Jakarta – Ancaman lonjakan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) memang tengah menghantui beberapa bank dalam negri, apalagi setelah muncul kasus potensi gagal bayar utang Duniatex group mencuat.
Apalagi diketahui, sejumlah bank menjadi kreditur di Duniatex group, yang totalnya mencapai triliunan rupiah.
Melihat hal itu, Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengungkapkan, kasus duniatex ibarat snowball effect yang akan berdampak luas ke sektor industri pengolahan tekstil. Sementara itu kucuran kredit untuk perusahaan-perusahaan tekstil kakap nilainya bisa puluhan triliun.
Imbas macetnya pembayaran kredit otomatis menaikan resiko NPL perbankan. Sehingga cara paling realistis untuk tekan bom kredit macet adalah restrukturisasi kredit.
“Duniatex kan pasti punya aset. Bisa dijual aset nya atau likuidasi aset kmudian nego bunga dan cicilan pokok bisa di perpanjang. Jangan sampai masuk kolektibilitas 5 alias macet dan tidak bisa ditagih sama sekali,” jelas Bhima, di Jakarta, Senin, 29 Juli 2019.
Seperti diketahui, beberapa kreditur mulai melakukan skema restrukturisasi, sebagai salah satu strategi atasi utang group Duniatex. Bahkan, beberapa kreditur telah menyampaikan rencana restrukturisasi ke publik, salah satunya PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI).
Pihak BNI mengungkapkan, bahwa benar Perseroan merupakan salah satu kreditur Duniatex Group, dengan total exposure kredit korporasi (termasuk sindikasi) per tanggal 30 Juni 2019 sebesar Rp459 Miliar, dan perseroan tidak memiliki portofolio surat berharga atas nama Duniatex. Perseroanpun akan melakukan langkah-langkah restrukturisasi fasilitas kredit.
“Pada saat yang bersamaan perseroan berupaya untuk melakukan penjualan jaminan dengan menggandeng strategic Investor,” jelas Corporate Secretary BNI, Meiliana dalam keterbukaan informasi perusahaan di bursa.
Selain itu Bank Mandiri juga menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk mengantisipasi kondisi yang dapat mempengaruhi fasilitas kredit group usaha dari Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) tersebut.
Mandiri sendiri mengkonfirmasi telah memiliki eksposur kredit senilai Rp2,2 triliun kepada produsen tekstil Indonesia yang juga anak usaha Duniatex Group.
Sementara itu Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank mengakui telah memberikan fasilitas kepada Grup Duniatex melalui sindikasi maupun bilateral. Pembiayaan tersebut diberikan kepada PT Delta Dunia Textile (DDT), PT Delta Merlin Sandang Tekstil (DMST), PT Delta Merlin Dunia Tekstil (DMDT) dan PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) masing masing sebesar Rp1,2 triliun, Rp1,5 triliun, Rp54 miliar, Rp289 miliar.
Upaya yang dilakukan LPEI yakni meminta komitmen debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan menjual aset-aset non produktif. Sedangkan terkait restrukturisasi, akan ditetapkan setelah memperoleh rekomendasi dari konsultan yang ditunjuk, serta hasil kesepakatan dengan kreditur lainnya untuk pinjaman sindikasi.
Upaya restrukturisasi juga akan dilakukan BRlsyariah, yang memberikan fasilitas pembiayaan kepada 3 (tiga) perusahaan dibawah Duniatex Group dengan total outstanding per 25 Juli 2019 sebesar Rp440 milyar.
“BRI Syariah akan review dan restrukturisasi atas seluruh pembiayaan Duniatex group di BRI Syariah,” terang Direktur BRI Syariah, Kokok Alun Akbar.
Kini pertanyaannya, apakah dengan restrukturisasi masalah akan kelar? Tentu hal ini masih menjadi tanda tanya besar. Beberapa bank sendiri mengaku apa yang terjadi di Duniatex tidak akan mengganggu kinerja keuangannya.
BNI contohnya, pihak BNI mengungkapkan kasus gagal bayar kupon Global Bond Duniatex, tidak menimbulkan dampak yang signifikan terhadap rasio keuangan Perseroan. Terlebih perseroan juga menguasai jaminan fixed asset dengan coverage lebih dari 250% terhadap total fasilitas kredit.
Seperti diketahui, munculnya kasus ini bermula ketika PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) yang tergabung dalam Grup Duniatex dikabarkan berpotensi gagal bayar utang obligasi.
Kondisi itu membuat lembaga pemeringkat global, Standard & Poors (S&P) memangkas habis peringkat utang jangka panjang DMDT. Di dalamnya termasuk surat utang unsecured notes yang diterbitkan perusahaan dari BB- menjadi CCC-, atau diturunkan enam notch. Fitch Rating juga telah lebih dulu menurunkan peringkat DMDT dari BB- ke B-. (*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More