Jakarta – Pengamat Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyampaikan Indonesia harus mempertimbangkan secara strategis langkah negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) mengenai kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump.
“Pemerintah Tiongkok secara tegas memperingatkan negara mana pun yang mencoba menegosiasikan keringanan tarif. Di saat yang sama, Indonesia mengirim delegasi ekonomi ke Amerika Serikat,” ujar Syafruddin dalam keterangannya, Selasa, 22 April 2025.
Syafruddin menjelaskan, langkah tergesa-gesa tersebut dapat merugikan Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip bebas dan aktif. Menurutnya, justru saat ini Indonesia memiliki peluang untuk menjadi jangkar stabilitas dan penengah di antara dua kekuatan ekonomi global, yakni AS dan China.
“Kita harus tampil sebagai negara yang berdaulat dan percaya diri, terlebih dengan sejarah panjang politik luar negeri bebas-aktif yang telah menjadi fondasi diplomasi kita sejak awal kemerdekaan. Kita tidak harus mengikuti logika besar yang hanya menguntungkan satu kutub kekuatan,” tandasnya.
Syafruddin menegaskan bahwa Indonesia, sebagai pemegang kepemimpinan D8 dan anggota aktif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), ASEAN, serta BRICS, harus mampu memanfaatkan legitimasi politiknya untuk mengadvokasi sistem perdagangan global yang adil dan seimbang.
Baca juga: Ekonomi Sepekan: AS vs China Makin Memanas hingga Utang Luar Negeri RI Turun
Sebagaimana diketahui, ASEAN merupakan mitra dagang utama baik bagi AS maupun China, sehingga menjadi wilayah yang paling terdampak oleh tensi perdagangan.
Adapun China tercatat sebagai mitra dagang terbesar ASEAN dengan nilai perdagangan mencapai USD 234 miliar hanya pada kuartal pertama 2025.
Sementara itu, total perdagangan ASEAN-AS pada 2024 mencapai sekitar USD 476,8 miliar.
Diplomasi Ekonomi Berbasis Kekuatan Domestik
Menurut Syafruddin, pemerintah perlu menunjukkan bahwa Indonesia mampu berdiskusi dengan AS bukan hanya sebagai pihak yang mengajukan konsesi, melainkan sebagai mitra strategis yang dilandasi semangat saling menghormati, bukan dalam relasi kuasa yang timpang.
Ia menekankan bahwa langkah konkret yang bisa ditempuh antara lain menyusun ulang prioritas diplomasi ekonomi dengan berbasis pada kekuatan domestik, bukan pada asumsi ketergantungan.
“Kita perlu memperkuat industri dalam negeri, memperbaiki hambatan teknis ekspor, serta menyiapkan strategi diplomasi yang solid dan lintas sektoral. Kepercayaan diri dalam bernegosiasi lahir dari kapasitas internal yang kokoh,” katanya.
Baca juga: RI Lobi AS Tekan Tarif Ekspor, Ini Isi Tawarannya
Peluang Investasi dan Risiko Kehilangan Kepercayaan
Lebih lanjut, Syafruddin menyampaikan bahwa skenario tersebut dapat membentuk posisi Indonesia sebagai mitra sejajar bagi dua kekuatan besar dunia.
Dengan begitu, Indonesia tidak perlu takut kehilangan salah satu pasar karena telah berhasil mendiversifikasi orientasi dagangnya dan memperluas basis industrinya.
Dalam kondisi tersebut, peluang investasi justru akan lebih besar karena Indonesia dinilai sebagai mitra yang stabil dan rasional.
Sebaliknya, jika Indonesia tidak segera memperjelas posisi dan arah negosiasinya, maka berisiko kehilangan kepercayaan dari kedua belah pihak.
“Kita bisa terjebak dalam situasi di mana harus terus-menerus memberikan konsesi tanpa memperoleh timbal balik yang memadai. Dalam jangka panjang, ini bisa merugikan struktur ekonomi nasional dan menurunkan daya tawar Indonesia di forum global,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra