Perlambatan ekonomi membawa ancaman kredit macet bagi perbankan. Setelah BI, OJK beri stimulus kebijakan mendorong sektor keuangan. Eko B. Supriyanto.
Jakarta–Otoritas Jasa Keuangan (OJK) rupanya tidak mau ketinggalan dengan Bank Indonesia (BI). Setelah BI mengeluarkan kebijakan stimulus, seperti pelonggaran loan to value (LTV) dan tata cara perhitungan loan to deposit ratio (LDR) menjadi loan to funding ratio (LFR), kini OJK memberi “pil kuat” sebanyak 35 paket. Ada 12 paket untuk perbankan, 15 paket untuk pasar modal, 4 paket untuk nonbank, serta 4 paket untuk edukasi dan perlindungan konsumen.
Paket stimulus ini merupakan jawaban atas kondisi yang sekarang membelit sektor keuangan, khususnya perbankan, yaitu mengenai seretnya kredit perbankan dan bahaya laten kredit macet. Paket-paket itu untuk mendorong perbankan agar dapat memberikan kredit, terutama kredit ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini sering tak mempunyai akses.
Apakah “doping” dari OJK untuk para bankir itu sudah tepat? Sekilas sektor perbankan akan mendapat banyak kemudahan. Salah satu hal penting adalah agar perbankan mempunyai ruang yang lebih longgar dalam penyaluran kredit. Di satu sisi, kado ini akan memberi banyak tenaga bagi perbankan. Namun, pertanyaan lanjutannya, apakah dengan sendirinya sektor riil atau debitor akan sejalan dengan nafsu perbankan dalam memberikan kredit?
Pertumbuhan kredit, seperti diungkapkan OJK, berdasarkan rencana bisnis bank mencapai 13%-15%. Sementara, Biro Riset Infobank (birI) tahun ini memprediksi kredit hanya akan tumbuh sebesar 9%-13%. Lebih konservatif karena sektor riil dalam kondisi lesu, terutama sektor komoditas di luar Jawa, seperti di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama 2015 hanya 4,71%. Kita sering berargumen bahwa perekonomian melemah kita tidak sendiri. Seluruh dunia memang sedang menurun perekonomiannya. Perekonomian Tiongkok juga tengah menuju keseimbangan baru. Dan, tentu, itu membawa dampak yang tidak kecil bagi perekonomian Indonesia.
Dalam acara sarasehan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dengan Presiden Jokowi terungkap banyak fakta yang menandakan bahwa ekonomi Indonesia sedang dalam tren melemah. Pertumbuhan ekonomi sudah terjadi sejak 2013. Namun, belakangan ini ada sentimen negatif dan kepercayaan yang tergerus perlahan tapi pasti.
Lebih mengherankan lagi, belanja pemerintah lemah di tengah permintaan ekspor yang menurun dan kondisi keuangan dunia yang tak menentu. Dalam kondisi sekarang, peranan belanja modal dan belanja barang pemerintah seharusnya didorong untuk bergerak agar menjadi stimulus perekonomian di daerah. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah daerah (pemda) lebih banyak menyimpan uangnya dalam bentuk deposito dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Hal lain yang membuat dunia usaha panas-dingin adalah fluktuasi rupiah. Rupiah mengalami tekanan yang sangat besar dan mengakibatkan kerentanan kepercayaan atas pengelolaan ekonomi secara keseluruhan. Pelemahan rupiah punya andil besar terhadap kenaikan barang-barang impor, dan pada akhirnya kenaikan inflasi.
Kelesuan ekonomi yang sudah menjalar ke berbagai sektor, termasuk optimisme yang tergerus lebih dalam ini, tentu dengan memberi “pil kuat” dari OJK tidaklah cukup. Harus diakui, OJK selaku otoritas keuangan sudah tepat memberi stimulus, tapi harus diikuti dengan stimulus sektor riil. Jika sektor riil masih lesu akibat permintaan dalam negeri yang loyo, kado OJK yang terdiri atas 35 paket hanya akan membuat sektor keuangan dan perbankan makin baik dalam jangka pendek.
Untuk jangka panjang, karena sektor riil tidak didorong dan cenderung melemah, pada akhirnya akan memukul perbankan yang menderita “biri-biri basah”—kelebihan likuiditas akibat sulitnya mengucurkan kredit—dengan timbunan kredit bermasalah.
Bagi perbankan, jangan terlalu nafsu mengucurkan kredit karena permintaan kredit juga lemah. Jangan sampai pemberian kredit dipaksakan sehingga kemampuan membayar debitor rendah, yang pada akhirnya menimbulkan kredit macet. Kredit macet membuat bankir pusing dan makin membuat “stroke” kalau kredit macet dikriminalisasi.
Yang perlu diwaspadai, seperti saat-saat menjelang krisis: krisis 1998, krisis 2008, banyak debitor bukannya tidak mampu membayar pinjaman atau kredit bank, melainkan lebih banyak karena moral hazard. Yakni, pura-pura tidak mampu membayar pinjaman bank dengan alasan sedang lesu. Hari-hari ini bank-bank tengah bergulat dengan menahan agar kredit tidak turun kolektibilitasnya.
Saat ini, yang paling mujarab agar ekonomi masih bisa tumbuh adalah mempercepat belanja pemerintah. Sekarang waktunya kerja dengan mesin pertumbuhan baru, seperti yang sering diucapkan Jokowi—tanpa menyebut mesin pertumbuhan baru itu apa.
Dan, “pil kuat” dari OJK ini tak akan efektif kalau pemerintah masih terus bermimpi seperti masih kampanye. Jangan sampai pemerintahan Jokowi yang awalnya oleh majalah ini disebut sebagai a new hope menjadi a new hopeless.
Jakarta – Ekonom Senior Core Indonesia Hendri Saparini mengatakan masih terdapat gap yang tinggi antara kebutuhan pendanaan… Read More
Suasana saat penantanganan kerja sama Bank Mandiri dengan PT Delta Mitra Sejahtera dengan membangun 1.012… Read More
Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kinerja pasar modal Indonesia masih akan mengalami… Read More
Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyesuaikan jadwal operasional kantor cabang sepanjang periode… Read More
Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (19/12) kembali ditutup merah ke… Read More
Jakarta - Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai, perlambatan ekonomi dua negara adidaya, yakni Amerika… Read More