oleh Agung Galih Satwiko
JUMAT minggu lalu, 27 April 2016, MarketWatch mengulas mengenai utang yang semakin meningkat pascakrisis 2008. Sebelumnya juga ramai diberitakan mengenai eksposur utang China yang telah meningkat drastis dan diperkirakan mencapai level yang membahayakan. George Soros termasuk yang mengingatkan mengenai potensi krisis akibat utang di China yang meningkat signifikan dan berpotensi mempengaruhi stabilitas sistem keuangan dan ekonomi di negara lain.
Sejak krisis 2008 hampir semua Negara mengalami peningkatan utang yang signifikan. Tidak hanya Pemerintah, namun utang korporasi dan rumah tangga juga meningkat. Pemerintah berutang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui stimulus fiskal, sementara korporasi dan rumah tangga berutang karena tingkat bunga yang rendah akibat kebijakan moneter akomodatif pascakrisis. Peningkatan utang ini kini dipersoalkan sebagian pengamat yang mengkhawatirkan potensi krisis di masa mendatang.
McKinsey Global Institute dalam studi mengenai tren utang pasca krisis yang diterbitkan tahun lalu menyebutkan bahwa pasca krisis 2008 total utang global telah meningkat hampir USD60 triliun atau 75% dari total global GDP. Utang China sebagai contoh, telah meningkat dari sekitar USD7 triliun pada akhir 2007 menjadi USD28 triliun pada pertengahan 2014, naik empat kali lipat, dan mencapai level 282% terhadap GDP.
Menurut McKinsey Global Institute perkembangan utang di China telah mengkhawatirkan paling tidak untuk tiga alasan: (1) separuh utang tersebut berkaitan baik langsung maupun tidak langsung dengan properti, sementara pasar properti di China sudah menunjukkan gejala overheating, (2) sebanyak separuh dari utang baru terkait dengan praktik shadow banking, termasuk online lending, dan (3) banyak utang dari pemerintah daerah di China yang tidak aman atau tidak sustainable. Namun meskipun demikian McKinsey Global Institute melihat China memiliki kapasitas untuk melakukan bail out terhadap sektor keuangan seandainya terjadi krisis. Tantangan ke depan ialah bagaimana China mengelola perkembangan utang dan mengurangi risiko krisis tersebut, tanpa mengerem pertumbuhan ekonomi.
Terlepas dari China, apakah tren peningkatan utang global pasca krisis 2008 tidak sustainable? Secara umum ekonomi global yang mengalami peningkatan utang, namun tidak mampu meningkatkan permintaan agregat yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah panjang, berada di dalam jalur yang berisiko. Namun untuk melihat seberapa besar risikonya perlu memperhatikan beberapa faktor.
Faktor pertama yaitu komposisi utang, misalnya utang Pemerintah, rumah tangga, korporasi sektor nonkeuangan, dan korporasi sekor keuangan. Masing-masing sektor akan membawa dampak dan potensi risiko yang berbeda terhadap ekonomi. Utang sektor rumah tangga misalnya berisiko karena penurunan harga asset misalnya harga properti yang menjadi jaminan utang akan ditranslasikan secara cepat dalam bentuk pengurangan konsumsi, yang menjalar ke penurunan permintaan agregat, penurunan investasi dan produksi, pemecatan pekerja, peningkatan NPL perbankan dan penurunan pertumbuhan ekonomi.
Faktor kedua ialah tingkat pertumbuhan nominal (nominal growth), yaitu secara sederhana pertumbuhan riil (real growth) ditambah dengan inflasi. Saat ini pertumbuhan riil relatif rendah, sementara inflasi juga rendah. Kedua hal ini membawa dampak yang berbeda bagi kreditor maupun debitor. Bagi kreditor inflasi yang rendah membuat nilai aset meningkat, karena kenaikan harga aset lebih cepat dari inflasi. Sementara bagi debitor, inflasi yang rendah/turun membuat utang yang sudah dilakukan sebelumnya menjadi lebih besar (karena sudah mengunci pada tingkat bunga yang lebih tinggi sebelumnya). Akibatnya nilai perusahaan kreditor meningkat sementara debitor turun. Namun demikian dalam situasi pertumbuhan ekonomi riil yang menurun, risiko default meningkat. Sehingga pada dasarnya peningkatan nilai perusahaan kreditor merupakan ilusi. Jika terjadi default maka tidak akan ada pemenang (nobody wins).
Faktor ketiga yaitu kebijakan moneter dan tingkat bunga. Saat ini banyak ekonomi yang tingkat bunga acuannya sudah berada di sekitar nol persen. Bahkan beberapa sudah memasuki teritori tingkat bunga negatif. Tingkat bunga yang rendah membuat peningkatan utang sovereign seolah berada pada jalur yang aman. Kebijakan moneter yang sangat akomodatif meningkatkan insentif bagi sovereign untuk lebih banyak berutang. Apabila utang tersebut digunakan untuk hal-hal yang positif seperti untuk belanja investasi, infrastruktur dan termasuk juga subsidi langsung yang tepat, maka peningkatan utang akan terjustifikasi. Namun jika utang digunakan untuk belanja operasional termasuk membayar bunga utang maka utang tersebut sejatinya sudah tidak sustainable.
Dalam hal ini Indonesia semestinya mulai memikirkan jalan keluar dari keseimbangan primer yang dalam beberapa tahun terakhir ini selalu negatif. Keseimbangan primer yang negatif berarti penambahan utang dilakukan untuk membayar bunga utang, tidak hanya untuk membiayai kembali utang yang jatuh tempo. Kondisi ini jika dibiarkan akan membuat utang menjadi tidak sustainable.
Pada kesimpulannya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perhatian khusus perlu diberikan pada jenis utang yang diakumulasi oleh suatu ekonomi. Utang yang digunakan untuk meningkatkan investasi merupakan ide yang bagus. Sebaliknya utang yang digunakan untuk membiayai operasi saat ini, dan juga untuk meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek merupakan utang yang berisiko. Utang publik harus diarahkan untuk mendorong investasi termasuk mendorong investasi swasta. (*)
Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK
Jakarta – Sejumlah komunitas otomotif mengapresiasi kinerja Satgas Nataru Pertamina dalam menjaga ketersedian pasokan bahan… Read More
Jakarta - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) terus mendorong ekspor gula aren Indonesia yang semakin… Read More
Jakarta - Karcher Indonesia menghadirkan solusi kebersihan rumah tangga dalam ajang Big Bang Festival 2024,… Read More
Jakarta - Bank Mandiri terus berkomitmen untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat sesuai program yang dicanangkan… Read More
Jakarta – Pemerintah menetapkan target penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp300 triliun untuk 2025. Hal ini ditetapkan dengan… Read More
Jakarta - Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus Komisaris PT PLN (Persero), Aminuddin… Read More