Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga.
Oleh Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga
JIKA tidak membuat sensasi, bukan Menteri Purbaya namanya. Menteri Keuangan (Menkeu) RI yang satu ini memang kerap membuat gebrakan yang menyedot perhatian publik dalam kebijakan-kebijakannya. Belum lama ini ia mengatakan akan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah, yang sudah ada sejak 2013, bahkan RUU-nya sudah mulai disusun sejak 2017.
Rencana penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya tersebut sempat gagal karena kurangnya pemahaman masyarakat dan situasi politik yang tidak stabil pada saat itu. Saat ini, RUU Redenominasi Rupiah sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2025-2029, dan itu merupakan target prioritas Menkeu.
Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan sistem keuangan dengan mengurangi jumlah digit pada mata uang, sehingga menjadi lebih mudah digunakan dan dipahami. Dengan mengurangi jumlah digit, transaksi keuangan menjadi lebih cepat dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kecepatan dan efisiensi ekonomi. Selain itu, redenominasi dapat mengurangi biaya pencetakan uang, karena jumlah uang yang dicetak dapat dikurangi.
Bagi masyarakat modern, redenominasi mungkin lebih bisa diterima karena membuat uang menjadi lebih stabil dan mudah digunakan, serta lebih efisien. Namun, tidak bagi masyarakat awam. Redenominasi bisa dianggap sanering, yaitu pemotongan uang seperti di era Soekarno, yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Kebijakan sanering memang pernah dilakukan di era Soekarno. Namun, waktu itu kebijakan tersebut tujuannya untuk mengurangi peredaran rupiah dan mengatasi masalah hiperinflasi. Sedangkan sekarang redenominasi dimaksudkan hanya untuk penyederhanaan nominal dari sisi unit of account yang pada dasarnya sebenarnya tidak terjadi masalah.
Mungkin Purbaya ingin menyamakan rupiah dengan mata uang lain, seperti dolar, euro, dan pound sterling. Misalnya, dolar AS yang dapat mengintegrasikan sistem keuangan internasional, sehingga membuatnya lebih mudah untuk dipakai dalam transaksi internasional.
Namun, untuk saat ini, mengingat ekonomi global masih berada dalam ketidakpastian, dan sektor/pelaku bisnis juga tidak mempermasalahkan nilai rupiah, kebijakan redenominasi sepertinya belum dianggap mendesak. Justru bahaya kalau sekarang menerapkan kebijakan tersebut. Sebab, masih banyak barang kebutuhan hidup yang harganya masih dalam bentuk ribuan.
Jika Rp10.000 diubah jadi Rp1.000, barang-barang itu susah naik secara pecahan. Pedagang atau pelaku usaha dapat membulatkan harga ke atas untuk memudahkan perhitungan, akibatnya jika harga naik bisa menyebabkan creeping inflation.
Juga jangan lupa, dampak psikologisnya akan dirasakan masyarakat, terutama masyarakat awam yang masih dihantui model sanering era Soekarno. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, uang yang dipegang – dari redenominasi ini – serasa makin tidak memiliki arti, sehingga akan menimbulkan keresahan, kepanikan, dan ketidakstabilan keuangan.
Sebenarnya, dengan kemajuan teknologi digitalisasi, redenominasi tidaklah terlalu dibutuhkan. Saat ini, mulai jarang orang yang membawa uang kartal tebal-tebal di dalam dompetnya. Justru dengan sistem pembayaran digital yang mulai pamilier seperti sekarang makin mudah orang melakukan transaksi. Tak perlu ribet lagi membawa uang kartal.
Redenominasi bukanlah hal tabu untuk dilakukan suatu negara. Namun, untuk melakukan itu setidaknya ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, kondisi makro-ekonomi harus stabil, dan sudah mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Inflasi juga harus stabil dan tidak ada tekanan eksternal. Sementara, yang terjadi sekarang, struktural domestik masih rentan dan masih rawannya ketidakpastian ekonomi global.
Kedua, sistem perbankan yang kuat dan stabil, serta infrastruktur keuangan yang memadai. Ketiga, stabilitas politik dan keamanan yang terjamin, sehingga proses redenominasi dapat berjalan lancar.
Perlu dipikirkan, redenominasi memerlukan biaya besar: untuk mencetak uang baru, mengganti sistem ATM, mesin kasir, dan menyesuaikan sistem akuntansi di seluruh lembaga keuangan. Biaya yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp3 triliun-Rp5 triliun. Selain itu, memerlukan masa transisi 3-5 tahun di mana mata uang lama dan baru beredar bersamaan, sehingga dapat menimbulkan kebingungan. UMKM mungkin menghadapi tantangan dalam pencatatan harga dan transaksi harian.
Lantas, apa dasarnya sehingga pemerintah terkesan terburu-buru mau melakukan redenominasi? Jusur, masih banyak permasalahan di dalam negeri yang harus diselesaikan. Sebut saja permasalahan middle class yang dalam kondisi keuangan rumah tangganya minus, lalu tabungan masyarakat yang turun sampai 70 persen.
Turunnya jumlah middle income class kita dari 57 juta ke 47 juta dalam enam tahun terakhir harus dipikirkan dan dicarikan solusi sebelum melangkah ke hal-hal yang tidak terlalu urgen. Jangan sampai middle class ini makin frustasi menghadapi kondisi yang ada.
Tak hanya itu, stabilitas suku bunga juga masih volatil seiring dengan perang teknologi antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Perang dagang antara Tiongkok dan AS juga sudah bergeser ke financial market. Tiongkok sekarang melalukan issuing bonds dalam dolar AS (US$) yang membuat likuiditas dolar makin gersang.
Business cycle yang kita alami sekarang dalam kondisi suram. Hal itu dapat dilihat dari data menurunnya pendapatan korporasi. Buktinya, pertumbuhan kredit baru terealisasi 7 persen dengan target mininal 11 persen. Di lain sisi, undisbursed loan per September 2025 mencapai Rp2,374,8 triliun atau sekitar 22,54 persen dari plafon kredit yang tersedia.
Sebaiknya pemerintah membenahi permasalahan yang lebih krusial ketimbang sibuk mengurusi redenominasi. Terutama mengenai tax ratio selama tiga tahun berturut-turut yang makin menurun bahkan di bawah 10%. Terkait peningkatan pertumbuhan ekonomi, sebaiknya tidak hanya fokus pada angka pertumbuhan, tapi lebih dari itu harus ada dampak pada koefisien elastisitas penyerapan kerja, di mana saat ini masih jauh dari harapan.
Seyogianya, pemerintah tidak hanya bangga dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, tapi seberapa besar peningkatan jumlah tenaga kerja yang dapat diserap imbas dari produk domestik bruto (PDB) yang katanya bertumbuh. Setiap 1 persen pertumbuhan harusnya menciptakan sekitar 400.000 lapangan kerja. Kenyataannya, saat ini justru mengalami penurunan drastis. Laporan Bappenas tahun lalu menyebut tinggal 200.000-an.
Kita harus crosscheck dengan output sektor primer, sekunder, dan tersier. Dari ketiga sektor itu, mana yang paling banyak constrain-nya. Pergeseran tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal dalam lima tahun terakhir ini sangat massif. Banyak yang beralih ke gig economy (ojek online, freelance, usaha mikro). Tentu penghasilannya masih di bawah UMR.
Kebijakan ekonomi yang diperlukan saat ini adalah harus prioritas pada rakyat bukan kebijakan politik. Segera benahi reformasi struktural horizontal, dan perluas ruang fiskal dan moneter. Jangan pernah mengebiri independensi Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), karena akan menimbulkan inkonsistensi kebijakan dari kedua lembaga tersebut. Tentu akan berbahaya bagi stabilitas ekonomi.
Perlu diingat bahwa redenominasi bukanlah solusi untuk semua masalah ekonomi. Harus diikuti dengan kebijakan ekonomi yang tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan. (*)
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More
Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More
Poin Penting ASII membuka Astra Auto Fest 2025 di BSD sebagai upaya mendorong pasar otomotif… Read More
Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More