Jakarta – Pembangkit listrik yang ada di Jakarta dan sekitarnya dinilai tidak memberikan kontribusi besar bagi lingkungan, khususnya kondisi udara Jakarta. Hal ini terjadi karena sebagian besar pembangkit listrik yang digunakan di Jakarta adalah gas alam, yang kandungan pencemarnya rendah.
Sementara untuk PLTU (berbahan bakar batubara) yang ada, telah dilengkapi dengan continuous emission monitoring system (CEMS) yang berfungsi untuk memonitor emisi secara kontinyu.
Demikian kesimpulan yang diambil berdasarkan simulasi perkiraan sebaran konsentrasi emisi yang terdispersi ke atmosfer. Simulasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Pengembangan PLN (PLN Research Institute), dan dituangkan dalam laporan berjudul “Kajian Dampak Emisi Pembangkit yang Berpengaruh terhadap Kondisi Udara Jakarta” yang diterbitkan 7 Februari 2019 lalu.
Untuk mengestimasi sebaran emisi pembangkit digunakan persamaan model Gaussian, dengan mempertimbangkan kondisi meteorologi dan topografi daerah Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Pembangkit listrik eksisting yang menjadi obyek kajian adalah PLTGU Muara Karang Blok, PLTGU Tanjung Priok, PLTGU Muara Tawar, PLTU Lontar, dan PLTU Suralaya Unit 8 PLN.
Dari hasil perhitungan dan modelling PM 2,5 didapatkan bahwa jika pencemaran udara didefinisikan sebagai konsentrasi yang tidak melebihi nilai target kualitas udara ambien, maka pada saat ini PLTU Indramayu memiliki jarak aman 3 km, PLTU Suralaya 1- 8 memiliki jarak aman 7 km dan PLTU Lontar memiliki jarak aman 1 kilometer dari Stack.
Aktivitas pengkajian itu dilakukan sebagai upaya pertama dalam tindakan pencegahan dampak emisi terhadap lingkungan sekitar dan manusia, serta seberapa jauh sebaran konsentrasi emisi dari titik penyebab.
Parameter gas emisi yang disimulasikan dalam kajian tersebut adalah parameter yang wajib dipantau sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no 21 tahun 2008 tentang baku mutu Emisi Sumber tidak bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan pembangkit tenaga listrik termal yaitu SO2, NOx2, total partikulat, dan opasitas.
Namun selain itu, dalam kajian tersebut juga dilakukan analisis terhadap konsentrasi mercuri (Hg), karena dalam aturan baru yang sedang dirancang, kandungan itu akan dimasukkan sebagai parameter tambahan.
Gas buang atau emisi didefinisikan sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, gas alam dan minyak yang didispersikan ke udara, tergantung pada komposisi bahan bakar serta jenis dan ukuran boiler. Emisi merupakan salah penyumbang pencemaran udara yang dapat berdampak pada kesehatan manusia, dan lingkungan sekitar.
Berdasarkan RUPTL PT. PLN (Persero) Tahun 2019 – 2028, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Ir. Wanhar memaparkan, kebijakan pengembangan ketenagalistrikan di Indonesia sangat memperhatikan kebijakan penurunan emisi dan Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional.
“RUPTL PTPLN (Persero) tahun 2019 – 2028 menargetkan penerapan bauran energy pembangkit listrik dengan komposisi batubara 54,4%, EBT 23,2%, gas alam 22% dan BBM 0,4%. Melalui penerapan bauran 23% EBT, Pemerintah telah menargetkan penurunan emisi sebesar 137 juta ton CO2, yang berarti penurunan 28% dari skenario tanpa EBT yang bisa mencapai 488 juta ton CO2 pada 2028,” jelasnya.(*)
Jakarta – Bangkok Bank sukses mengakuisisi 89,12 persen saham PT Bank Permata Tbk (BNLI) dari Standard Chartered Bank dan… Read More
Jakarta – PT PLN (Persero) dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 membutuhkan investasi mencapai USD700 miliar… Read More
Jakarta - PT Bank Permata Tbk (BNLI) atau Permata Bank memiliki peluang ‘naik kelas’ ke Kelompok Bank… Read More
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai level 8 persen dalam kurun waktu… Read More
Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin… Read More
Makassar – PT Asuransi Maximus Graha Persada Tbk (Maximus Insurance) menyerahkan polis asuransi jaminan diri… Read More