News Update

Potensi Bisnis Pusat Data di Indonesia

Jakarta – Munculnya sejumlah regulasi di berbagai sektor kegiatan ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir, yang mengharuskan perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk menyimpan data di dalam negeri telah mendorong tumbuhnya bisnis pusat data dan teknologi komputasi awan (cloud computing).

Di sektor keuangan misalnya, ada Peraturan Pemerintah No. 82/2012 yang mewajibkan sistem pembayaran elektronik untuk menyimpan datanya di Indonesia. Di sektor minyak dan gas, SKK Migas sejak 2013 mewajibkan seluruh perusahaan migas memiliki pusat data yang ditempatkan di Indonesia.

Di sisi investor, Indonesia menjadi tempat pengembangan bisnis pusat data dan teknologi kumputasi awan karena tingkat pengembalian modal investasi (ROIC) yang mencapai 11,6 persen, atau tertinggi di Asia Pasifik. Di Singapura, tingkat ROIC hanya 9,5 persen, sedang di Australia, karena mahalnya fasilitas di perkotaan, angka ROIC hanya 3,8 persen atau terendah.

Pusat data atau data center adalah fasilitas untuk menempatkan sistem komputer, cadangan informasi, server website atau database, dan komponen terkaitnya. Sedangkan komputasi awan merupakan layanan teknologi penyimpanan informasi melalui jaringan berbasis internet yang bisa diakses nirkabel melalui perangkat elektronik.

Sebelum maraknya bisnis pusat data dan komputasi awan, keduanya kerap dianggap sebagai bagian perusahaan telekomunikasi. Namun, belakangan dua unit usaha ini dapat berdiri sendiri karena memiliki fokus operasional dan cashflow yang jelas.

“Perusahaan telekomunikasi sebaiknya mendivestasikan usaha pusat data miliknya, sebab jika tidak dipisahkan) berpotensi menurunkan nilai usaha pusat data tersebut hingga 16 kali,” ujar Sachin Mittal, Tsz Wang Tam, Toh Woo Kim, dan Chris Ko Cfa dalam DBS Group Research, seperti dikutip dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa, 9 Januari 2018.

Laporan tersebut memuat contoh di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, di mana perusahan telekomunikasi telah mendivestasi bisnis pusat data mereka. Dana yang didapatkan dari divestasi tersebut kemudian digunakan untuk mengaktifkan fasilitas teknologi awan atau diinvestasikan ke bisnis lainnya seperti Big Data Analytics.

Ada dua jenis layanan teknologi awan yaitu private dan public cloud. Private cloud adalah layanan ekslusif yang disediakan untuk internal organisasi atau perusahaan. Fasilitas ini lebih aman karena dikelola sendiri, namun biaya operasionalnya yang cukup tinggi. Sedangkan public cloud untuk pengguna lebih luas, seperti yang disediakan Adobe Reader Cloud, Windows Azure, Amazon Web Services, dan Google Cloud.

Oleh karena itu, lebih banyak perusahaan-perusahaan termasuk 48 dari 50 Fortune Global yang memilih layanan publik ketimbang private. Hal ini jelas menekan pendapatan bisnis private cloud. Maka, para pemain di bisnis private cloud pun berakspansi ke area lain, seperti penyediaan layanan pendukung keamanan dan pengelolaan dan monitoring teknologi awan.

Menurut survey Bain and Company, lembaga konsultan bisnis, terjadi peningkatan penggunaan teknologi awan global dari satu persen pada 2010 menjadi 16 persen pada 2015 dengan nilai melebihi US$17 miliar. Selain itu, berdasarkan laporan McAfee, sebuah perusahaan layanan keamanan siber global, penggunaan komputasi awan hybrid juga melonjak dari 19 persen di 2015 menjadi 57 persen di 2016.

Laporan Synergy Research Group menyebut Amazon Web Services sebagai pemain terbesar public cloud, dengan penguasaan 34 persen pasar global. Selanjutnya adalah Microsoft yang menguasai 11 persen dan Google sebesar 5 persen. Sedangkan di Indonesia, pemain terbesar saat ini adalah Telkomsigma yang merupakan anak perusahaan Telkom. Telkomsigma memiliki 100 klien komputansi awan, mulai dari UMKM hingga perusahaan besar nasional.

Pada 2014 nilai transaksi pasar pusat datar dan komputasi awan Indonesia sebesar Rp4,4 triliun. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, pasar pusat data Indonesia diprediksi tumbuh sekitar 20 persen pertahun dalam periode 2015 hingga 2107 seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan online.

Tentu saja, pertumbuhan fasilitas pusat data di Indonesia akan dipengaruhi oleh pembangunan infrastruktur nasional, terutama di luar Pulau Jawa. Saat ini, industri pusat data di Indonesia dapat disebut masih dalam fase awal, dengan 60 persen aktivitasnya terpusat di Jakarta. (*)

Rezkiana Nisaputra

Recent Posts

ICC Resmi Keluarkan Surat Penangkapan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant

Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More

2 hours ago

Mandiri Sekuritas Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5,1 Persen di 2025

Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang stabil pada kisaran… Read More

11 hours ago

Harita Nickel Raup Pendapatan Rp20,38 Triliun di Kuartal III 2024, Ini Penopangnya

Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More

11 hours ago

NPI Kuartal III 2024 Surplus, Airlangga: Sinyal Stabilitas Ketahanan Eksternal Terjaga

Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More

11 hours ago

Insiden Polisi Tembak Polisi, Ini Penjelasan Kapolda Sumbar

Jakarta - Kapolda Sumbar Irjen. Pol. Suharyono menjelaskan kronologis polisi tembak polisi yang melibatkan bawahannya,… Read More

12 hours ago

Wamen ESDM Dukung Adopsi Electrifying Lifestyle di Masyarakat

Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung mendukung langkah PLN… Read More

13 hours ago