeri. Sejauh ini, kata dia, pemerintah tak mampu menjaga kestabilan produksi tebu para petani. “Banyak lahan tebu berubah menjadi area bisnis bahkan perumahan. Ini adalah dampak dari otonomi daerah. Pemerintah Daerah senaknya saja merubah lahan pertanian tebu menjadi fungsi lain,” paparnya.
Indonesia disebut sebagai importir gula terbesar di dunia. Berdasarkan data lembaga penyedia data Statista, pada 2017/2018, Indonesia mengimpor gula sejumlah 4,45 metrik ton. Volume impor ini turun setelah sempat menyentuh angka 4,6 juta ton pada 2016, melonjak dari tahun sebelumnya sebesar 3,4 juta ton.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menyebutkan nilai impor tertinggi pada 2016, yakni mencapai US$2,09 miliar, melonjak dari 2015 sebesar US$1,25 miliar. Di 2017 dan 2018, nilai impor sedikit menyusut menjadi US$2,07 miliar dan US$1,79 miliar. (*)