Perbankan dan Keuangan

Rating 154 Institusi Keuangan Syariah 2023: Setelah Beleid Spin Off Terselip Kata ‘Dan/Atau’

Oleh Tim Biro Riset Infobank

PASAL spin off tampak seperti “dibajak”. Pada awal pembahasan tampak semua happy, terutama industri perbankan syariah. Namun, setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasilnya berbeda. Siapa yang menyelipkan kata tambahan yang menjadikan artinya berbeda, dan bikin sakit kepala industri.

Kebijakan pemisahan unit usaha syariah (UUS) dan konsolidasi perbankan syariah sesuai dengan UU P2SK (UU Nomor 4 Tahun 2023) yang diturunkan menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023. Proses pembuatan POJK ini agak berbeda dari pembuatan POJK sebelum adanya UU P2SK.

Sebelumnya hanya OJK sendiri, tapi sekarang perlu konsultasi dengan DPR. Nah, pertanyaannya, apakah jika OJK mau merevisi POJK juga harus tetap konsultasi dengan DPR? Harusnya, tugas DPR sudah selesai sampai pembuatan UU, bukan ikut “cawe­cawe” dalam pembuatan peraturan di tingkat teknis.

Baca juga: Rating 136 BUMN Versi Infobank 2023, Di Cawe-Cawe Politik dan Rekor Laba BUMN

Tapi, itulah uniknya keputusan yang dituangkan dalam UU P2SK. Semua harus ikut. Tidak boleh keluar dari yang ditetapkan UU, meski membingungkan konsep Trias Politica. Siapa legislatif, siapa yudikatif, dan siapa pula eksekutif. Sepertinya sudah “kawin siri” dalam menjalankan pemerintahan sekarang ini. Politisasi sudah masuk ke ruang­ruang dingin profesional.

Simak! Bab V POJK Nomor 12 Tahun 2023 tentang pemisahan dan konsolidasi UUS terkait dengan kewajiban spin off dari induknya, bank umum konvensional (BUK). Pasal 59 tertulis, “BUK yang memiliki UUS dengan nilai aset UUS telah mencapai 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset BUK induknya dan/atau jumah aset UUS paling sedikit Rp50.000.000.000.000 (lima puluh triliun rupiah) wajib melakukan pemisahan UUS dengan tahapan tertentu”.

Jelas ini berbeda dari napas UU P2SK Tahun 2023 yang tidak menyebut aset Rp50 triliun. Dan, OJK sendiri pun jika dilihat dari dokumen konsultasi tidak ada tambahan kata “dan/atau”. Nah, dengan ada tambahan kata “dan/atau” pengertiannya jadi berbeda. Siapa yang menyelundupkan kata “dan/atau” masih tanda tanya. Tapi, dugaan sementara diselundupkan oleh DPR.

Menurut data Biro Riset Infobank (birI), jika tanpa kata “dan/atau” dalam POJK, dari 20 UUS belum ada yang menyentuh angka 50%. Paling tinggi di angka 28,16% yang dicapai oleh Maybank Indonesia, disusul CIMB Niaga sebesar 20,44% dan Bank Sinar Mas 14,38%. Dua bank milik Malaysia, yaitu Maybank dan CIMB Niaga, tampaknya lebih nyaman menganut dual system dalam satu entitas. Alasannya, bisa jadi karena lebih efisien dan lebih pada produk, IT, dan service quality.

Nah, jika dimasukkan kata “dan/atau”, maka yang wajib spin off adalah CIMB Niaga karena asetnya sudah menembus di atas Rp50 triliun. Per Juni 2023, aset UUS CIMB Niaga mencapai Rp66,15 triliun, atau naik tipis jika dibandingkan dengan akhir 2022 yang mencapai Rp62,96 triliun. Pertanyaan menarik, apakah CIMB Niaga akan spin off?

Baca juga: Total Aset Tembus Rp64,32 T, CIMB Niaga Syariah Siap Spin Off?

Belum ada penjelasan resmi dari pihak CIMB. Namun, setidaknya ada dua hal, yaitu meminta debiturnya untuk pindah ke konvensional atau paling cepat dijual ke bank syariah lainnya. Namun, untuk menjual tidak mudah, karena ada unsur pajak dan akad awalnya.

Jujur, masalah utama bukan soal spin off, melainkan harusnya tujuan dari POJK ini – lebih ke prinsip pelayanan kepada masyarakat yang tetap dilayani dengan konsep syariah. Masyarakat lebih menyukai kualitas pelayanan syariah. Apakah itu UUS atau BUS, tidak peduli.

Selain itu – harusnya POJK ini mendorong pertumbuhan syariah, namun tampaknya efeknya akan memperlambat laju syariah karena ada mandatory untuk pisah setelah masuk angka Rp50 triliun. Dan, bank yang masuk daftar tunggu untuk spin off adalah Maybank karena asetnya sudah mencapai Rp43,29 triliun – meski porsi UUS­nya masih 28,16%.

Nasi sudah menjadi bubur. POJK ini juga memuat pasal tentang konversi dan sukarela untuk spin off meski belum memenuhi unsur 50% dari aset induk maupun Rp50 triliun. Bahkan, OJK juga mempunyai kekuasaan untuk memaksa spin off (pasal 60) dalam rangka konsolidasi perbankan syariah.

Bandingkan dengan negara­negara yang memiliki perbankan syariah yang masih memperbolehkan model UUS tanpa paksaan dan pasal. Semua diserahkan kepada pasar. Tidak ada kewajiban untuk spin off. Bahkan, di Arab Saudi pun belum mencapai 50%. Juga, di Oman, UAE, Malaysia. Hanya di Pakistan (Faysal) yang memiliki UUS 68% tetap tegak lurus menganut paham dual system.

Untuk apa sibuk soal spin off. Harusnya, yang perlu menjadi perhatian, berapa pasar yang sudah dilayani dengan baik? Apalagi, dengan model bisnis UUS, bukan berarti BUK tidak memiliki komitmen tinggi dalam membesarkan perbankan syariahnya. Lihat saja Top 5 vs Top UUS, porsi syariah BUK kalah dibandingkan model UUS. Contohnya Bank Mega Syariah terhadap Bank Mega hanya 10,6%. Juga, Bank BTPN Syariah hanya 9,7%. Jadi, untuk apa memaksa/jorjoran mengejar untuk spin off?

Baca juga: Lancarkan Proses Spin Off UUS, BTN Lirik Bank Umum Syariah untuk jadi Target Akuisisi, Ini Daftarnya

Sektor perbankan merupakan sektor yang paling besar dalam melayani jalur syariah ini. Porsi perbankan syariah dibandingkan dengan asuransi, multifinance, dan pasar modal masih dominan. Menurut data Biro Riset Infobank, jumlah bank syariah di Indonesia (bank umum) mencapai 13 bank, 20 UUS, dan 165 BPR syariah. Jumlah bank syariah akan terus bertambah, setidaknya dari konversi dua BPD, yaitu Bank Sulselbar dan Bank Kalsel, yang secara politik akan konversi.

Sementara, Bank Nagari masih tampak tarik ulur apakah konversi atau tetap dual system setelah melihat perkembangan BPD yang sudah telanjur konversi. Ada trade off – ternyata bukan sekadar pindah keyakinan menjadi syariah, namun menyangkut persoalan sumber daya manusia. Bahan baku bank syariah adalah manusia-manusia konvensional dan beragamnya keinginan pasar.

Nah, jika dilihat dari market share, tetap sektor perbankan masih terus terbesar sejak lahirnya keuangan syariah. Menurut data Biro Riset Infobank, 84,09%. Disusul asuransi 4,68% dan multifinance 2,59%, dan sisanya terbagi pada industri keuangan lainnya termasuk fintech, lembaga keuangan mikro dan reasuransi, dana pensiun, modal ventura, dan pembiayaan infrastruktur.

Menurut data Biro Riset Infobank, perkembangan menarik tentang syariah justru ada pada fintech. Lihat saja, pada Maret 2022, jumlah fintechsyariah masih 7 fintech, tapi setahun berikutnya melonjak mencapai 102 fintech. Kesadaran tentang fintech bersyariah ini perlu diapresiasi, meski belum terbukti dalam perjalanan, seperti bank syariah, tidak langsung kinclong kinerjanya.

Demam syariah juga terjadi di asuransi syariah dan unit usaha syariahnya. Juga, multifinance. Kendati demikian, perkembangan asuransi syariah (jiwa), seperti asuransi pada umumnya masih berjalan di tempat. Namun, untuk asuransi umum bertumbuh dengan baik (19,97%) selama setahun ini.

Nah, jika dibandingkan dengan total industri keuangan yang mencapai Rp13.361 triliun, sementara syariah Rp967,91 triliun, maka market share syariah hanya 7,24%. Hampir tidak berubah dari waktu ke waktu. Entah itu karena perbankan konvensional yang lajunya lebih cepat atau entah karena produk syariahnya yang memang tidak berkembang.

Baca juga: OCBC NISP Syariah Beberkan Tantangan Bila jadi Spin Off 

Pertanyaan menarik, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar, tapi mengapa tidak besar­besar pasar syariahnya? Harusnya yang menjadi fokus, bukan pada berapa banyak jumlah lembaga syariah, melainkan seberapa besar sudah dilayani dengan produk yang memadai dan service yang berkualitas. Sebab, namanya manusia meski dikatakan syariah tetap harus dilayani dengan baik dan rasional, termasuk soal benefit.

Boleh jadi, kata “dan/atau” yang disusupkan ke POJK spin off ini tidak akan mendorong tumbuhnya industri syariah, khususnya bagi bank­bank yang UUS­nya membesar. Dan, pelajaran menarik, membuat aturan yang dikonsultasikan dengan DPR sangatlah tidak baik di musim pemilu ini. Dan, apakah perlu konsultasi ke DPR jika OJK akan merevisi POJK­nya sendiri? Entahlah. Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. (*)

Galih Pratama

Recent Posts

Per September 2024, Home Credit Membantu Distribusi Produk Asuransi ke 13 Juta Nasabah

Jakarta - Perusahaan pembiayaan PT Home Credit Indonesia (Home Credit) terus berupaya meningkatkan inklusi keuangan… Read More

7 hours ago

Berkat Hilirisasi Nikel, Ekonomi Desa Sekitar Pulau Obin Tumbuh 2 Kali Lipat

Jakarta - Hilirisasi nikel di Pulau Obi, Maluku Utara membuat ekonomi desa sekitar tumbuh dua… Read More

7 hours ago

Menkop Budi Arie Dukung Inkud Pererat Kerja Sama dengan Cina-Malaysia di Pertanian

Jakarta - Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mendukung langkah Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)… Read More

8 hours ago

Ajak Nasabah Sehat Sambil Cuan, BCA Gelar Runvestasi

Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk pertama kalinya menggelar kompetisi Runvestasi pada… Read More

9 hours ago

IHSG Ambles hingga Tembus Level 7.200, Ini Tanggapan BEI

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi tanggapan terkait penutupan Indeks Harga Saham Gabungan… Read More

9 hours ago

BEI Gelar CMSE 2024, Perluas Edukasi Pasar Modal ke Masyarakat

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama Self-Regulatory Organization (SRO), dengan dukungan dari Otoritas… Read More

9 hours ago