Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengaku akan membatasi porsi pembelian oleh bank terhadap obligasi yang bisa dihitung sebagai pembiayaan. Hal ini sejalan dengan akan dikeluarkannya aturan baru terkait relaksasi rasio pembiayaan terhadap pendanaan (Loan to Funding Ratio/LFR).
Skema LFR yang nantinya digantikan dengan Financing Funding to Ratio (FFR) akan turut menghitung pembelian oleh bank terhadap obligasi sebagai unsur pembiayaan. Menurut BI, pihaknya berjanji bahwa peraturan baru tersebut tidak akan signifikan mengurangi jumlah kredit yang disalurkan bank ke nasabah.
“Persentasenya akan kami tentukan dari total porsi kredit bank. Jadi tidak akan berlebih,” ujar Gubernur BI Agus DW Martowardojo, di Jakarta, Jumat, 29 September 2017.
Namun demikian, dirinya masih enggan untuk menginformasikan lebih lanjut berapa batas porsi pembiayaan bank melalui obligasi tersebut. Dia mengungkapkan, bahwa BI sejauh ini masih melakuan kajian sekaligus menggodok aturan baru yang nantinya akan mengubah skema LFR tersebut.
LFR merupakan rasio pembiayaan terhadap pendanaan bank. Di mana saat ini, pembiayaan yang disalurkan bank hanya dihitung berdasarkan penyaluran kredit. Padahal permintaan kredit belum begitu menggeliat. Per Juli 2017, kredit baru tumbuh 8,2 persen (yoy).
Dalam hal ini, BI berencana untuk menambah komponen perhitungan pembiayaan tersebut dengan pembelian obligasi korporasi yang dilakukan bank, dan bukan hanya melalui penyaluran kredit saja. Dirinya beralasan bahwa perubahan LFR itu bertujuan agar fungsi intermediasi bank dapat lebih efektif.
Kontribusi bank tidak akan berkurang karena penyaluran pembiayaan bank dengan membeli obligasi akan turut memberikan kontribusi ke perekonomian, melalui pasar modal. “Sekarang kalaupun kredit bank terbatas, pertumbuhan penyaluran di pasar modal itu cukup baik sudah sampai Rp190 triliun. Mungkin di atas 50 persennya berbentuk obligasi,” ucapnya.
Selain itu, hal ini dapat menjadi alternatif bagi bank jika saat ini masih kesulitan menyalurkan kredit. Secara makro, kebijakan tersebut juga diharapkan dapat memperdalam pasar keuangan. “Dia bisa beli obligasi dari korporasi non-bank dan kami lihat rasionya tidak berlebihan di pembukuan bank kami lihat bank akan semakin bergairah,” jelasnya.
Lebih lanjut Agus menambahkan, beberapa hal yang diatur adalah penambahan unsur pembiayaan itu hanya untuk pembelian obligasi korporasi non-bank dan memiliki peringkat (rating) yang akan ditentukan. “Saat ini ketentuannya masih kajian. Kita akan lihat pada waktunya,” tutup Agus. (*)
Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More
Jakarta - Harga emas Antam atau bersertifikat PT Aneka Tambang hari ini, Senin, 23 Desember… Read More