Oleh: Eko B Supriyanto
Gubernur Bank Indonesia (BI) yang baru, Perry Warjiyo, hari ini (24/5/2018) sudah mulai berkantor di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Thamrin 1 sudah harus dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. Rupiah di akhir April 2018 terdepresiasi dengan mata uang dolar AS menjadi pekerjaan yang harus diselesaikan. Bahkan, kemarin (23/5/2018) menjadi mata uang yang paling terdepresiasi di Asia sekitar 0,49%. Dolar AS sempat menguat mencapai Rp14.210.
Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Ada tiga besar pilar dalam menjaga kestabilan nilai tukar (1) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, (2) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, (3) stablitas sistem keuangan. Ketiga hal besar itulah Bank Indonesia diamanatkan untuk Independen dalam menjaga makro prudensial. Sementara mikro prudensial diamanatkan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keduanya lembaga independen dan terbebas dari intervensi pemerintah dalam menentukan kebijakan.
Sebelum menjadi Gubernur BI, Perry Warjiyo menjabat sebagai deputi Gubernur Bank Indonesia (BI). Perry dikenal paham moneteris dan kurang condong ke perbankan. Sementara Agus D Martowardojo yang berlatar belakang bankir sangat konsen pada perbankan. Dan, setelah 11 tahun menunggu, akhirnya National Payment Gateway (NPG) diberlakukan. Namun bagi InfoBank, Perry Warjiyo memang kompeten dan layak menjadi Gubernur Bank Indonesia yang tetap independen.
Banyak yang memperkirakan, hadirnya Perry Warjiyo menjadi BI 1 tak lain untuk mendorong kinerja pemerintah, khususnya mendorong pertumbuhan yang hanya dikisaran 5 koma. Bisa jadi hal yang sama juga masuknya Wimboh Santoso sebagai ketua OJK juga untuk mendorong pertumbuhan lewat perbankan. Banyak yang bertanya ketika OJK menyelenggarakan pertemuan tahunan akhir tahun lalu, tema yang diusung OJK adalah “mendorong pertumbuhan” dan bukan stabilitas keuangan. Suka suka OJK lah mau tema apa.
Tidak ada yang salah, karena ini pilihan politik Jokowi menjelang tahun 2019, dimana akan dilakukan Pemilu Presiden 2019. Namun jika Bank Indonesia atau OJK bergeser perannya dari menjaga stabilitas rupiah dan sektor keuangan menjadi bertugas mendorong pertumbuhan – karena sering kali stabilitas berbenturan dengan pertumbuhan, tentu dipertanyakan. Jika keduanya sama sama “ngegas”, lalu siapa yang “ngerem”. Tentu perlu keseimbangan kebijakan. Perry dan Wimboh bisa jadi dapat “diandalkan” oleh Presiden Jokowi dalam mewujudkan pertumbuhan.
Poros Perry Warjiyo (BI) – Jokowi (Pemerintah) dan Wimboh Santoso (OJK) dilihat sebagai poros pertumbuhan. Kerap kali Presiden merasa heran, mengapa bank-bank seret memberikan kredit, sementara suku bunga sudah rendah dan bank-bank dalam kondisi yang aman dengan capital adequacy ratio (CAR) yang sangat memadai (23%).
Tulisan ini tidak mempertanyakan pilihan politik Jokowi dalam mendorong pertumbuhan, Presiden sangat wajar jika pemerintah perlu mendorong pertumbuhan tinggi sesuai janji politiknya. Pertumbuhan yang berkualitas akan menyerap banyak tenaga kerja di dalamnya. Kita hanya berharap, Bank Indonesia dan OJK tetap independen dengan tugas utama yang digariskan oleh Undang-Undang Bank Indonesia dan UU OJK.
Keduanya adalah lembaga independen dan bukan bagian dari pemerintah – meski tidak harus “Negara dalam Negara”. Bahwa, kebijakannya ikut mendorong kebijakan pemerintah tidak menjadi masalah, yang jadi soal jika kebijakannya atas “pesanan” atau intervensi pemerintah. Apalagi, BI dan OJK menomor duakan tugas pokoknya dan lebih sibuk mendorong pertumbuhan hanya karena keinginan Presiden yang akan maju dalam Pemilu 2019 mendatang.
Lima tahun ke depan tugas Bank Indonesia tidak ringan. Tantangan yang berubah dengan geopolitik yang berubah dengan cepat pula. Ke depan, Indonesia dihadapkan pada tantangan global, seperti normalisasi kebijakan moneter bank sentral negara maju, di antaranya The Fed, The European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BoJ). Juga, adanya potensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang dapat berpotensi memengaruhi stabilitas makroekonomi.
Pada akhirnya Perry Warjiyo harus menyeimbangan kebijakan moneter — yang menjaga stabilitas nilai tukar dengan mendorong pertumbuhan. Rupiah harus stabil dulu, baru berpikir bagaimana mendorong pertumbuhan. Inflasi harus terkendali dan kebijakan makroprudensial yang tetap membuat stabilitas sistem keuangan. Setelah tugas pokok selesai baru sejalan berpikir mendorong pertumbuhan. Apalagi zaman now dengan perubahan pola perdagangan yang tentu membutuhkan pendekatan tersendiri. Hadirnya Fintech dan cryptocurrency sedikit banyak akan mengubah pola pendekatan BI.
Selamat bertugas Pak Perry semoga Bank Indonesia tetap independen dan mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dan, terima kasih Pak Agus Marto yang bertugas dengan baik menjaga stabilitas dan banyak melakukan transformasi di tubuh BI — sehingga terpilih sebagai Central Bank of Year dan The Most Outstanding People. Sebuah estafet yang perlu diteladani.
Kini pekerjaan pertama Perry adalah menstabilkan nilai tukar rupiah. Kita yakin di bawah Gubernur Perry Warjiyo, BI mampu melakukannya dengan penuh independen.(*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank.
Jakarta - Terdakwa Harvey Moeis dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi pada penyalahgunaan izin usaha… Read More
Jakarta - PT KAI (Persero) Daop 1 Jakarta terus meningkatkan kapasitas tempat duduk untuk Kereta… Read More
Jakarta – Starbucks, franchise kedai kopi asal Amerika Serikat (AS) tengah diterpa aksi pemogokan massal… Read More
Jakarta - Dalam rangka menyambut Natal 2024, Bank Mandiri menegaskan komitmennya untuk berbagi kebahagiaan melalui… Read More
Jakarta – Sejumlah bank di Indonesia melakukan penyesuaian jadwal operasional selama libur perayaan Natal dan… Read More
Jakarta - Masyarakat perlu bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Salah… Read More