Expertise

Rakyat Menjerit: Ini Dosa Siapa? Ini Salah Siapa?

Oleh Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga

INDONESIA menangis. Sesuatu yang tidak diharapkan tiba-tiba terjadi. Berawal dari aksi demonstrasi oleh sebagian elemen masyarakat yang memprotes kebijakan penyelenggara negara yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Namun, unjuk rasa yang awalnya damai tiba-tiba berubah menjadi aksi anarkis. Kekacauan pun terjadi di mana-mana setelah disulut oleh tragedi Pejompongan dengan korban jiwa seorang pengemudi ojek online (ojol). Massa mengamuk. Tak sedikit fasilitas publik bahkan gedung pemerintah menjadi amukan massa, yang berujung pada aksi penjarahan. Indonesia kacau.

Kekacauan massa yang terjadi beberapa hari ini sebenarnya akumulasi dari semua kekesalan rakyat atas sejumlah regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Sejak lengsernya Presiden Joko Widodo (Jokowi), rakyat sangat berharap, siapa pun penggantinya dapat menjalankan roda pemerintahan dengan lebih baik daripada presiden sebelumnya sehingga rakyat makin bahagia dan sejahtera.

Menurut Presiden Prabowo Subianto, sejatinya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, waktu terus berlalu begitu cepat. Sebelas bulan, pemerintahan Prabowo berjalan tanpa arah karena banyak badai menerjang, seperti eskalasi geopolitik dan makin melebarnya fragmantasi geoekonomi. Di samping itu, kebijakan-kebijakan atau program yang dijalankan tidak mengarah langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti program MBG, Danantara, dan 80.000 KMP.

Program-program populis tersebut sangat bertolak belakang dengan tujuan utama, yakni kesejahteraan rakyat. Pertama, MBG konon katanya dijalankan untuk meningkatkan kualitas kesehatan anak-anak Indonesia.

Namun, yang ada justru menimbulkan banyak masalah di lapangan, seperti kasus keracunan, tidak meratanya distribusi MBG, penyerapan yang masih rendah, serta SDM yang kurang memadai. Selain itu, MBG ini banyak menyedot anggaran sangat besar dari APBN karena MBG merupakan salah satu program yang diprioritaskan pemerintah.

Baca juga: Stop Penjarahan Politik! Duh, Ketika Rakyat Miskin Dijadikan “Komoditas” Kekuasaan

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa program MBG membutuhkan anggaran sebesar Rp25 triliun per bulan untuk mencapai target tahun 2025. Pemerintah meningkatkan anggaran untuk program MBG menjadi Rp2 triliun per bulan guna memperluas jangkauan penerima manfaat. Jika dikalkulasi, maka program MBG ini membutuhkan sekitar Rp27 triliun setiap bulan, sehingga total anggaran dalam satu tahun yang harus dikeluarkan pemerintah adalah Rp324 triliun.

Namun, saat ini, Indonesia juga dihadapkan pada masalah pendapatan yang turun dan jumlah pengangguran atau pencari kerja yang terus membengkak. Program MBG juga tidak diintegrasikan dengan kebutuhan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih besar.

Walaupun program ini dinilai akan mampu mengatasi permasalahan kekurangan gizi, tetapi di lain sisi tidak membantu dalam mengatasi permasalahan ketenagakerjaan. Yang jelas, tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat kian berat. Harga-harga kebutuhan pokok, seperti beras, terus melambung, walaupun pemerintah selalu mengatakan kita surplus beras. Sementara itu, bantuan sosial (bansos) terus menyusut karena anggaran sudah dialihkan ke program-program ultra populis presiden.

Program MBG memang tujuannya baik. Program ini diharapkan tak hanya berdampak baik pada kesehatan anak-anak, tetapi juga dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), petani lokal, serta pelaku katering di sekitar sekolah. Kantin-kantin sekolah dengan sistem voucer diharapkan meningkat usahanya. Jadi, tidak mematikan ekonomi ibu-ibu kantin sekolah yang menjadi tumpuan hidup sehari-hari.

Tidak hanya itu. Program ini juga seharusnya menciptakan ekosistem produksi dan distribusi pangan yang memberdayakan masyarakat setempat. Perputaran dana di tingkat daerah semestinya makin meningkat. Lapangan kerja baru kian terbuka lebar, dan permintaan terhadap bahan pangan segar serta bergizi kian meningkat, yang diharapkan turut mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan kuliner lokal.

Namun, faktanya, program MBG yang digadang-gadang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, itu belum terlihat hasilnya. Yang ada, justru ekonomi masyarakat makin susah – kalau tidak boleh dibilang mengenaskan.

Banyak masyarakat yang sudah tidak punya tabungan. Fenomena makan tabungan (mantab) pun menjadi hal biasa karena makin mahalnya biaya hidup. Tidak heran kalau makin banyak masyarakat yang terjerat pinjol, buy now pay later, pergadaian, dan lain-lain yang dapat memberikan fresh money buat kebutuhan sehari-hari.

Ironisnya, di saat rakyat menjerit karena ekonomi makin sulit, presiden kita kurang peka. Presiden tidak peduli dengan kondisi rakyatnya. Justru malah mengumumkan kenaikan tunjangan-tunjangan anggota dewan “yang tidak terhormat” secara fantastis. Tidak realistis dengan kinerja dewan selama ini. Mulai dari tunjangan perumahan, tunjangan beras, dan tunjangan-tunjangan lainnya. Bahkan, pajak mereka pun ditanggung negara.

Ini sungguh menyakitkan hati rakyat. Di mana letak kepedulian pemerintah yang selalu lantang dengan gagah teriak-teriak ingin menyejahterakan rakyat? Yang ada, kehidupan rakyat kian mengenaskan.

Laporan dari S&P Global bahwa Purchasing Manager Indeks (PMI) manufaktur mengalami penurunan empat bulan berturut-turut di bawah angka 50, artinya menunjukkan kontraksi dalam sektor manufaktur, yang dapat menyebabkan penurunan produksi dan permintaan tenaga kerja.

Hal itu diperkuat lagi oleh data dari Kementerian Tenaga Kerja yang mencatat kenaikan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia per September 2024 menjadi 352.993 tenaga kerja. Angka ini naik sebesar 10.716 atau 25,3 persen dari September 2023.

Hal itu juga diperkuat oleh catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang menyebut hingga Agustus 2024 jumlah klaim Jaminan Hari Tua (JHT) tercatat sebanyak 2,07 juta klaim. Jumlah klaim yang besar ini juga menandakan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan dalam jumlah yang besar.

Sayangnya data-data ini tidak ditelaah secara mendalam oleh presiden karena laporan BPS di Q2 perekonomian Indonesia bertumbuh signifikan ke level 5,12 persen. Presiden hanya percaya pada laporan anak buah, padahal hanya ABS, sehingga presiden menganggap ekonomi kita aman-aman saja.

Dosa berikutnya adalah Danantara, yang jelas-jelas ini hanya menimbulkan high operating cost. Danantara ini sebenarnya mau ke mana arah bisnisnya. Masih membingungkan. Masyarakat sudah tak sabar menunggu geliat Danantara. Banyak investor ragu dan bingung, karena keberadaan Danantara dengan INA menjadi overlapping, sama-sama bicara “Investasi dan Pengelolaan Aset Negara”.

Aset-aset BUMN banyak yang busuk karena keseringan window dressing, padahal rasio utang tinggi, kinerja operasional lemah dan tergantung pada suntikan APBN (negara) seperti PMN. Bisa dibayangkan jika aset-aset BUMN yang sudah busuk ini dikonsolidasikan, niscaya Danantara tak lebih hanya akan menjadi keranjang masalah (toxic basket) ketimbang value creation vehicle. Akhirnya, 1MDB jilid 2 versi Indonesia takkan terelakkan.

Baca juga: Danantara, Baru Sebatas Jadi “Sound Horeg” Soal Tantiem dan Bonus

Presiden harus lebih bijak dalam bertindak. Setelah kejadian kerusuhan ini, tentunya dia tidak bisa memaksakan kehendak untuk program-program ultra populisnya. Jangan sampai terjadi resesi, sebab ruang fiskal makin sempit, yang menyebabkan defisit makin melebar. Debt service ratio kian bengkak, kelas menengah makin terimpit. Sudah makan utang, ditambah pula dengan tabungan yang negatif.

Tak hanya itu. Non performing loan (NPL) bank-bank naik akibat melemahnya permintaan. Ekonomi global dan domestik kian tak menentu. Deindustrialisasi terjadi. Belum lagi 80.000 KMP yang berpotensi gagal bayar pada bank-bank Himbara. Ancaman PHK masih terus berlangsung, karena banyak investor hengkang dari Indonesia. Bisa-bisa Sovereign Credit Rating kitadi-downgrade. Be careful, Pak Presiden!

Melihat kondisi Indonesia saat ini, jadi ingat salah satu lirik lagu penyanyi balada legendaris, Ebiet G. Ade.  “Ini dosa siapa? Ini salah siapa?”

Galih Pratama

Recent Posts

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI, Bukti Peran Strategis dalam Stabilitas Ekonomi RI

Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More

9 mins ago

Segini Kekayaan Menhut Raja Juli Antoni yang Diminta Mundur Anggota DPR

Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More

26 mins ago

DJP Tunjuk Roblox dan 4 Perusahaan Digital Jadi Pemungut PPN, Ini Rinciannya

Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More

30 mins ago

BEI Tekankan Kolaborasi dan Tanggung Jawab Bersama Bangun Masa Depan Hijau

Poin Penting PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menekankan kolaborasi lintas sektor (pemerintah, dunia usaha, investor,… Read More

1 hour ago

Balikkan Keadaan, Emiten PEHA Kantongi Laba Bersih Rp7,7 M di September 2025

Poin Penting PT Phapros Tbk (PEHA) mencetak laba bersih Rp7,7 miliar per September 2025, berbalik… Read More

2 hours ago

Unilever Bakal Tebar Dividen Interim Rp3,30 Triliun, Catat Tanggalnya!

Poin Penting Unilever Indonesia membagikan dividen interim 2025 sebesar Rp3,30 triliun atau Rp87 per saham,… Read More

2 hours ago