Oleh Awaldi, Pemerhati SDM Bank
KETIKA mendengar kata “asuransi”, pikiran kita langsung tertuju pada perlindungan, mulai dari risiko kecelakaan, sakit, kerugian finansial, hingga kematian. Iklan-iklan asuransi kerap menyampaikan pesan dengan sangat menyentuh: bahwa hidup penuh ketidakpastian, dan karena itu kita perlu “jaminan” agar bisa merasa tenang. Maka, hadirlah berbagai produk asuransi jiwa, kesehatan, kendaraan, dan lain sebagainya, yang menawarkan ketenangan bagi para pemegang polisnya.
Fungsi dasar asuransi adalah memberikan rasa aman di tengah dunia yang tak pasti. Kalau sakit, ada yang menanggung. Kalau terjadi musibah, ada yang membayar kerugiannya. Kalau meninggal, keluarga yang ditinggalkan mendapatkan santunan. Asuransi menjadi bentuk modern dari manajemen risiko: manusia membeli ketenangan melalui premi yang rutin dibayarkan.
Namun, di tengah semua tawaran ketenangan itu, ada pertanyaan mendasar yang kerap luput dari perbincangan kita. Apakah benar ketenangan jiwa bisa dibeli? Apakah cukup hanya dengan membayar premi, lalu jiwa kita akan tenang menjalani hidup ini?
Jawaban jujurnya sudah pasti belum tentu. Karena, sesungguhnya ketenangan jiwa tidak hanya datang dari kesiapan finansial menghadapi risiko, tetapi juga dari penerimaan dan pemahaman yang lebih dalam terhadap hidup itu sendiri. Terutama, terhadap satu hal yang pasti terjadi pada kita semua, yaitu kematian.
Karier bisa naik, bisa juga turun. Harta bisa bertambah, bisa juga habis. Orang-orang terdekat bisa mendukung kita, tapi bisa juga mengecewakan. Hidup penuh probabilitas. Tapi, kematian? Itu adalah keniscayaan!
Baca juga: Bersih-Bersih di Industri Asuransi Belum Selesai
Ironisnya, justru karena terlalu pasti, banyak dari kita memilih untuk tidak memikirkannya. Kita anggap tabu, kita hindari pembicaraannya. Kita bungkus dengan eufemisme: “pulang”, “wafat”. Padahal, di situlah letak asuransi ketenangan jiwa sejati: bukan hanya dari polis asuransi, tapi juga dari kesadaran dan penerimaan bahwa hidup ini fana, dan bahwa kematian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri.
Inilah asuransi yang berbeda dari umumnya. Bukan yang dijual di bank atau perusahaan asuransi, tapi yang bisa kita siapkan sendiri sejak hari ini, yakni seni mempersiapkan diri untuk menghadapi akhir hidup dengan tenang. Bukan dengan uang, tapi dengan pemahaman. Bukan dengan premi asuransi, tetapi dengan kesadaran. Kesadaran tentang the art of dying, “belajar mati” sebelum benar-benar mati.
Belajar mati berarti belajar melepaskan. Belajar mem bedakan mana yang benar-benar “diri kita” dan mana yang hanya sementara menempel. Sebab, kita sering ter tipu, mengira bahwa apa yang kita miliki adalah bagian dari diri kita: jabatan, kekayaan, relasi, bahkan tubuh kita sendiri.
Padahal, semua itu bukan kita. Dan, setiap yang kita peroleh di dunia ini harus kita tinggalkan suatu saat. Rumah bisa lenyap, jabatan bisa berpindah, tubuh bisa rusak. Bahkan, pikiran kita pun berubah-ubah. Jika kita terus-menerus mengidentifikasi diri dengan semua hal yang bisa hilang itu, selama itulah jiwa kita tidak akan pernah benar-benar tenang. Kita akan hidup dalam ketakutan akan kehilangan.
The art of dying itu adalah seni melepaskan sebelum dilepaskan. Jangan terlalu attached pada mobil yang kita miliki. Jangan terlalu bangga dengan jabatan yang kita sandang. Jangan menggantungkan rasa aman pada saldo rekening. Bahkan, jangan menganggap tubuh ini sebagai identitas kita. Ketika kita mulai memisahkan diri dari semua itu – bukan dalam arti menjauhi dunia, tetapi dengan tidak menjadikannya sebagai inti dari identitas – maka saat itulah kita mulai belajar hidup dengan lebih sadar, lebih ringan, dan lebih damai.