News Update

Pernyataan BPK Soal 7 Bank Berpotensi Ciptakan Moral Hazard

Jakarta – Berbagai pihak menyayangkan pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengenai 7 bank yang kurang diawasi dengan baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditengah pandemi Covid19.

Anggota Komisi XI Fraksi PDI-P Andreas Eddy Susetyo mengatakan, dimasa pandemi seperti ini kewaspadaan untuk menjaga kesehatan industri keuangan memang perlu untuk terus ditingkatkan, namun kepercayaan juga harus didahulukan agar tidak terjadi moral hazard di masyarakat.

“Jadi yang penting semua pihak menjaga kepercayaan dan kewenangan yang diberikan oleh lembaga baik OJK maupun BPK. Kita tidak ingin adanya moral hazard disatu sisi kita memang juga waspada,” kata Andreas ketika dihubungi oleh infobanknews di Jakarta, Kamis 14 Mei 2020.

Dirinya cukup mengapresiasi langkah audit BPK yang termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019. Dimana dalam pemeriksaannya, ada tujuh bank yang dikaitkan dengan kurangnya pengawasan dengan kadar masalah yang berbeda. 

Menurutnya kadar permasalahan ada pada kurangnya pengawasan dari OJK sehingga menyebabkan permasalahan di perbankan. “OJK protokol pengawasan belum efektif dan belum terlaksana. Kita menyadari itu karena yang mengawasi OJK ya DPR kita semua memandang pengawasan OJK kurang efektif,” ucap Andreas.

Dihubungi ditempat terpisah, Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno juga mempertanyakan kinerja OJK yang belum maksimal. Walau begitu, tidak sepatutnya nama bank yang kurang diawasi itu muncul ke publik.

“Hal ini dikhawatirkan ada risiko ke arah sana (nasabah panik) flight for quality, lari ke tempat yg lebih aman,” tambahnya.

Andreas kembali menambahkan, bahwa saat ini likuiditas perbankan masih cenderung stabil. Sebagai informasi saja, OJK mencatat stabilitas sektor jasa keuangan yang masih terjaga diidukung dengan tingkat permodalan yang tinggi. Pada Maret 2020, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) mengalami penurunan namun masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,72% dimana pada saat Desember 2019 sempat mencapai 23,31%.

Sedangkan untuk risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross sedikit meningkat namun masih terjaga di 2,77% dimana pada Desember 2019 mencapai 2,53%. Beberapa sektor pendorong tingginya NPL adalah sektor transportasi, pengolahan, perdagangan dan rumah tangga. (*)

Editor: Rezkiana Np

Suheriadi

Recent Posts

Pendapatan MNC Digital (MSIN) Rp2,30 T di September 2024, Laba Bersih Naik Signifikan

Jakarta - PT MNC Digital Entertainment Tbk (MSIN), anak perusahaan dari PT Media Nusantara Citra… Read More

2 hours ago

Krisis Daya Beli: Masyarakat Tetap Prioritaskan Kebutuhan Makanan

Jakarta - Penurunan jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat belakangan ini menimbulkan kekhawatiran di… Read More

2 hours ago

Prabowo Terima Surat Kepercayaan 7 Dubes Negara Sahabat, dari Eropa-Asia Tengah

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menerima surat kepercayaan dari tujuh Duta Besar Luar Biasa dan… Read More

3 hours ago

Unilever Food Solutions Perkenalkan 5 Tren Kuliner 2024 untuk Bisnis Horeka di Indonesia

Jakarta – Unilever Food Solutions (UFS), perusahaan penyedia layanan makanan profesional, memperkenalkan lima tren kuliner… Read More

3 hours ago

BCA Umumkan Penerima Hadiah Program Gebyar Badan Usaha 2024

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja memberikan sambutan saat acara pengumuman… Read More

4 hours ago

SuperApp BYOND by BSI Siap Meluncur Layanan Makin Lengkap, Lebih User Friendly, Semakin Aman

Suasana saat konferensi pers Pre-Grand Launching BYOND by BSI, di Jakarta. Karyawan tengah menunjukan SuperApp… Read More

4 hours ago