Jakarta – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, program Kementan yang memanfaatkan lahan rawa menjadi area pertanaman produktif seperti tanam padi dianggap melanggar hukum, dan bertentangan dengan regulasi yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Nomor 73 Tahun 2013 Tentang Rawa yang harus diperhatikan.
Koordinator JATAM Merah Johansyah dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2018 mengatakan, Kementan tak hanya membenturkan pemerintah dengan UU saja, program tersebut juga menunjukan bahwa pihak Kementan juga kehilangan kendali atas lahan pertanian. Di sisi lain, program Kementan tersebut dapat merusak ekosistem. Bisa saja langkah tersebut rawan bencana ekologis di Indonesia.
“Jadi program ini semakin menunjukan Kementan tak memiliki kuasa terhadap lahan pertanian sendiri,” ujarnya.
Kondisi ini, jelas Merah, memaksa Mentan Amran untuk mencari lahan residu atau lahan yang masih tersisa. Makanya, Mentan mencari rawa dinilai bisa ditanami oleh komoditas padi. “Kita tahu rawa itu punya fungsi sendiri. Kalau dialih fungsikan kita akan tanggung resikonnya. Makanya pemerintah perlu melakukan evaluasi,” tandasnya.
Senada, Pengamat Pertanian UGM, Jangkung Handoyo Mulyo menyatakan, kebijakan pengembangan lahan rawa sebagai lahan pertanian produktif jangan sampai merusak ekosistem. Pasalnya, keberadaan lahan-lahan rawa atau gambut sejatinya juga memiliki peran dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan iklim.
“Keberadaan gambut dan rawa pasti punya peran dalam siklus ekosistem. Jadi tidak boleh semua (rawa dan gambut) dimanfaatkan untuk itu (lahan pertanian). Keseimbangan ekosistem harus dipertimbangkan,” katanya.
Untuk merealisasikan hal tersebut, kata dia, diperlukan perlakuan-perlakuan khusus, mengingat adanya perbedaan jenis dan tingkat kesuburan tanah. Oleh karenanya, diperlukan juga varietas padi yang cocok untuk tanah rawa. Oleh sebab itu, dirinya menegaskan, Kementan perlu melakukan riset lebih dalam untuk menentukan lahan rawa mana saja yang dapat dimanfaatkan.
“Pemanfaatannya dimungkinkan, tapi jangan dibayangkan produktifitas dan kesuburannya akan sama dengan lawan sawah irigasi pada umumnya,” jelasnya.
Di kesempatan terpisah, pengamat lingkungan hidup Tarsoen Waryono mengakui, lahan sawah di wilayah perkotaan semakin berkurang luasannya karena pengembangan wilayah. Sehingga banyak sawah-sawah yang dialih fungsikan menjadi pemukiman, mall, industri dan lainnya. bahwa perubahan rawa air tawar atau lahan gambut menjadi lahan pertanian sawah sangatlah merubah ekosistem.
“Kadangkala memerlukan beberapa perlakuan, keterkaitannya dengan pengaturan tata air (irigasi teknis) karena ada rawa yang dipengaruhi oleh air rob, tanahnya terlalu asam, sehingga perlu pengapuran (dolomit) untuk menaikan pH (keasaman tanah) agar menjadi basa, juga kadangkala ada yang tanahnya mudah terbakar pada musim kemarau seperti yang terjadi pada tanah-tanah gambut,” tutupnya. (*)
Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More
Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran… Read More
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Jakarta - Kapolda Sumbar Irjen. Pol. Suharyono menjelaskan kronologis polisi tembak polisi yang melibatkan bawahannya,… Read More
Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung mendukung langkah PLN… Read More