Jakarta – Sengketa kepemilikan saham PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) kembali hangat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Kali ini, PT Aryaputra Teguharta (PTAPT) mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Jakarta Pusat, terhadap PTBFI, Francis Lay Sioe Ho, Cornellius Henry Kho dan Yan Peter Wangkar yang dinilai tidak menghomati dan menjalankan Putusan PK No. 240/2006.
Pasalnya, PTBFI dan para terhukum lainnya berdasarkan Putusan PK No. 240/2006 dianggap beritikad buruk dan sengaja tidak mau mengembalikan saham-saham milik PTAPT, karenanya mereka wajib untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar lebih dari Rp80 milyar.
Adapun jumlah uang paksa (dwangsom) tersebut dihitung sampai dengan pendaftaran gugatan, karenanya di masa yang akan mendatang kewajiban dwangsom masih bisa terakumulasi dan akan tetap dituntut oleh PTAPT sampai dikembalikannya saham-saham 32,32% oleh PTBFI dan para terhukum kepada PTAPT.
PTAPT melalui suratnya tanggal 4 Juni 2018, telah mengeluarkan somasi terhadap para terhukum dalam Putusan PK No. 240/2006, termasuk disini PTBFI untuk membayar kewajiban uang paksa (dwangsom) kepada PTAPT.
Baca juga: Hotman Paris: APT Bukan Pemilik Saham BFI Finance
Dikarenakan jawaban PTBFI menolak membayar dwangsom atas alasan Putusan PK adalah putusan yang tidak bisa dieksekusi (Non-Eksekutable) bahkan dikatakannya di mata hukum adalah putusan yang batal demi hukum dan tidak berkekuatan hukum tetap, maka dianggap alasan ini jelas mengada-ada dan sangat tidak menghormati putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat di Indonesia (inkracht van gewijsde), karenanya PTAPT telah mendaftarkan gugatan terkait dwangsom di PN Jakarta Pusat dengan Nomor Registrasi Perkara: 521/PDT.G/2018/PN.JKT.PST tertanggal 19 September 2018.
Salah satu amar Putusan PK No. 240/2006 berisi putusan yang bersifat declaratoir (menyatakan suatu keadaan yang sah menurut hukum) yakni PTAPT adalah pemilik sah (lawful owner) atas saham-saham 32,32%.
Lebih lanjut lagi, terdapat amar Putusan PK No. 240/2006 yang menghukum PTBFI (termasuk Francis Lay Sioe Ho, Cornellius Henry Kho dan Yan Peter Wangkar), sebagai pihak yang dihukum untuk wajib mengembalikan saham-saham tersebut kepada PTAPT.
Jika PTBFI dan para terhukum lainnya tidak mengembalikan dan menyerahkan saham-saham tersebut setelah lewatnya masa teguran (aanmaning), maka PTBFI dan terhukum lainnya wajib membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp20 juta setiap harinya atas keterlambatan pengembalian saham-saham tersebut, yang faktanya memang sampai saat ini belum diserahkan kembali.
Terkait hal tersebut, Ahli Hukum Adminstrasi Negara sekaligus Rektor Universitas Dipenegoro, Semarang, Yos Johan Utama, mengatakan bahwa Pejabat Tata Usaha Negara (PTUN) berkewajiban untuk patuh terhadap undang – undang dan asas umum pemerintahan yang baik atau good governance yag didalamnya terdapat prinsip kepastian hukum.
Menurutnya, kewajiban tersebut seperti diatur dalam UU No.30/2014, UU No.5/2014, UU Aparatur Sipil Negara, dan PP No.53/2010.
“Jadi, Pejabat Tata Usaha Negara wajib melaksanakan putusan MA untuk penghormatan atas kepastian hukum,”ujar pria yang juga merupakan dewan pembina PGRI dan termasuk pakar PTUN ini dalam persidangan yang digelar di Jakarta, Senin, 24 September 2018.
Sementara itu, Asido M Panjaitan dari HHR Lawyers (Kuasa Hukum PTAPT) menegaskan, bahwa dalam gugatan ini, pihaknya akan membuktikan bahwa PTBFI (termasuk Francis Lay Sioe Ho, Cornellius Henry Kho, dan Yan Peter Wangkar) dari awal beritikad buruk dan memang tidak mau mengembalikan saham-saham kepada PTAPT,
“walapun jelas mereka telah dihukum dan diperintahkan dalam Putusan PK No. 240/2006,”ucapnya.
Sebelumnya, Corporate Communications Head BFI Finance, Dian Fahmi sempat menuturkan saham APT dilepas BFI Finance sesuai dengan perjanjian gadai saham, rapat umum pemegang saham yang juga disetujui oleh APT, serta dokumen-dokumen yg diberikan APT dalam rangka pelaksanaan perjanjian perdamaian dengan kreditur.
Selain itu seluruh proses penjualan dan alokasi saham sudah sesuai dengan Perjanjian Perdamaian yang diratifikasi Pengadilan Niaga.
“Semua pengalihan telah dilakukan sesuai prosedur restruksturisasi pinjaman dan dilakukan secara transparan dan diungkapkan di laporan keuangan perusahaan,” jelas Dian, kepada Infobank dilain kesempatan.
Lebih jauh ia mengungkapkan, sesuai dengan penetapan ketua PN JakPus tgl 26-jan-2018, saat ini status terakhir dari kasus perdata ini adalah Non-Executable.
Pengumuman yang dibuat APT adalah terkait pengajuan peninjauan kembali ke dua yang dilakukan Perseroan untuk mendapatkan kepastian hukum karena ada dua putusan untuk kasus yang sama namun dengan hasil yang berbeda, dan keputusan PN jakpus tidak mengubah status hukum saat ini, yaitu Non-Executable.
Adapun berdasarkan perjanjian perdamaian yang telah diratifikasi oleh Pengadilan Niaga pada tanggal 19 Desember 2000, sejumlah 210.192.912 saham yang sebelumnya dimiliki oleh PT Aryaputra Teguharta dan PT Ongko Multicorpora didistribusikan sebagai berikut:
Sebanyak 41.818.700 saham dibagikan kepada seluruh kreditur setelah perjanjian restrukturisasi diselesaikan.
Selain itu 84.736.813 saham dijual kepada investor baru dengan harga jual yang disetujui oleh mayoritas kreditur.
Sedangkan sisanya 83.637.399 saham dijual kepada manajemen dan karyawan Perusahaan berdasarkan “Employee Incentive and Remuneration Scehme” yang dicantumkan dalam “Share Sale and Purchase Agreement” tanggal 9 Februari 2001 antara Perusahaan dan The Law Debenture Trust Corporation, p.l.c., London
“Seluruh pengalihan tersebut adalah bagian dari restrukturisasi hutang Perusahaan milik anak usaha Ongko Group, dimana PT Arya Putra Teguharta merupakan penjamin atas hutang dari beberapa anak usaha Ongko Grup kepada Perusahaan dan tidak dapat dilunasi, sehingga pada akhirnya saham yang dijaminkan oleh APT tersebut dialihkan sesuai dengan Perjanjian Perdamaian yang telah diratifikasi oleh Pengadilan Niaga pada tanggal 19 Desember 2000,” tutupnya. (*)
Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran… Read More
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung mendukung langkah PLN… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More