Expertise

Pertumbuhan Sektor Manufaktur dan Deindustrialisasi

Oleh Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen Bank Central Asia

MINGGU yang lalu terjadi kegemparan setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal dua 2025 sebesar 5,12 persen. Angka ini berbeda dengan prediksi banyak ekonom yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih rendah dibandingkan dengan angka pertumbuhan kuartal satu 2025 yang sebesar 4,87 persen. Alasannya adalah pelemahan daya beli sehingga muncul fenomena rojali, rohana, dan sebagainya.

Dari sisi pengeluaran, baik konsumsi masyarakat, investasi, maupun ekspor, mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi meskipun untuk pengeluaran pemerintah justru mengalami penurunan pertumbuhan. Dari sisi produksi, selain sektor tradisional yang selalu mengalami pertumbuhan yang tinggi, terdapat sektor industri pengolahan (manufaktur) yang mengalami pertumbuhan 5,68 persen. Pertumbuhan sebesar ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 1,13 persen atau share-nya sebesar 22 persen dari pertumbuhan ekonomi yang 5,12 persen.

Pertumbuhan sektor industri manufaktur sebesar 5,68 persen memang bukan pertumbuhan sektoral yang tertinggi. Pertumbuhan sektoral yang tertinggi di kuartal dua 2025 ini adalah sektor jasa lainnya yang tumbuh lebih dari 11 persen. Namun demikian, pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,68 persen tersebut mencerminkan suatu fenomena yang berbeda dari biasanya.

Pada kuartal-kuartal sebelumnya, pertumbuhan industri manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Inilah yang sering disebut dengan “deindustrialisasi”. Sementara itu, pertumbuhan industri manufaktur di kuartal dua 2025 ini sebesar 5,68 persen adalah lebih tinggi dibandingkan dengan 5,12 persen sehingga fenomena “deindustrialisasi” tidak terjadi pada kuartal ini.

Perkembangan ini tentulah merupakan suatu fenomena yang menarik, meskipun dinamika dalam perekonomian selalu saja dimungkinkan terjadinya situasi semacam itu. Apakah fenomena ini hanya terjadi di kuartal ini saja? Pada akhirnya, waktulah yang akan membuktikan nanti.

Baca juga: Kemenperin: Digitalisasi Sektor Manufaktur Bisa Ciptakan 20 Juta Lapangan Kerja Baru

Deindustrialisasi Vs Industry Led Growth

Istilah deindustrialisasi di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Istilah itu mulai disampaikan oleh Chatib Basri, ekonom, setelah melihat fenomena terus menurunnya peranan sektor industri dalam PDB Indonesia karena lebih rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.

Saya merasakan bahwa pertumbuhan sektor industri menurut “casual observation” saya justru lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, saya percaya yang terjadi di Indonesia adalah “industry led growth”, yaitu pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh sektor industri.

Perbedaan pandangan ini pun akhirnya diformalkan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Departemen Perindustrian atas inisiatif Menteri Perindustrian waktu itu yaitu Mohamad Hidayat dengan mengundang tiga pembicara, yaitu Chatib Basri, Soetomo yang merupakan Wakil Ketua BPS masa itu, dan saya sendiri. 

Dalam diskusi tersebut, akhirnya yang tetap bertahan adalah bahwa di Indonesia memang terjadi fenomena “deindustrialisasi” karena faktanya data sektor industri manufaktur memang mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.

Lalu, kenapa saya tetap keukeuh berpendapat bahwa yang terjadi di Indonesia adalah industry led growth? Ini karena saya merasa bahwa data statistik industri manufaktur kita barangkali tidak secanggih dengan data sektor industri lainnya, terutama sektor telekomunikasi yang bertahun-tahun mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi.

Saya berpikir bahwa sektor telekomunikasi hanya meng-cover beberapa pemain besar, yaitu PT Telkom dengan Telkomsel-nya, PT Indosat, dan PT Exelcomindo. Ketiga perusahaan tersebut adalah perusahaan terbuka sehingga transparansi datanya pasti lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tertutup. Sementara itu, sektor industri manufaktur terdiri atas ribuan perusahaan yang umumnya adalah bukan perusahaan terbuka. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya memperoleh data yang kredibel dari sektor industri manufaktur tersebut.

Bahkan, untuk industri logam dasar yang antara lain terdiri atas industri baja, stainless steel, dan yang lain-lain, saya melihat kesenjangan antara data ekspor mereka dan data PDB-nya. Ekspor besi dan baja dalam data ekspor BPS di 2014 dengan di 2024 mengalami kenaikan sekitar lebih dari USD25 miliar, atau sekitar Rp400 triliun.

Sementara itu, data PDB industri logam dasar di 2024 secara keseluruhan mencapai sedikit di atas Rp220 triliun. Ini belum memperhitungkan produksi logam dasar yang untuk penggunaan di dalam negeri dan sebagainya.

Oleh karena itu, saya berpikir adanya “under-reporting” yang terjadi dalam salah satu sektor industri manufaktur tersebut. Hal ini pun bisa kita lihat lagi pada subsektor lainnya, seperti industri pulp and paper

Baca juga: Bangkitnya Industri Kereta Api Indonesia

Menuju Industry Led Growth

Apa yang terjadi dalam data statistik kuartal dua 2025 ini menjadi pembuka mata bahwa potensi terjadinya pertumbuhan sektor manufaktur yang tinggi ternyata bukan hanya suatu pandangan kosong di awang-awang dan ternyata bisa terjadi. Buktinya adalah seperti apa yang terjadi pada data statistik kuartal dua ini.

Jika data industri manufaktur tersebut diteliti lebih lanjut (bahasa Jawanya “dipetani”), saya sangat yakin masih banyak lagi data subsektor yang masih “under-reporting”. Jika ini terjadi, maka dalam tahun-tahun yang akan datang akan terjadi revisi ke atas (upward revision) dari data industri manufaktur sehingga pada akhirnya akan tercipta data yang lebih masuk akal.

Jika hal tersebut sungguh-sungguh dilakukan, maka akan terjadilah fenomena industryledgrowth sebagaimana yang sudah saya nantikan bertahun-tahun. Jika ini terjadi, maka optimisme mengenai prospek Indonesia Emas di 2045 rasanya bukan mimpi di siang bolong, melainkan suatu hal yang berdasarkan fondasi yang benar. Saya sungguh bangga dengan sektor industri manufaktur Indonesia.

Galih Pratama

Recent Posts

Hashim Soroti Pentingnya Edukasi Publik Terkait Perubahan Iklim

Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More

31 mins ago

OJK Sederhanakan Aturan Pergadaian, Ini Poin-poinnya

Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More

2 hours ago

40 Perusahaan & 10 Tokoh Raih Penghargaan Investing on Climate Editors’ Choice Award 2025

Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More

2 hours ago

Jelang Akhir Pekan, IHSG Berbalik Ditutup Melemah 0,09 Persen ke Level 8.632

Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More

3 hours ago

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI, Bukti Peran Strategis dalam Stabilitas Ekonomi RI

Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More

3 hours ago

Segini Kekayaan Menhut Raja Juli Antoni yang Diminta Mundur Anggota DPR

Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More

3 hours ago