Analisis

Potensi NPL dan Serbuan Fintech

TAK semua bankir bisa menutup kalender 2019 dengan senyuman. Diperkirakan ada delapan bank yang mencatat kerugian. Sebagian besar bank yang merugi adalah bank dengan modal inti di bawah Rp1 triliun atau bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1. Banyak bank papan bawah ini yang kinerjanya tertekan dan pemegang sahamnya memilih banknya dicaplok oleh investor strategis ketimbang memperkuat permodalan banknya. Misalnya, Bank Artos yang merugi sejak 2015 dan modalnya makin tergerus telah dibeli Patrick Waluyo dan Jerry Ng yang masuk sebagai pemilik 51%, Oktober lalu. Sedangkan Bank Royal yang kinerjanya tertekan sejak tiga tahun lalu dan Rabobank yang labanya tekor sejak 2017, keduanya dicaplok Bank Central Asia (BCA).

Selain delapan bank yang labanya minus, ada 55 bank lain yang diprediksi labanya positif tapi nyata-nya anjlok. Sebagian besar penyebab penurunan laba bank tersebut adalah kinerja kredit yang stagnan bahkan turun sehingga pendapatan bunga bersihnya tak mampu menopang kenaikan biaya operasional, ditambah naiknya biaya pencadangan akibat turunnya kualitas kredit. Bahkan, kendati kreditnya tumbuh, seperti dialami Bank Sinarmas yang berhasil naik ke BUKU 3 dan berusaha memanfaatkan kapasitas modal intinya, tapi labanya anjlok karena terbakar non performing loan (NPL) yang melonjak di atas 5%.

Para bankir yang banknya mencetak kenaikan laba pun belum tentu bisa tidur nyenyak. Memasuki kalender 2020, banyak bankir masih deg-degan, terutama mereka yang memegang akun debitur-debitur yang oleng, seperti Duniatex. Potensi terjadinya kenaikan NPL sudah kelihatan di depan. Menurut data Biro Riset Infobank (birI) per September 2019, kredit perbankan yang tumbuh hanya 7,86% diikuti dengan membesarnya kredit berkualitas rendah. Kendati NPL belum beranjak signifikan atau masih di level 2,66%, tapi credit at risk perbankan telah naik dari 12,05% pada akhir 2018 menjadi 13,54% per September 2019.

Kredit dengan kategori dalam pengawasan khusus meningkat Rp35,01 triliun dibandingkan dengan setahun sebelumnya, sementara kredit kurang lancar naik Rp951,05 miliar. Sedangkan kredit yang diragukan berkurang Rp3,34 triliun dan berpindah ke kategori kredit macet yang besarannya bertambah Rp12,31 triliun, di mana Rp12 triliunnya disumbang oleh 12 bank papan atas. Khusus untuk empat bank BUMN mencatat kenaikan kredit macet sebesar Rp7,96 triliun.

Selain ancaman kredit macet, pada 2020 para bankir harus menghadapi tantangan lain, yaitu mengejar fee based income di tengah pertumbuhan kredit yang terbatas, menyuburkan NIM yang layu dengan mengejar dana murah, dan menahan serbuan fintech. Bank mana lagi yang akan dicaplok bank yang lebih kuat?

Semuanya diulas tuntas di Majalah Infobank edisi Januari 2020.

admin

Recent Posts

Berpotensi Dipercepat, LPS Siap Jalankan Program Penjaminan Polis pada 2027

Poin Penting LPS membuka peluang percepatan implementasi Program Penjaminan Polis (PPP) dari mandat 2028 menjadi… Read More

28 mins ago

Program Penjaminan Polis Meningkatkan Kepercayaan Publik Terhadap Industri Asuransi

Berlakunya Program Penjaminan Polis (PPP) yang telah menjadi mandat ke LPS sesuai UU No. 4… Read More

2 hours ago

Promo Berlipat Cicilan Makin Hemat dari BAF di Serba Untung 12.12

Poin Penting BAF gelar program Serba Untung 12.12 dengan promo besar seperti diskon cicilan, cashback,… Read More

4 hours ago

BNI Dorong Literasi Keuangan dan UMKM Naik Kelas Lewat Partisipasi di NFHE 2025

Poin Penting BNI berpartisipasi dalam NFHE 2025 untuk memperkuat literasi keuangan dan mendorong kesehatan finansial… Read More

5 hours ago

wondr BrightUp Cup 2025 Digelar, BNI Perluas Dukungan bagi Ekosistem Olahraga Nasional

Poin Penting BNI menggelar wondr BrightUp Cup 2025 sebagai ajang sportainment yang menggabungkan ekshibisi olahraga… Read More

5 hours ago

JBS Perkasa dan REI Jalin Kerja Sama Dukung Program 3 Juta Rumah

Poin Penting JBS Perkasa dan REI resmi bekerja sama dalam penyediaan pintu baja Fortress untuk… Read More

8 hours ago