Jakarta – Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai rencana penghapusan kredit macet usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Adapun, dalam Pasal 250 bab XIX UU PPSK mengatur bahwa kredit macet bank dan nonbank BUMN kepada UMKM dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada sektor tersebut.
Ketika merujuk pada pasal 251 UU PPSK disebutkan bahwa kerugian yang dialami bank atau nonbank BUMN dalam melaksanakan hapus buku merupakan kerugian perusahaan masing-masing.
Regulasi tersebut mengatur kerugian yang timbul bukan termasuk kerugian negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan itu dilakukan berdasrkan itikad baik, sesuai dengan ketentuan hukum dan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik.
Baca juga: Wacana Penghapusan Kredit Macet UMKM, Bank Mandiri Tunggu Aturan Turunan
Isu penghapus bukuan kredit macet UMKM tersebut juga diperkuat oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang memberikan catatan bahwa jumlah debitur UMKM yang masuk kategori NPL (non performing loan) atau macet mencapai 246.324 debitur.
Peneliti lembaga ESED dan Praktisi Perbankan BUMN, Chandra Bagus Sulistyo mengatakan kebijakan ini sangat mendukung apa yang menjadi inisiasi pemberian akses pembiayaan untuk UMKM, karena kebijakan tersebut membantu segmen UMKM lebih berani mengakses pendanaan.
“Hal itu akan mendorong pertumbuhan kredit yang diberikan pemerintah lebih akan menggerakkan perekonomian di tataran pelaku ekonomi sektor riil. Karena kita tahu bahwa UMKM merupakan sektor yang potensial dan sekaligus menjadi tulang punggung perekonomian nasional,” ujar Chandra saat dihubungi Infobanknews, dikutip Senin 31 Juli 2023.
Menurutnya, tentu dengan kebijakan ini diharapkan sebagai pendorong utama kredit di sektor UMKM yang dapat memenuhi rasio pembiayaan inklusif makroprudensial dalam sektor pembiayaan inklusif yaitu sebesar 30%.
Di sisi lain, pemerintah juga diminta untuk selektif dalam memilih UMKM yang dapat diberikan penghapus bukuan kredit macet dan harus berdasarkan kriteria tertentu.
“Misalnya dinilai dari prospek usaha, nilai aset tabungan, kelancaran pembayaran cicilan pada saat pra pandemic, karena kita tahu di lapangan kita menemukan beberapa kredit macet dibawah Rp5 juta, padahal bisnisnya mengalami kemajuan di era pasca pandemi,” jelas Chandra.
Kemudian, pemerintah juga dalam menerapkan regulasi harus tepat agar penyaringan UMKM yang layak mendapatkan penghapusan kredit macet berjalan dengan baik, sehigga pihak perbankan tidak dirugikan dalam kebijakan tersebut.
“Jadi kami melihat perlunya memperhatikan dari sisi perbankan nya. Diharapkan ada regulasi yang bisa memayungi perbankan sehingga ada win win solution antara UMKM yang nanti akan dihapus bukukan dengan perbankan. Karena bagaimanapun perbankan adalah motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi. Kita tahu bahwa perekonomian yang kuat berdasarkan dari perbankan yang kuat juga,” ungkapnya.
Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank spesialis UMKM menyambut baik dan mendukung kebijakan pemerintah tersebut. Bahkan sejak 2021, Perseroan telah mengusulkan kepada regulator untuk me-review soal ketentuan terkait hapus buku kredit dan tagih piutang (write-off) bagi UMKM.
Terkait dengan hal tersebut, Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan bahwa segmen UMKM khususnya mikro dan ultra mikro, masih memiliki peluang besar dalam pembiayaan. Kendati demikian di segmen UMKM sendiri masih ada masalah meminjam dan tidak terbayar.
Di sisi lain BRI yang merupakan bank pemberdaya UMKM sekaligus perusahaan milik negara, tidak berani menghapuskan kredit macet tersebut karena dapat masuk sebagai aset negara.
“Maka butuh policy seperti rencana pemerintah tersebut, sehingga akan menambah daya jelajah dan konsumsi kredit UMKM di masa yang akan datang. Kami telah lama memperjuangkan hal ini (hapus buku dan hapus tagih), jadi kami menyambut baik rencana tersebut,” ujar Sunarso.
Sementara itu, PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) dalam merespons kebijakan tersebut pihaknya masih menunggu aturan turunan dari UU PPSK dalam mengimplementasikannya.
Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri, Ahmad Siddik Badruddin mengatakan yang paling utama adalah ketentuan dari kebijakan tersebut harus bisa menghindari potensi moral hazard dan juga ditunjukan untuk debitur-debitur yang sudah berusaha keras serta berkerja sama derngan bank untuk melakukan restrukturisasi terhadap kredit macetnya, namun belum membuahkan hasil.
Baca juga: Dorong UMKM Tembus Pasar Ekspor, Ini Kebijakan yang Disiapkan BI
Kebijakan ini, tambahnya, harus dipilih secara selektif bagi UMKM mana saja yang berhak menerimanya. Seperti, UMKM yang usahanya masih ada dan berpotensi untuk meningkatkan usahanya kembali pasca pandemi Covid-19.
“Kita harus menghindari debitur-debitur yang misalnya fiktif atau debitur yang sudah tidak bisa ditemu lagi di lapangan, jadi memang ditujukan untuk debitur yang usahanya masih ada dan berpotensi untuk meningkatkan usaha dan kita bisa bantu mereka dengan melakukan hapus tagih,” jelasnya. (*)
Editor: Galih Pratama
Suasana saat konferensi pers saat peluncuran Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera di Jakarta. Presiden Direktur… Read More
Jakarta - PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) resmi menandatangani nota… Read More
Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat sebesar 4,95 persen, sedikit melambat dibandingkan kuartal… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan biaya pendidikan yang signifikan setiap tahun, dengan… Read More
Jakarta - Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI) Agus Riyanto mengapresiasi langkah cepat Presiden Prabowo… Read More
Jakarta - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan pemerintah tengah membahas revisi Peraturan… Read More