Pasar Modal

Prospek Bisnis CPO Potensial, jadi Alasan Nusantara Sawit Sejahtera Ingin IPO

Jakarta – PT Nusantara Sawit Sejahtera (NSS) akan melakukan penawaran umum saham perdana (IPO) guna meningkatkan permodalan dalam rangka menyongsong prospek bisnis CPO yang masih sangat potensial. NSS berencana untuk menggelar IPO di akhir tahun 2021 atau awal tahun 2022. NSS akan melepas sebanyak-banyaknya 40% saham dari modal yang disetor penuh. Harga penawaran diperkirakan berkisar antara Rp135 – Rp150 per unit saham dan target perolehan dana dari kegiatan penawaran umum saham perdana ke publik sekitar Rp2 triliun.

Komisaris PT Nusantara Sawit Sejahtera, Dr. Robiyanto mengatakan, prospek bisnis perkebunan kelapa sawit sangat luar biasa. Semenjak berdiri pada 2008, NSS memiliki permintaan pasar yang sangat besar, yang hingga saat ini masih belum dapat dipenuhi karena terbatasnya kapasitas produksi. “Dana hasil IPO ini akan digunakan untuk memenuhi permintaan pasar yang saat ini belum dapat kami penuhi. Sebagai catatan, pasar yang ada di dalam negeri saja, prospeknya masih sangat besar,” ujarnya seperti dikutip 24 November 2021.

Robiyanto menjelaskan, NSS memiliki basis pelanggan yang sangat kuat seperti Sinarmas, Wings, Musimas, Wilmar dan perusahaan besar lainnya. Pelanggan NSS membayar dengan metode FOB secara cash basis. Besarnya gap antara permintaan dan produksi, mendorong perusahaan untuk mencari tambahan modal guna meningkatkan kapasitas produksi.

Saat ini, Nusantara Sawit Sejahtera memiliki lahan inti sekitar 26.597 hektare dan sedang dalam proses pengembangan lahan plasma fase 1 seluas 2.500 hektare hingga tahun 2024. Rata-rata umur tanaman baru sekitar 8 tahun, sehingga masa produksi tanaman masing sangat panjang. Perusahaan, jelasnya, juga memiliki satu pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 60 ton per jam saat ini. 

Produksi tahunan untuk Tandan Buah Segar (TBS) sebanyak 20 ton per ha dan CPO 93.500 ton/tahun. Rendemen (Oil Extraction Rate/OER) atau persentase produk yang dihasilkan dibanding dengan bahan baku yang terolah relatif tingggi, yaitu 22 persen. Dari kinerja keuangan, perusahaan diperkirakan akan membukukan laba bersih sekitar Rp 220 miliar tahun ini.

Setelah IPO, NSS menargetkan dalam lima tahun ke depan atau tahun 2027, sudah memiliki lahan plasma seluas 10 ribu ha, sebanyak 3 PKS dengan kapasitas 180 ton per jam dan 2 PKS dengan kapasitas 90 ton per jam.

Dengan pengembangan kapasitas bisnis ini, tambahnya, produksi tahunan ditargetkan meningkat menjadi di atas 23 ton per ha/tahun, CPO sebanyak 240.000 ton dengan OER sebesar 24 persen. Laba bersih perusahaan diperkirakan akan naik menjadi sekitar Rp937 miliar pada lima tahun mendatang.

Dia meyakini target ini dapat tercapai karena NSS juga didukung oleh logistik yang unggul, yaitu direct-piping dari pabrik CPO ke pengapalan sejauh 1,5 kilometer yang membuat biaya logistik menjadi rendah. NSS juga memiliki basis pelanggan di dalam negeri yang sangat kuat. Potensi perusahaan meningkatkan penjualan di pasar domestik masih sangat kuat, sedangkan NSS juga sangat berpotensi untuk merambah pasar ekspor.

“Keunggulan NSS dibanding perusahaan yang sama-sama di industri kelapa sawit adalah umur tahaman relatif muda, sehingga akan sangat menjanjikan untuk investasi jangka panjang karena masa produktif tanaman masih panjang,” papar Robiyanto.

NSS juga memproduksi kualitas CPO dengan kualitas premium karena memiliki asam lemak bebas di atas 3 persen. Berada pada lokasi premium karena dekat dengan bandara, pelabuhan dan perkebunan. Kemudian, daya distribusi yang rendah tanpa trucking dengan menggunakan direct-piping, serta didukung manajemen yang berpengalaman dan memiliki pemimpin yang sangat berpengalaman serta dapat mengikuti dinamika di sektor sawit.

“Keunggulan sawit dibandingkan minyak nabati lain yang juga menjadi prospek bisnis menjanjikan bagi NSS. Minyak sawit diperkirakan masih akan menguasai pasar minyak nabati dunia di masa mendatang. Hal ini karena CPO lebih efisien dari penggunaan lahan, harga, mengurangi emisi karbon dan mendukung upaya Pemerintah menciptakan lapangan kerja baru,” terangnya.

Dia memaparkan produktivitas tanaman kelapa sawit 3,5 ton per ha, minyak biji rapa 0,81 ton per ha, minyak biji kedelai 0,44 ton/ hektare, minyak biji wijen hanya 0,10 per ha. CPO merupakan minyak nabati paling ekonomis. Jika dibandingkan harganya saat ini Rp14.900 per liter, menurutnya, CPO relatif lebih ekonomis. Jika dibandingkan dengan harga minyak rapa sekitar Rp35.000 per liter dan minyak wijen Rp138 ribu per liter.

“Industri kelapa sawit adalah bisnis padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga keja lebih banyak dibandingkan dengan minyak nabati lain. Untuk 100.000 ha lahan diperlukan 2.000 tenaga kerja,” tutup Robiyanto. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

5 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

5 hours ago

Peluncuran Reksa Dana Indeks ESGQ45 IDX KEHATI

Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More

7 hours ago

Pacu Bisnis, Bank Mandiri Bidik Transaksi di Ajang GATF 2024

Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More

7 hours ago

Eastspring Investments Gandeng DBS Indonesia Terbitkan Reksa Dana Berbasis ESG

Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More

8 hours ago

Transaksi Kartu ATM Makin Menyusut, Masyarakat Lebih Pilih QRIS

Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More

9 hours ago