Oleh Tim Biro Riset Infobank
Jakarta – Bak petir di siang bolong. Berita tentang dikabulkannya gugatan Kresna Life oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah merusak “kewarasan” sektor keuangan. Bayangkan! Kresna Life itu sudah “gering” karena risk based capital (RBC) negatif, dan sudah diberi kesempatan untuk memperbaiki, salah satunya mengguyur modal, tapi pemegang sahamnya tak sanggup dan membuat skema pembayaran yang tak pernah nyata.
Tak hanya Kresna Life. PTUN Jakarta juga mengabulkan gugatan PT Kresna Asset Management (PT KAM) atas sanksi administratif dan surat perintah tertulis yang dilayangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nah, dengan demikian, Kresna Life berarti hidup lagi dan PT KAM tidak menjalankan sanksi administratif dan perintah tertulis OJK. Kedua putusan PTUN ini hampir bersamaan waktunya.
Menurut catatan Infobank Institute, dikabulkannya gugatan Kresna Life dan PT KAM oleh PTUN Jakarta terasa aneh dan janggal dalam industri keuangan. Namanya otoritas, seperti OJK, tugas dan wewenangnya adalah memberikan teguran, dan bahkan sanksi serta penutupan terhadap pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) yang dianggap menyimpang dari koridor atau aturan yang telah ditetapkan. Aturannya sudah jelas, yaitu Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Tapi, itulah Indonesia. Segala hal bisa berubah dengan adanya mazhab “kebenaran baru”. Bukan bersumber dari fakta dan data, tapi berdasarkan persepsi – dan sekarang, itu terjadi di mana-mana. Dan, tampaknya, keputusan PTUN Jakarta terhadap Kresna Life tidak melihat kondisi Kresna Life sebelum OJK memutuskan untuk menutup.
Menurut catatan Infobank Institute, kondisi keuangan Kresna Life memburuk sejak 2020. Laporan keuangan terakhir seperti yang dipublikasikan pada akhir 2019. Kondisi keuangan tampak “segar bugar” dengan mencatat pendapatan Rp9,25 triliun. Posisi modal Rp715 miliar dan laba komprehensif Rp318,2 miliar. Angka-angka Kresna Life menggambarkan kondisi “baik-baik” saja dari luar, dengan RBC sebesar 337,57%. Tidak diketahui apakah laporan keuangan sudah diaudit atau belum.
Namun, yang mengejutkan, pada 14 Mei 2020, tiba-tiba Kresna Life mengaku mengalami masalah likuiditas dan portofolio investasi. Akibatnya, Kresna Life memutuskan untuk menunda pembayaran polis jatuh tempo sejak 11 Februari 2020 hingga 10 Februari 2021. Bukan hanya itu. Sejak 14 Mei 2020 hingga 10 Februari, Kresna Life juga menghentikan pembayaran manfaat yang seharusnya dibayar oleh Kresna Life kepada pemegang polis.
Derita pemegang polis tidak sampai di situ saja. Empat hari sejak pemberitahuan penundaan pembayaran polis jatuh tempo, pada 18 Mei 2020, Kresna Life mengirim surat kepada nasabah. Isi surat itu tak lain dan tak bukan tentang penyusunan skema penyelesaian kewajiban perusahaan dan akan disampaikan kepada pemegang polis selambat-lambatnya 30 hari sejak surat terbit.
Akan tetapi, hingga 18 Juni 2020, skema yang dijanjikan tak jua kunjung terbit. Justru, pada tanggal yang sama, Kresna Life lagi-lagi menerbitkan surat kepada nasabah. Perseroan memberitahukan, pembayaran tahap pertama hanya diberikan kepada pemegang polis K-LITA dan PIK senilai Rp50 juta. Dan, mekanismenya akan disampaikan dalam tujuh hari kerja sejak surat diterbitkan.
Baca juga: PTUN Jakarta Batalkan Pencabutan Izin Usaha Kresna Life
Masih menurut catatan Infobank Institute, pada 17 Juli 2020, Kresna Life justru memberitahukan penyelesaian tahap berikutnya, untuk pemegang polis dengan nominal di atas Rp50 juta diundur menjadi 3 Agustus 2020. Alasannya, gedung yang dipakai kantor dikosongkan karena terpapar virus COVID-19.
Nah, merasa tidak ada kepastian, para nasabah melaporkan Kresna Life ke OJK. Pada 14 Agustus 2020, OJK menerbitkan surat OJK Nomor S-342/NNB.2/2020 yang isinya adalah pembatasan kegiatan usaha Kresna Life. Intinya, OJK mengambil langkah untuk memastikan perseroan membayar kewajiban kepada nasabah. Atawa, lebih jelasnya, pemegang saham membayar kewajibannya.
Selanjutnya banyak drama terjadi terkait kasus Kresna Life ini, seperti tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) hingga soal pailit. Hal ini tercantum dalam Putusan Kasasi MA Nomor 647 K/Pdt.SusPailit/2021, dari gugatan perdata enam orang nasabah Kresna Life yang sebelumnya menang, karena majelis hakim menjatuhkan putusan PKPU sementara untuk Kresna Life pada 10 Desember 2020.
Setelah itu, terdapat Putusan PKPU Tetap Nomor 389/Pdt.SusPKPU/PN Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 22 Januari 2021. Namun, pada 18 Februari 2021 terdapat Perjanjian Perdamaian (Homologasi) dalam putusan Nomor 389/Pdt.SusPKPU/2020/PN Niaga Jkt. Pst. Lewat putusan terbaru di tingkat kasasi ini, Kresna Life diputuskan kembali dalam keadaan semula sebelum adanya putusan PKPU dan homologasi, karena seluruh Putusan Judex Factie dalam perkara ini batal.
UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi, pasal 50, juga memperkuat kewenangan kepada OJK sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi. Sementara, pasal 2, ayat (5), UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan pula kewenangan OJK sebagai pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi. Harusnya tidak ada kontroversi. Intinya, semua ini karena Kresna Life tidak membayar kewajibannya kepada nasabah.
Babak selanjutnya dari drama Kresna Life adalah tentang Rencana Penyehatan Keuangan (RPK). Diketahui, OJK telah memberikan kepada Kresna tenggat pada Senin (13/2/2023) untuk menyerahkan RPK serta bukti persetujuan pemegang polis atas konversi polis menjadi pinjaman subordinasi (subordinate loan/SOL) yang diusulkan dalam RPK terakhir Kresna (RPK ke10), yang ditolak OJK. Namun, pihak Kresna Life tidak hadir.
Singkat cerita, Kresna Life mengajukan RPK pada saat akhir batas waktu atau tenggat dengan skema penyelesaian berupa konversi klaim pemegang polis menjadi SOL. RPK tersebut pun belum disetujui OJK.
Namun, menurut OJK seperti tertulis dalam siaran persnya, Kresna Life sampai dengan batas waktu yang diberikan tidak mampu menunjukkan komitmen penambahan modal dari pemegang saham melalui escrow account dan menyampaikan perjanjian konversi SOL yang diaktanotariskan. Penyetoran dana di escrow account yang diminta OJK ini dibutuhkan sebagai bentuk komitmen Kresna Life untuk mengembalikan dana nasabah.
Itu artinya OJK telah memerintahkan para pemegang saham pengendali (PSP) dan jajaran direksi PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life untuk bersama-sama mengganti kerugian pemegang polis atau nasabah. Perintah pembayaran ganti rugi ini telah disampaikan melalui perintah tertulis sesuai dengan kewenangan OJK yang dijamin oleh UU P2SK tentang OJK.
Jika merunut kasus Kresna Life, maka pokok persoalannya adalah pemegang saham sering berjanji tapi tak pernah ditepati untuk membayar kewajibannya. Jadi, tidak ada pencabutan izin usaha yang dilakukan oleh OJK yang, katanya, datang mendadak. Salah satu basisnya adalah setiap entitas asuransi yang akan dicabut izin usahanya pasti sudah terlebih dahulu dimasukkan dalam apa yang disebut pengawasan khusus, seperti yang tergambar di atas.
Selain itu, OJK akan melakukan apa yang disebut Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (S-PKU) dan sanksi ini diberikan biasanya karena entitas tidak mampu memenuhi rasio solvabilitas, ekuitas maupun rasio kecukupan investasi. Dengan kata lain, ada urutan dan proses yang harus ditempuh. Pencabutan izin usaha tidak dilakukan secara sak dheg sak nyet (seketika).
Menurut Irvan Rahardjo, pengamat asuransi, yang menjadi saksi ahli, gagal bayar perusahaan asuransi tidak terjadi sesaat, melainkan melalui serangkaian pengawasan yang menjadi kewenangan OJK. Dia mengatakan, setiap periode perusahaan asuransi wajib menyampaikan laporan tentang keadaan kesehatan dan pengelolaan perusahaan kepada OJK.
Pengamat ini tampaknya menyembunyikan kenyataan. Sejak 2020 sudah dilakukan serangkaian pengawasan oleh OJK terhadap Kresna Life, hingga ditemukan masalah, seperti investasi yang lebih banyak dilakukan pada portofolio saham milik grupnya.
Jadi, kalau Irvan mengatakan dalam kesaksiannya bahwa OJK tidak melakukan tindakan pengawasan terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan namun langsung melakukan pencabutan izin usaha, artinya bahwa OJK yang memiliki kewenangan untuk itu belum melakukan kewajiban sepenuhnya. Sehingga, keputusan yang dikeluarkan OJK berupa Cabut Izin Usaha (CIU) atas perusahaan asuransi dapat digugat oleh pemegang polis yang kepentingannya dirugikan akibat keputusan tersebut.
Anggapan seperti itu menurut beberapa ahli lain yang dihubungi Infobank dan fakta di lapangan jelas tidak berpijak pada kenyataan. Jelas-jelas OJK meminta pemegang saham untuk menambah modal. Bahkan, sampai RPK sebanyak 10 kali. Tapi, tidak dipenuhi. “Ini saksi ahli atau pembela dari Kresna Life yang faktanya tidak mampu membayar kewajibannya kepada pemegang polis. Kenapa mengatakan OJK langsung mencabut izin usahanya,” kata seorang ahli hukum keuangan.
Kata saksi ahli dalam keterangannya, SOL sebagai salah satu bentuk restrukturisasi tidak dapat dibatalkan oleh siapa pun karena merupakan wujud kebebasan berkontrak (asas pacta sunt servanda) yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata dan peraturan OJK. Pada kenyataannya, ketika deadline ditetapkan, pemegang saham tidak mampu memenuhinya soal tambahan setoran modal. Sebuah sumber menyebut, angkanya di kisaran Rp1 triliun yang tidak dipenuhi pemegang saham.
Jadi, argumen yang menyatakan bahwa pencabutan izin usaha atas Kresna Life, dan dikatakan OJK tidak mengawasi, itu sangat tidak masuk akal. S-PKU yang dikeluarkan OJK adalah logical outcome dari gagalnya entitas memenuhi rasio solvabilitas. Terlebih, OJK selalu memberikan waktu bagi entitas untuk menyelesaikan S-PKU. Biasanya entitas diminta untuk membuat RPK.
Gagalnya RPK Kresna Life ini tecermin dari tidak mampunya shareholder untuk top up kapital dan itu akan terlihat dari angka solvabilitas yang rendah atau di asuransi disebut sebagai RBC. Karena itu, jika dasar argumen yang digunakan adalah OJK melakukan pencabutan izin usaha tanpa proses dan urutan yang berlaku, itu aneh. Dan, lebih aneh lagi jika alasan itulah yang dijadikan sebagai dasar PTUN Jakarta membatalkan Keputusan Pencabutan Izin Usaha terhadap Kresna Life yang dilakukan oleh OJK.
Baca juga: PTUN Batalkan Pencabutan Izin Usaha Kresna Life, Begini Respons OJK
Jadi, urutan di atas adalah mekanisme yang sesuai dan diatur dalam UU yang memberikan kewenangan atau otoritas kepada OJK, yang antara lain berwenang untuk mencabut izin usaha entitas asuransi. Yang jadi masalah adalah disitirnya tentang adanya sebuah proses yang terkait dengan perjanjian konversi polis menjadi pinjaman subordinasi atau SOL. Ini alasan yang mengada-ada, dan tak berpijak pada kenyataan. Padahal, semua tahu, pemegang saham tidak melaksanakan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan.
Dalam konteks inilah kemudian SOL dikaitkan dengan asas pacta sunt servanda. Padahal, yang harus dilakukan adalah menghitung seberapa besar pemegang polis yang setuju terhadap SOL dan berapa yang tidak. Perhitungan seperti inilah yang kemudian akan menghasilkan jumlah yang cukup atau tidak cukup dalam konteks RBC. Jika terjadi kekurangan, maka kekurangan dari jumlah itulah yang wajib dipenuhi oleh PSP.
Jadi, tekanannya bukan pada asas pacta sunt servanda itu sendiri, melainkan terletak pada kewajiban yang harus dipenuhi oleh PSP. Jika kewajiban PSP dilaksanakan, maka RPK akan diberikan jalan oleh OJK dan jika tidak maka pencabutan izin usaha adalah jawabannya. Hal ini yang tidak dipenuhi.
Praktisi hukum dan pengamat terkadang sering bersilat lidah dan menggiring masalah ke arah yang tidak relevan. Kini, OJK tidak punya pilihan lain kecuali mengajukan banding ke PTUN sebagai bagian dari tertib entitas asuransi dan tertib aturan OJK.
Tidak bisa dibayangkan Kresna Life yang sudah dicabut izin usahanya itu tiba-tiba hidup lagi. Dan, sudah saatnya OJK membersihkan perusahaan asuransi “kaleng-kaleng” lainnya dari industri asuransi. Jangan sampai putusan “aneh” PTUN Jakarta terhadap Kresna Life ini menjadi preseden buruk. Dan, OJK harus banding dan terus dikawal.
Putusan PTUN Jakarta soal Kresna Life ini berbahaya bagi industri asuransi. Hukumnya, OJK wajib banding. Wajib, Bro! Yang benar saja, masak OJK tak boleh menutup dan mencabut izin usaha perusahaan asuransi yang dijamin oleh UU tentang OJK. (*)
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More
Jakarta - Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif (Kemenkraf/Bekraf) memproyeksikan tiga tren ekonomi kreatif pada 2025. … Read More
Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa sejumlah barang dan jasa, seperti… Read More
Jakarta - Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus kembali mengecam serangan militer Israel di jalur… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik dibukan naik 0,98 persen ke level 7.052,02… Read More
Jakarta – Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)… Read More