Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi
PARA bankir harus tetap waspada karena ketidakpastian belum berakhir. Kendati ada momentum pemulihan ekonomi domestik dan sejumlah bank sudah mengumumkan kinerjanya yang kinclong pada semester satu 2022, namun sinyal resesi di dunia menguat. Banyak negara digulung oleh inflasi dan utangnya menggunung. Kebangkrutan Sri Langka pun menjadi momok, apalagi menurut laporan Crisis Response Group, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), ada sembilan negara yang berpotensinya mengikutinya, yaitu Afganistan, Argentina, Mesir, Laos, Lebanon, Myanmar, Pakistan, Turki dan Zimbabwe.
Selain itu, krisis kesehatan belum sepenuhnya berakhir dan pada periode krisis biasanya ada debitur-debitur nakal yang sudah mulai muncul memanfaatkan relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit. Kendati bisnisnya untung mereka tidak mau membayar kredit tapi justru berani melaporkan bank ke penegak hukum. Jadi para bankir harus membentengi diri mulai dari standar operasi yang ketat, risk management yang kuat, dan kalau perlu melihat kembali bobot bebet bibit dari debitur-debiturnya yang mulai batuk-batuk.
Menurut kajian Biro Riset Infobank dalam Rating 107 Bank 2022, arus kas pengusaha masih banyak yang tertekan oleh kondisi pandemi yang belum sepenuhnya berakhir dan memengaruhi pendapatan perbankan. Pada 2020, pendapatan bunga perbankan anjok 4,11% menjadi Rp794,09 triliun, dan pada 2021 kembali merosot sebesar 2,54% menjadi Rp773,90 triliun. Tapi, ditopang 50 bank terutama bank-bank papan atas, pendapatan bunga bersih secara industri tahun lalu tumbuh positif 12,91% pada 2021.
Per Maret 2022, pendapatan bunga perbankan masih tumbuh minus 4,26% dibanding periode yang sama 2021, karena disumbang oleh penurunan yang dialami separoh dari jumlah bank yang ada.
Dari sisi kucuran kredit pun demikian. Kredit perbankan pada 2020 terkontraksi 2,21% atau pertumbuhan minus, pertama sejak krisis moneter 1998. Kendati kredit perbankan pada 2021 tumbuh 4,92%, namun ada 37 bank yang kreditnya menurun. Dari sisi kualitas aset, NPL secara industri melandai dari 3,06% menjadi 3,00%, tapi ada 14 bank yang harus bekerja lebih keras menjinakkan NPL yang tahun lalu sudah melewati batas 5%. Begitu juga dari loan at risk (LAR) perbankan yang menunjukkan tren menurun dari 22,65% pada 2020, menjadi 19,54% pada 2021, tapi ada 31 bank mencatat LAR masih di atas 20%.
Pada 2022, kinerja industri perbankan diprediksi tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Kredit tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan kredit tahun lalu yang sebesar 4,92%. Tapi, penurunan pendapatan bunga secara industri boleh jadi berlanjut karena masih besarnya kredit yang direstrukturisasi yang di atas Rp400 triliun. Kendati non performing loan (NPL) melandai di 3,00% dan nilai kredit yang direstrukturisasi terus berkurang, namun NPL kredit restrukturisasi naik dari 8,05% pada 2020, 10,47% pada 2021 dan menjadi 11,64% pada April 2022.
Sejumlah bank yang kinerjanya merosot akibat pandemi belum berhasil membuat turnaround. Dari sisi pertumbuhan laba industri meroket 33,89% pada 2021, setelah tahun sebelumnya merosot tajam sebesar 34,18%. Namun, tercatat ada 40 bank yang labanya menurun, dimana 18 bank diantaranya mencatat kerugian. Bahkan, 8 bank diantaranya mencatat kerugian dua tahun berturut-turut sejak 2020.
Bank-bank tersebut umumnya baru berhasil melakukan pemulihan pada periode 2018 dan 2019 setelah tahun-tahun sebelumnya labanya merah. Karena belum selesai melakukan perbaikan secara keseluruhan, kinerja bank-bank tersebut dengan cepat merosot lagi begitu terkena dampak pandemi COVID-19 pada awal 2020.
Menurut Biro Riset Infobank, sumber keuntungan utama bank masih ditopang oleh net interest margin, yaitu menyalurkan kredit dalam jumlah besar dengan biaya dana yang kecil. Sementara, kontribusi fee-based income masih lebih rendah dan itupun ditopang bank-bank besar. Kalaupun kontribusi fee based income terhadap total pendapatan perbankan meningkat sejak 2020, itu disebabkan dua hal.
Satu, menurunnya pendapatan bunga karena imbas stagnasi kredit yang terimbas pandemi. Dua, pendapatan selain bunga industri perbankan yang pada 2021 mencapai Rp171,82 triliun, 86,25% berasal dari 20 bank yang memiliki aset di atas Rp100 triliun. Kontribusi fee based income di 19 bank beraset kurang dari Rp10 triliun tercatat hanya 9,26% dari total pendapatan operasionalnya. Sedangkan kontribusi fee based income di 20 bank terbesar atau beraset di atas Rp100 triliun mencapai 20,38% dari total pendapatan operasionalnya.
Masalahnya, bank-bank yang berusaha mendongkrak fee based income di tengah menurunnya pendapatan bunga kini merasa “diwajibkan” untuk menjadi peserta BI Fast. Bank-bank yang sebelumnya mendapatkan komisi transaksi transfer antar bank sebesar Rp6.500 per transaksi, komisi yang ditetapkan oleh BI sebagai regulator sekaligus operator BI Fast adalah Rp2.500.
Menurut stress test yang dilakukan Biro Riset Infobank, dalam lima tahun ke depan empat bank terbesar akan kehilangan potensi fee based income sebesar Rp33,35 triliun, atau dari potensi sebesar Rp62,70 triliun namun estimasi yang diterima menjadi Rp29,35 triliun. Secara industri, total kehilangan potensi fee based income sebesar Rp47,64 triliun.
Sedangkan usaha bank-bank untuk menggenjot pendapatan bunga masih tertahan oleh ekspansi kredit dan relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit yang sudah dua kali diperpanjang.
Restrukturisasi kredit jilid tiga akan habis pada Maret 2023. Jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memperpanjang kembali, maka industri perbankan harus siap-siap menghadapi musim hujan NPL dan kualitas aset kredit masing-masing bank berbeda. Namun, kalaupun OJK kembali memperpanjang relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit sebaiknya dilakukan secara sektoral. Pemulihan di sektor riil tidak merata. Debitur yang sektor usahanya terdampak tentu pantas diberi keringanan. Misalnya di sektor pariwisata, perhotelan, transportasi. Sedangkan debitur di sektor bisnis yang sedang booming seperti komoditas tentunya perlu lagi direstrukturisasi. Jangan sampai ada debitur sontoloyo yang bisnisnya untung namun berniat mengemplang kredit dengan dalih tidak diberi restrukturisasi kredit.
Bagaimana kinerja bank-bank menurut hasil Rating 107 Bank Umum Versi Infobank 2022? Seperti apa kinerja bank-bank digital yang harga sahamnya meroket sebelum terkoreksi oleh pasar? Berapa NPL perbankan jika relaksasi kebijakan kredit yang berakhir pada Maret 2023 tidak diperpanjang? Bagaimana para bankir menghadapi ancaman resesi dan debitur nakal? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 532 Agustus 2022.
Jakarta – Super App terbaru dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI), yaitu BYOND by… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia pada pekan kedua… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan bahwa data perdagangan saham pada pekan 11… Read More
Jakarta – Kinerja PT Asuransi Allianz Life Syariah Indonesia atau Allianz Syariah tetap moncer di… Read More
Jakarta - PT BPR Syariah BDS berkomitmen untuk memberikan pelbagai dampak positif bagi nasabahnya di Yogyakarta dan… Read More
Denpasar--Infobank Digital kembali menggelar kegiatan literasi keuangan. Infobank Financial & Digital Literacy Road Show 2024… Read More