Oleh Wilson Arafat – GRC & ESG Specialist
DI tengah hiruk-pikuk kota dan tekanan hidup urban, rumah kini tak lagi sekadar tempat beristirahat. Bagi generasi muda -terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan- rumah telah berevolusi menjadi simbol identitas, ekspresi, dan gaya hidup.
Anak muda berusia 20 hingga 35 tahun tumbuh dalam kesadaran baru bahwa krisis iklim nyata, kualitas udara memburuk, dan banjir datang tanpa permisi. Maka, pertanyaan mereka pun berubah. Bukan lagi “berapa luas rumah ini?”, tapi “seberapa besar dampaknya terhadap bumi?”
Dalam lanskap urban yang makin panas dan penuh tekanan lingkungan, lahirlah kebutuhan akan hunian yang lebih bijak. Konsep eco-housing -rumah rendah emisi, hemat energi, dan selaras dengan alam- bukan lagi idealisme sempit, melainkan solusi konkret. Eco-housing menawarkan gaya hidup lebih sehat, efisien, dan bertanggung jawab. Sebuah bentuk kepedulian yang diwujudkan dalam bentuk paling personal: rumah itu sendiri. Iwan Prijanto, Ketua Green Building Council Indonesia (GBCI), menyatakan:
“Penerapan bangunan hijau memberikan manfaat lingkungan dan finansial bagi para pengembang, penyewa, dan pemangku kepentingan lainnya, serta menciptakan lingkungan indoor dan outdoor yang lebih sehat bagi penghuni.”
Eco-housing hadir dengan pendekatan menyeluruh: mulai dari desain bangunan rumah, sistem energi, ventilasi, sirkulasi pencahayaan alami, hingga pengelolaan air dan limbah rumah tangga. Teknologi dikombinasikan dengan prinsip keberlanjutan, seperti panel surya, material bangunan dari bahan daur ulang, hingga sistem penampungan dan pemanfaatan air hujan.
Lebih dari sekadar ramah lingkungan, eco-housing menawarkan kenyamanan yang lebih tinggi. Menurut World Green Building Council, bangunan hijau dapat menurunkan konsumsi energi hingga 30% dan emisi karbon hingga 35 persen dibanding rumah konvensional. Udara dalam ruang lebih bersih, risiko penyakit menurun, dan stres akibat kebisingan dan polusi bisa ditekan.
Tren ini makin terlihat di kawasan BSD, Jakarta Timur, dan Yogyakarta. Proyek-proyek perumahan skala kecil dan menengah mulai menerapkan prinsip green design. Beberapa startup properti bahkan menawarkan fitur custom eco-housing melalui aplikasi digital, memungkinkan pemilihan bahan daur ulang, desain modular, dan pemasangan panel surya sesuai anggarannya.
Baca juga: Insentif PPN DTP Properti 100 Persen Diperpanjang hingga Akhir 2025
Di balik idealisme hidup ramah lingkungan, eco-housing menyimpan potensi ekonomi yang sangat nyata dan menjanjikan. Menurut laporan Green Building Council Indonesia (2023), sektor properti berkelanjutan di Indonesia diproyeksikan tumbuh sebesar 12–15 persen per tahun hingga 2030. Jika tren ini konsisten, nilai pasar hunian hijau bisa melampaui Rp200 triliun dalam lima tahun ke depan, sebuah angka yang mencerminkan transformasi besar dalam preferensi konsumen urban terhadap hunian yang sehat dan efisien energi.
Bank Indonesia (BI) memberikan dukungan terhadap pengembangan properti hijau melalui kebijakan makroprudensial dan insentif pembiayaan. Dalam siaran pers Januari 2025, Bank Indonesia menegaskan komitmennya untuk memperkuat pembiayaan sektor-sektor prioritas, termasuk sektor properti hijau, melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Kebijakan ini dirancang untuk mendorong sektor properti hijau dengan memberikan kemudahan dalam akses pembiayaan bagi pengembang yang memenuhi standar keberlanjutan.
Dari perspektif investasi, properti hijau semakin dilirik sebagai investasi yang tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga tangguh dalam jangka panjang. Rumah dengan konsep eco-housing menawarkan nilai jual kembali yang lebih tinggi, risiko depresiasi yang lebih rendah, dan daya tahan yang lebih baik terhadap kebijakan lingkungan yang semakin ketat.
Hal ini membuat properti hijau semakin menjadi pilihan utama bagi investor yang menginginkan portofolio yang berkelanjutan dan berdaya tahan tinggi. Bagi pengembang, menjadi pelopor dalam pasar properti hijau berarti mengamankan posisi strategis di pasar yang semakin selektif dan berorientasi pada keberlanjutan.
Sementara Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), telah meluncurkan berbagai program untuk mempercepat pembangunan hunian ramah lingkungan yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan perumahan dengan fasilitas energi terbarukan, menarik minat investor hijau global.
Namun, untuk mewujudkan potensi besar ini, diperlukan penguatan regulasi dan ekosistem yang mendukung. Meskipun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah merilis pedoman bangunan gedung hijau dan menyusun kebijakan pembangunan berkelanjutan, implementasi di lapangan masih terbilang sporadis.
Untuk mempercepat adopsi properti hijau, dibutuhkan percepatan dalam pemberian insentif fiskal, penyederhanaan proses perizinan, dan pembentukan skema subsidi yang lebih jelas. Selain itu, kampanye edukasi yang lebih luas lagi juga sangat penting agar publik menyadari bahwa hunian hijau bukan sekadar tren, tetapi merupakan kebutuhan masa depan yang harus dipenuhi untuk keberlanjutan lingkungan.
Perubahan dalam paradigma hunian ini tidak dimulai dari pemerintah atau pengembang besar, melainkan dari bawah, dari pertanyaan-pertanyaan sederhana namun mendalam yang dilontarkan oleh generasi muda: “Apakah rumah ini menggunakan lampu hemat energi?”, “Bisakah saya menanam sayuran sendiri di halaman?”, atau “Bagaimana dengan pemanfaatan air limbah cucian?”.
Kesadaran yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan ini menandakan perubahan besar dalam cara pandang terhadap hunian, yang tidak hanya fokus pada kenyamanan, tetapi juga pada dampak terhadap lingkungan dan masa depan yang hijau.
Baca juga: Kredit Properti Melambat, Cuma Tumbuh 5,6 Persen di Juni 2025
Generasi Z dan milenial, yang kini memasuki fase pembelian rumah pertama, semakin peduli dengan jejak karbon dan efisiensi energi. Mereka adalah pasar masa depan yang akan menghindari rumah konvensional yang boros energi, panas, dan minim ruang hijau. Sebaliknya, mereka menginginkan rumah yang lebih kecil, namun cerdas, rumah yang tidak megah namun sehat dan anggun, tidak mahal namun lebih kepada berkelanjutan.
Teknologi menjadi katalisator utama dalam perubahan ini. Desain modular yang hemat energi, aplikasi rumah pintar, hingga kalkulator jejak karbon kini relatif dapat dengan mudah diakses. Inovasi-inovasi ini membuat konsep eco-housing semakin mudah dijangkau dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pribadi. Bahkan, muncul konsep co-living hijau yang menggabungkan keberlanjutan, efisiensi ruang, dan gaya hidup komunitas, sebuah solusi yang semakin diminati oleh generasi muda yang ingin tinggal di ruang bersama dan berkeberlanjutan.
Namun, meskipun potensi besar ada di depan mata, tantangan utama yang harus diatasi adalah aksesibilitas dan persepsi biaya. Banyak orang masih menganggap rumah hijau itu mahal, padahal dengan perencanaan dan desain yang efisien, biaya pembangunannya dapat lebih rendah dibandingkan dengan rumah konvensional. Ditambah lagi, dengan adanya insentif dari pemerintah dan dukungan lembaga keuangan, rumah ramah lingkungan bisa bersaing harga dengan rumah biasa. Keuntungan jangka panjang seperti penghematan biaya listrik dan air hanya menambah daya tarik konsep hunian ini.
Eco-housing bukan hanya sekadar tren, tetapi arah baru menuju kota yang lebih nyaman, hidup yang lebih sehat, dan bumi yang lebih terjaga. Dalam waktu dekat, rumah ramah lingkungan akan menjadi pilihan utama. Aturan semakin ketat, pasar semakin selektif, dan konsumen semakin peduli dengan keberlanjutan. Pengembang, investor, bank, dan keluarga muda yang bergerak lebih awal akan menjadi yang paling paling terdepan dan diuntungkan.
Rumah masa depan bukan cuma tempat berteduh, tetapi juga cara menjaga lingkungan. Dahulu, orang bangga memiliki rumah besar. Kini, mereka bangga memiliki rumah kecil, hemat energi, penuh cahaya alami, dan menyatu dengan alam. Ini bukan kemunduran, ini langkah maju yang jauh lebih bijak. Maka, mari mulai dari yang paling sederhana: keputusan membangun rumah yang lebih baik, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk masa depan anak bangsa. (*)
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More
Poin Penting Roblox resmi ditunjuk DJP sebagai pemungut PPN PMSE, bersama empat perusahaan digital lainnya.… Read More