Jakarta – Data pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II tahun 2025 sebesar 5,12 persen year on year (yoy) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi momentum untuk merekonstruksi cara pandang masyarakat dalam menghitung pertumbuhan ekonomi nasional.
“Kita kurang cepat mem-shifting cara berpikir kita. Kita masih menggunakan indikator lama yang sudah tidak sesuai lagi,” ujar Piter Abdullah, Policy and Program Director Lembaga Riset Prasasti, saat diskusi dengan media, Kamis (21/8).
Piter menuturkan, beberapa pengamat melihat angka pertumbuhan PDB kuartal II tahun 2025 sebesar 5,12 persen yang dirilis BPS sebagai angka aneh. Sebab, hampir semua indikator ekonomi mengalami penurunan.
“Misalnya penjualan mobil, indikator yang seringkali digunakan oleh para pengamat untuk mengukur daya beli masyarakat. Penjualan mobil tahun 2025 mengalami penurunan tajam,” ungkap Piter.
Baca juga: BI Optimistis Ekonomi RI 2025 Tumbuh di Atas Titik Tengah Target 4,6-5,4 Persen
Data Gaikindo menunjukkan, penjualan ritel mobil baru pada semester pertama 2025 turun 9,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Penjualan wholesales juga mengalami penurunan sebesar 8,6 persen. Penurunan ini diklaim karena adanya pelemahan daya beli masyarakat.
Tingkat konsumsi masyarakat juga diklaim mengalami penurunan karena masifnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara nasional. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, sepanjang Januari hingga Juni 2015, tercatat ada 42.385 pekerja yang mengalami PHK.
Indikator lain yang seolah mengkonfirmasi adanya penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat adalah munculnya fenomena “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya-nanya) di banyak mal di Indonesia.
Meski begitu, Piter yakin, data konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh BPS bukan hasil rekayasa dan valid untuk dijadikan rujukan.
“Apalagi, BPS menggunakan leading indicator yang jauh lebih banyak dibanding yang digunakan oleh para pengamat,” ujar Piter.
Jika merujuk keterangan dari Wakil Kepala BPS Sonny B. Harmadi, jumlah indikator yang digunakan oleh BPS hingga muncul “angka aneh” 5,12 persen sebanyak 1.058 indikator.
“Sementara, kita para pengamat biasanya hanya menggunakan 7 sampai 12 indikator. Tentu penilaian BPS jauh lebih valid,” ujarnya.
Maka itu, lanjut Piter, data pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen seharusnya dipandang positif, meskipun sejumlah indikator ekonomi menunjukkan tren pelemahan.
“Menurut saya sebagai ekonom, angka 5,12 persen adalah angka yang wajar untuk tingkat perekonomian kita saat ini,” ujar Piter.
Terkait penurunan penjualan mobil, misalnya. Menurut Piter, meski menurun, namun ternyata mobilitas masyarakat justru naik.
Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, mobilitas masyarakat pada kuartal I tahun 2025 meningkat sebesar 12,5 persen dibandingkan dengan kuartal I tahun 2024.
“Ini ada perubahan struktur perilaku masyarakat, khususnya Gen Z dan Milenial dalam membelanjakan uangnya. Mereka tidak membeli mobil tapi lebih memilih menggunakan angkutan umum untuk jalan-jalan, untuk traveling,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Piter, penjualan emas juga mengalami kenaikan. Berdasarkan data dari PT Aneka Tambang (Antam), penjualan emas pada kuartal I tahun 2025 sebesar 35,6 ton, meningkat sebesar 20,5 persen dibandingkan dengan kuartal I tahun 2024 yang sebesar 29,5 ton.
“Yang menarik, di tahun 2025, banyak masyarakat yang rela antri untuk membeli emas Antam. Artinya apa? Mereka masih memiliki daya beli, meski bukan untuk beli rumah, tapi untuk investasi,” ujarnya.
Pola belanja masyarakat juga mengalami perubahan, yakni dari offline menjadi online. Inilah yang menjadi biang munculnya fenomena “Rohana” dan “Rojali”.
“Mengapa orang memilih beli secara online? Karena lebih murah. Sehingga pergi ke mal hanya untuk makan atau jalan-jalan,” tuturnya.
Baca juga: DBS Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 4,8 Persen di 2025
Piter menilai ada shifting ekonomi digital yang menjadi faktor penopang pertumbuhan ekonomi di saat masifnya PHK karyawan. Dia mencontohkan keberadaan platform seperti Gojek, Grab, Maxim, dan inDrive yang mampu menyerap pekerja terdampak PHK sebagai pekerja lepas berbasis digital.
“Artinya, itu tetap membantu mereka mendapatkan penghasilan untuk konsumsi,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Piter, perlu dilakukan rekonstruksi cara pandang dalam menghitung pertumbuhan ekonomi nasional untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan komprehensif. (*) DW
Poin Penting Indonesia menegaskan komitmen memimpin upaya global melawan perubahan iklim, seiring semakin destruktifnya dampak… Read More
Poin Penting OJK menerbitkan POJK 29/2025 untuk menyederhanakan perizinan pergadaian kabupaten/kota, meningkatkan kemudahan berusaha, dan… Read More
Poin Penting Sebanyak 40 perusahaan dan 10 tokoh menerima penghargaan Investing on Climate 2025 atas… Read More
Poin Penting IHSG ditutup melemah 0,09% ke level 8.632 pada 5 Desember 2025, meski beberapa… Read More
Poin Penting Bank Mandiri raih 5 penghargaan BI 2025 atas kontribusi di makroprudensial, kebijakan moneter,… Read More
Poin Penting Menhut Raja Juli Antoni dikritik keras terkait banjir dan longsor di Sumatra, hingga… Read More