Jakarta–Lampu merah menyala di industri perusahaan pembiayaan (multifinance) nasional. Hasil rating yang dilakukan Biro Riset Infobank terhadap 173 perusahaan pembiayaan menunjukkan, 61,27% perusahaan pembiayaan mengalami penurunan laba bersih sepanjang tahun 2015. Bahkan, 20,23% perusahaan pembiayaan merugi. Tahun 2016 industri multifinance rentan masuk “neraka baru”.
Hasil rating memberikan signal, pelambatan di industri multifinance nasional akan semakin dalam. Hal ini terlihat dari pertumbuhan pembiayaan industri multifinance yang turun 0,02%. “Ketika pembiayaan tidak tumbuh, dan pendapatan operasional stagnan, apalagi menurun, perusahaan multifinance akan tertekan biaya operasional. Imbasnya, laba akan tergerogoti,” ujar Direktur Biro Riset Infobank, Eko B. Supriyanto, kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 3 Agustus 2016.
Laba multifinance sepanjang tahun 2015 memang tergerus. Dari 173 perusahaan pembiayaan, ada 106 perusahaan atau 61,27% yang mengalami penurunan laba. Bahkan, sebanyak 35 perusahaan atau sebesar 20,23% perusahaan pembiayaan mengalami kerugian. Perusahaan multifinance yang banyak mengalami penurunan laba maupun kerugian adalah perusahaan di kelompok aset di bawah Rp1 triliun (papan bawah).
Banyaknya perusahaan multifinance papan bawah yang mengalami penurunan laba atau bahkan mengalami kerugian patut dicermati oleh semua pihak. Sebab, perlambatan diprediksi masih akan terjadi di tahun 2016. Parameternya, terjadinya penurunan penjualan kendaraan bermotor yang selama ini menjadi pasar utama multifinance, belum pulihnya sektor pertambangan, dan harga beberapa komoditas yang belum beranjak naik.
Tahun ini, penjualan mobil relatif stagnan dengan volume 1,05 juta sebagaimana diprediksi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Penjualan mobil pada enam bulan pertama tahun ini sebesar 531.929 unit atau naik tipis 1,22% dari semester satu tahun lalu yang sebesar 525.491. Pelemahan penjualan masih berlanjut di segmen sepeda motor.
Kondisi ini dalam pandangan Biro Riset Infobank akan menjadi tantangan berat bagi industri multifinance. Apalagi, setelah keluarnya Surat Edaran (SE) Nomor 1/SEOJK.05/2016 yang mengatur pengukuran tingkat kesehatan keuangan perusahaan pembiayaan meliputi rasio permodalan, kualitas piutang pembiayaan, rentabilitas, dan likuiditas, memaksa perusahaan multifinance untuk menambah modal.
“Jangankan menambah modal, beberapa perusahaan multifinance bahkan mengalami penyusutan permodalan,” ujar Eko B. Supriyanto. Setidaknya, ada 35 perusahaan pembiayaan atau sebesar 20,23% mengalami pertumbuhan minus pada sisi permodalan. Sebagian besar adalah perusahaan pembiayaan papan bawah.
Dalam kondisi seperti itu, perusahaan pembiayaan diwajibkan memiliki rasio permodalan minimal 10% dari aset yang disesuaikan atau aset perusahaan dikalikan dengan bobot risiko. Konsekuensinya, setiap kucuran pembiayaan baru harus dibarengi dengan penambahan modal. Baik dalam kondisi rugi maupun bisnisnya tumbuh, perusahaan harus memiliki modal memadai sesuai ketentuan.
Apalagi, tingkat permodalan juga akan menentukan kemampuan perusahaan pembiayaan dalam mendapatkan pinjaman. Misalnya jumlah pinjaman subordinasi yang dibatasi maksimal 50% dari modal disetor dengan jangka waktu paling singkat lima tahun. Artinya, ketika ingin berekspansi dalam pembiayaan dan membutuhkan pinjaman maka perusahaan pembiayaan harus memiliki permodalan memadai.
“Kalau pertumbuhan ekonomi di bawah 5% dan tax amnesty gagal, maka industri multifinance memasuki zona yang lebih panas. Ini akan jadi neraka baru,” tutur Eko B. Supriyanto.
Kondisi multifinance yang merah menyala ini harus menyadarkan bank agar tidak terlena membiayai multifinance dengan alasan bunganya masih menarik. “Era kristalisasi multifinance terjadi dan akan banyak perusahaan multifinance dijual murah. Selesai sudah pesta multifinance,” ujarnya.
Rating dilakukan terhadap laporan keuangan perusahaan multifinance untuk dua tahun kinerja, yakni tahun 2014 dan tahun 2015. Dari 173 perusahaan multifinance yang masih aktif, ada lima perusahaan yang tidak dirating karena data tidak lengkap dan data laporan keuangan hanya satu periode.
Rating dikelompokkan dalam enam kelompok multifinance berdasarkan aset, yakni multifinance beraset di atas Rp10 triliun (kelas A), aset Rp5 triliun sampai dengan di bawah Rp10 triliun (kelas B), aset Rp1 triliun sampai dengan di bawah Rp5 triliun (kelas C), aset Rp500 miliar sampai dengan di bawah Rp1 triliun (kelas D), dan aset di bawah Rp100 miliar (kelas E).
Dari 173 multifinance, 81 perusahaan berhasil meraih predikat “sangat bagus”, 38 perusahaan berpredikat “bagus”, 37 perusahaan berpredikat “cukup bagus”, 12 perusahaan berpredikat “tidak bagus”, dan 5 perusahan absen.
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More