Jakarta — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mengubah pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan permodalan di Bank Muamalat yang berlarut-larut. Yakni, dari pendekatan pengawasan ke pendekatan supervisi.
Demikian rekomendasi The Chief Economist Forum dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan The Chief Economist Forum di Aromanis Restourant, Jakarta, Selasa, 10 Desember 2019.
Hadir sebagai narasumber M. Edhie Purnawan, ekonom UGM dan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI); A. Prasetyantoko, Rektor Unika Atmajaya; Piter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Sunarsip, Chief of Indonesia Economics Intelligent (IEI), dan Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute.
Seperti diketahui, Bank Muamalat mengalami masalah permodalan yang tak kunjung selesai karena dua hal. Pertama, pemegang saham existing tak kunjung menambah modal. Kedua, investor baru pun tak kunjung masuk, karena berbagai alasan.
Menurut Edhie Purnawan, sejatinya Bank Muamalat dalam kondisi sehat. Bahkan, jika merujuk pada histori, Bank Muamalat telah teruji menghadapi beberapa kali krisis, dan berhasil melewatinya dengan baik.
“Jangan hanya dilihat dari sisi finansialnya. Bank Muamalat memiliki sisi spiritual dan sisi sosial yang membedakannya dengan bank lain,” ujar Edhie Purnawan.
Bank Muamalat, lanjut Eko B. Supriyanto, juga memiliki customer base yang loyal karena merupakan bank syariah pertama di Indonesia. Modal politik Bank Muamalat juga kuat.
“Kalau masalah ini menimpa bukan Bank Muamalat mungkin sudah lewat,” ujar Eko B. Supriyanto.
Menurut Eko, untuk menyelesaikan masalah permodalan di Bank Muamalat, harus ada koordinasi kuat antara pemerintah (Menkeu), OJK, BI, LPS, dan Kementerian BUMN.
OJK sebagai pemegang otoritas, menurut Eko, juga harus mengubah pendekatan yang selama ini dipakai untuk menyelesaikan masalah di industri perbankan. “Dari pendekatan pengawasan ke pendekatan supervisi,” tegasnya.
Pendekatan supervisi yang dimaksud Eko adalah lebih mengedepankan relaksasi daripada penegakan aturan yang terkadang kaku. “Misalnya terkait investor, lebih baik terima yang ada dulu. Dilakukan secara bertahap dengan Tier 1 dan Tier 2. Yang penting transparan, butuh dana berapa, dan untuk program apa,” sarannya.
Hal senada diutarakan Piter Abdullah. Menurutnya, dengan masuknya modal baru, meski di bawah angka yang diharapkan OJK, setidaknya bisa mendorong bisnis Bank Muamalat.
“Relaksasi aturan di saat mendesak sangat diperlukan. Duduk bersama untuk menyepakati program penguatan permodalan,” ujar Piter.
Disingung munculnya usulan agar BUMN turut masuk memberikan permodalan, menurut Piter, peran BUMN sebaiknya sebatas technical assistance. “BUMN jangan terlibat dalam risiko finansial,” sarannya.
Sunarsip menambahkan, problem Bank Muamalat sebetulnya problem bisnis yang juga dialami bank lain. Untuk mengatasinya yakni dengan cara meningkatkan trust masyarakat.
“Bisnis bank adalah bisnis kepercayaan. Untuk bisa meningkatkankan bisnis, Bank Muamalat mesti kembali membangun kepercayaan masayarakat,” ujarnya. (*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More