Jakarta – Tiga kandidat calon presiden (capres) Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto mulai menebar janji ‘manis’ jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun begitu, belum ada sambutan positif untuk janji kampanye yang dilontarkan ketiga capres tersebut.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai, belum adanya gagasan-gagasan penanganan permasalahan ekonomi yang digaungkan oleh ketiga capres tersebut.
“Program yang disampaikan oleh tiga capres tidak ada satupun yang mengusung perubahan sistem ekonomi. Mereka cuma usung programnya semata, hanya kulitnya saja,” kata Piter di acara FGD Infobank Chief Economist Forum, Kamis (21/9).
Baca juga: Anies, Ganjar, dan Prabowo, Siapa yang Pro Pembangunan?
Menurutnya, perubahan sistem ekonomi di Indonesia sangat penting di rezim pemerintahan baru yang nantinya akan dipimpin oleh salah satu dari capres tersebut.
Ia mengibaratkan, sudah lima periode kepemimpinan presiden dan wakil presiden berganti, namun ‘penyakit ekonomi’ masih belum bisa terobati.
“Selama ini penyakit ekonomi belum bisa obati. Kalau dari penyakit ekonomi saja tidak ada yang berubah, siapapun presidennya maka pertumbuhan ekonomi kita mentok di 5 persen terus,” terangnya.
Ia mencontohkan, salah satunya bagaimana kredit perbankan kembali melambat pada akhir paruh pertama 2023. Di mana, hanya menyalurkan kredit senilai Rp 6.636,1 triliun, naik 7,7 persen secara tahunan (yoy).
Pada bulan sebelumnya kredit tumbuh 9,5 persen yoy atau masih dalam rentang target BI, yakni 9 -11 persen.
“Bagaimana perbankan mau untung gede kalau menyalurkan kredit hanya 7 persen. Itu penyakit ekonomi. Tidak ada satu capres pun yang membahas. Kalau seperti ini terus, maka kondisi ekonomi akan terus di bawah,” tegasnya.
Apalagi, kata dia, presiden pun kerap menyentil para menterinya perihal kondisi yang terjadi di industri perbankan di Tanah Air. Misalnya tingginya Net Interest Margin (NIM) bank-bank di Indonesia.
“Pak Jokowi sering bilang bahwa perbankan ini NIM-nya kegedean loh. Kapan bisa diselesaikan,” bebernya.
Diketahui, saat ini NIM perbankan di Indonesia mencapai 4,4 persen. Sebagai catatan, NIM sendiri dipakai untuk mengukur perbedaan antara pendapatan bunga yang diterima bank dan bunga yang dibayarkan ke pemberi pinjaman.
Baca juga: Ini Dia Kriteria Capres 2024 Idaman Investor
Lazimnya, NIM yang besar mengindikasikan laba yang tinggi untuk bank. Apabila laba bank terlalu tinggi, maka bisa membuat perbankan tidak lincah dalam menyalurkan kredit dan akhirnya tidak memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi.
Oleh sebab itu, pihaknya berharap dari ketiga capres tersebut ada yang mengusung program untuk mengubah sistem dan memperbaiki penyakit ekonomi, termasuk perbankan di Tanah Air yang bisa menumbuhkembangkan karakter ekonomi. (*)
Editor: Galih Pratama
Denpasar--Infobank Digital kembali menggelar kegiatan literasi keuangan. Infobank Financial & Digital Literacy Road Show 2024… Read More
Jakarta – Badan Gizi Nasional (BGN) menggandeng holding BUMN pangan ID FOOD dalam pelaksanaan program… Read More
Jakarta – STAR Asset Management (STAR AM) mengajak investor memanfaatkan peluang saat ini untuk berinvestasi… Read More
Jakarta - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI mencatatkan kontribusi terhadap penerimaan negara… Read More
Jakarta - PT Astra Digital Arta (AstraPay) merespons kebijakan anyar Bank Indonesia (BI) terkait biaya Merchant Discount… Read More
Jakarta - Aplikasi pembayaran digital dari grup Astra, PT Astra Digital Arta (AstraPay) membidik penambahan total pengguna… Read More