oleh Eko B Supriyanto
BANK BANTEN dilebur “paksa” ke Bank BJB. Setelah pemiliknya, Pemda Banten, memindahkan dananya ke Bank BJB. Ini menjadi cerita buruk babak akhir Bank Banten. Entah kenapa sehingga pemilik kok menarik di “rumah”-nya sendiri. Aneh bin ajaib. Atau, karena pemiliknya sudah kapok setor modal akibat kinerja Bank Banten tak kinclong-kinclong. Perlu diwaspadai juga — kawin paksa ini tidak menularkan virus “buruk” Bank Banten ke Bank BJB.
Langkah cepat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk kawin paksa dinilai baik agar tidak merembet ke bank-bank lain. Kawin paksa itu merupakan salah satu jalan yang diyakini bisa memperkuat ketahanan industri perbankan. Agar bank-bank yang “batuk-batuk” tidak menulari bank lain. Penularan bank sakit sama seperti penularan virus COVID-19. Sangat cepat. Maka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun kali ini bertindak cepat dan antisipatif.
Pandemi COVID-19 telah merontokkan sektor riil, dan akan merembet ke sektor keuangan. Aktivitas ekonomi dilakukan secara “diam-diam”. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah marak. Ekonomi “letoy”, yang oleh Menteri Keuangan (Menkeu) – dengan skenario pesimistis – diperkirakan melorot hingga minus 0,4%.
Merger merupakan salah satu opsi untuk menyehatkan bank. Selain pengambilalihan, integrasi, dan peleburan. Nah, pasal 23 dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 inilah – yang sekarang sedang dibicarakan “bisik-bisik” oleh industri perbankan.
Langkah persiapan sudah diberikan, seperti stimulus dalam restrukturisasi kredit. Paket restrukturisasi kredit oleh OJK ini dinilai sangat baik untuk “menolong” bank dari beban NPL. Bayangkan, jika tidak ada relaksasi kredit ini, sudah pasti NPL akan terbang tinggi. Bank-bank tinggal menunggu kesulitan likuiditas dan pada akhirnya solvabilitas.
Hanya saja narasi atau komunikasi ke masyarakat tentang paket restrukturisasi masih berbau pencitraan; “Ojol tak lagi harus membayar cicilan”. Kesannya semua kredit tidak bayar angsuran. Paket ini secara substansi baik, apalagi asesmen dilakukan oleh bank atau multifinance. Pelonggaran penerapan PSAK 71 juga sangat membantu. Pun soal mark to market.
Nah, jangan sampai komunikasi ke masyarakat tentang perintah tertulis merger bank dari OJK ini seperti narasi ketika meluncurkan relaksasi kredit. Narasi yang dibangun, setidaknya bank-bank masih cukup sound dan jika ada bank-bank “batuk” sudah disiapkan perangkat aturannya. Bahkan, membi-ca-rakan bank flu saja menjadi sangat hati-hati. Apalagi, “bocornya” hasil stress test tentang bank yang akan bangkrut.
Tidak hanya itu. Dalam komunikasi ke publik jangan dikesankan bahwa bank-bank kecillah yang paling kena sasaran. Harus diakui juga, bank-bank yang belum punya modal di atas Rp1 triliun di akhir tahun ini sedang khawatir menerima “surat cinta” tentang merger ini.
Ketakutan bank-bank itu tidak perlu dibesar-besarkan. Meski aturan POJK tentang modal yang dikeluarkan akhir tahun lalu itu tentu tidak dikesankan akan diberlakukan serta-merta dengan perintah tertulis ini. Isu modal minimum Rp1 triliun hanya akan berlaku sampai dengan akhir 2020. Tahun 2021 untuk modal Rp2 triliun dan 2022 untuk modal Rp3 triliun.
Perintah tertulis OJK untuk merger, pengambilalihan, peleburan maupun integrasi diperuntukkan bagi bank-bank yang “batuk-batuk”. Tidak diperuntuk-kan bagi bank yang modalnya di bawah Rp1 triliun. POJK 18/03/2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank ini – juga bisa disyaratkan bahwa bank-bank diperkirakan akan terkena dampak COVID-19.
Itu pun, kalau ada bank “batuk-batuk”, pemiliknya masih dipanggil untuk setor modal atau membuat rencana penyelesaian. Dan, membaca pe-rintah tertulis dari OJK ini hanya semata-mata agar tidak terjadi penularan ke bank lain. Atau, mence-gah penularan yang lebih luas ke bank-bank yang sehat.
Pengalaman, saat krisis (1998 dan 2008) sekecil apa pun bank jika sakit tetap akan memengaruhi psiko-logis nasabah dari bank lain. POJK 18 itu tidak perlu direspons dengan keta-kutan. Sepanjang bank Anda sehat, OJK tak akan memaksa bank-bank untuk kawin.
Hanya, yang perlu direnungkan – semoga Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan judicial reviewamandemen Perppu Nomor 1 Tahun 2020, pasal 27, tentang biaya krisis bukan merupakan kerugian negara. Pasal ini penting — karena siapa yang mau membuat keputusan — kalau 10 tahun yang akan datang dipolitisasi dan dikriminalisasi. Dan, menjadi tanggung jawab pribadi. Contohnya seperti langkah gemilang penyehatan Bank Century dan kebijakan BLBI, meski sudah enam presiden agree tetap saja dikriminalisasi sampai sekarang.
Sedia payung sebelum krisis. Itulah makna penting Perppu Nomor 1 dan POJK 18. Langkah kuda dari OJK ini perlu diapresiasi. Sekaligus harus dikomunikasikan dengan baik dengan narasi yang hati-hati, dan jangan sampai berbalik arah seperti soal restrukturisasi kredit kemarin. (*)
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank
Jakarta - Stasiun Whoosh Karawang akan resmi melayani penumpang mulai 24 Desember 2024. Pembukaan ini… Read More
Jakarta – Pemerintah tengah mempersiapkan aturan mengenai revisi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA)… Read More
Jakarta - PT Bank JTrust Indonesia Tbk (J Trust Bank) terus melakukan ekspansi bisnis dengan memperluas… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) bersama Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) pionir layanan dan Perum DAMRI… Read More
Jakarta – Bank Mandiri kembali menegaskan komitmennya dalam pemberdayaan ekonomi perempuan melalui kolaborasi strategis dengan… Read More
Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (20/12) kembali ditutup bertahan pada… Read More