Oleh Chandra Bagus Sulistyo
INDONESIA turut berpartisipasi aktif dalam pengelolaan lingkungan dan pengendalian perubahan iklim. Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sesi kerja mitra G7, ketika membahas soal iklim, energi, dan lingkungan di Grand Prince Hotel Hiroshima, Jepang (20/5). Presiden menekankan bahwa bumi membutuhkan aksi nyata dalam menghadapi ancaman perubahan iklim.
Indonesia sendiri telah meningkatkan target penurunan emisi sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,2% merupakan dukungan internasional. Presiden juga menegaskan bahwa dukungan pendanaan iklim bagi negara berkembang harus konstruktif dan jauh dari kebijakan diskriminatif yang mengatasnamakan lingkungan.
Langkah konkret Indonesia dalam merawat dan menjaga kelestarian bumi antara lain melalui laju deforestasi yang turun signifikan dan terendah selama 20 tahun terakhir; rehabilitasi 600.000 hektare hutan mangrove yang selesai di 2024; rehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis; kebakaran hutan yang turun 88%; membangun 30.000 hektare kawasan industri hijau; usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hijau; dan mendorong pengembangan ekosistem electric vehicle.
Peran UMKM Hijau
Terkait dengan apa yang disampaikan Presiden dalam G7 di Jepang itu, penulis mencoba menelaah komitmen Indonesia terkait isu lingkungan dan perubahan iklim dengan fokus untuk membahas UMKM hijau. Mengapa harus membahas UMKM? Peran UMKM secara nasional sangat vital bagi ekonomi nasional berkelanjutan. Jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 61,07% atau Rp8.573,89 triliun. UMKM mampu menyerap 97% dari total angkatan kerja dan menghimpun 60,42% dari total investasi di Indonesia.
Lantas, kenapa memasukkan objek UMKM hijau? Ada dua alasan yang menjadi penguat. Satu, karena share sektor pertanian terhadap share UMKM sebesar 52,0%. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan didominasi praktik yang belum ramah lingkungan sehingga perubahan iklim akan menurunkan produktivitasnya, dan memengaruhi ketahanan pangan.
Dua, terdapat 14,0% kontribusi UMKM di sektor kriya untuk PDB ekonomi kreatif. Di mana, sektor industri lainnya, yaitu kriya, menduduki posisi ketiga setelah kuliner dan fesyen, serta menghadapi permasalahan stagnasi dan isu lingkungan berupa waste yang dihasilkan.
Ilustrasi tersebut memberikan sinyalemen bahwa peran UMKM cukup signifikan terhadap isu perubahan iklim, inklusivitas pertumbuhan, serta dampak pada kerusakan lingkungan. Selain itu, saat ini demand dunia internasional akan produk-produk hijau makin meningkat. Hal ini didukung data Departemen Kebijakan Makroprudensial BI (2022) yang menginformasikan tentang meningkatnya demand terhadap produk hijau, pajak karbon, serta penurunan rating bagi perusahaan nonhijau.
Lalu, apa definisi UMKM hijau? Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Firdaus, UMKM hijau adalah pelaku usaha yang mampu mengolaborasikan konsep hijau, yang pada akhirnya mampu menghasilkan produk berwawasan ramah lingkungan. Definisi lainnya, berdasarkan Koirala (OECD, 2019), UMKM hijau merupakan UMKM yang berkontribusi pada perlindungan iklim, lingkungan, keanekaragaman hayati melalui produk, layanan, dan praktik bisnisnya.
UMKM yang berkelanjutan menjadi penyeimbang dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi. Kesimpulannya, UMKM hijau adalah UMKM yang mengelaborasi konsep bisnis hijau dengan mengembangkan green process dan green output, di mana di dalamnya berkomitmen pada prinsip berkelanjutan dan rantai nilai ekonomi sirkular untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Magnet UMKM Hijau
Agar implementasi UMKM hijau berjalan dengan masif, objeknya harus mendapat manfaat dan keuntungan dari model bisnis yang dijalankannya. Pertama, pelaku UMKM hijau harus diberi kesempatan ekspor. Saat ini sudah banyak negara pengimpor yang menerapkan kebijakan terkait dengan industri rendah karbon. Dengan adanya kebijakan itu, proses ekspor dan impor di beberapa negara menerapkan pajak untuk meminimalisasi penggunaan emisi karbon. Dengan menerapkan UMKM hijau, produk-produk mereka akan terpilih untuk dapat melakukan ekspor ke negara lain, dan tentunya dengan harga yang eksklusif.
Kedua, menciptakan peluang usaha baru. Transisi dari kegiatan ekonomi konvensional ke UMKM hijau sangat menantang, tapi penerapan ekonomi hijau akan berpotensi membuka lapangan kerja dan peluang usaha yang besar. Berdasarkan data Word Economic Forum 2020, transisi ekonomi hijau bisa menghasilkan peluang usaha senilai US$10,1 triliun dan 395 juta lapangan kerja sampai dengan 2030. Selain itu, akses keuangan modal akan makin meluas sebab ada kecenderungan investor berminat untuk melakukan investasi di sektor ekonomi hijau. Tentu, hal ini bermanfat, mengingat sektor UMKM memerlukan pendanaan, baik dari pinjaman maupun investasi, guna kelangsungan usahanya.
Ketiga, merealisasikan Sustainable Development Goals (SDGs). Seperti telah diketahui, tujuan penerapan UMKM hijau adalah menciptakan kegiatan ekonomi yang tidak menghasilkan emisi karbon dan menitikberatkan pada proteksi lingkungan. Kegiatan ekonomi hijau juga meminimalisasi penggunaan sumber daya alam, yang tentu bermanfaat bagi UMKM untuk mengurangi pengeluaran operasionalnya.
Model Bisnis UMKM Hijau
BI telah mengeluarkan inisiatif keuangan hijau sejak 2010. Pada 2012 BI juga tercatat sebagai pendiri Sustainable Banking Network dan menerbitkan Green Lending Model. Saat ini BI tengah mengembangkan kerangka Kebijakan Keuangan Hijau dengan pilar penguatan kebijakan makroprudensial hijau, pendalaman pasar keuangan hijau dan pasar karbon, serta pengembangan UMKM hijau yang bertujuan mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Khusus pilar makroprudensial hijau, implementasinya terlihat dari pengaturan rasio loan/financing to value untuk properti berwawasan lingkungan (KPR hijau) dan uang muka pemberian kredit/pembiayaan kendaraan bermotor berwawasan lingkungan (KKB hijau).
Untuk klasifikasi UMKM hijau, BI mengembangkan dan memodifikasi kajian Koirala (2019) dengan tiga model. Satu, eco adopter: hanya pengadopsi praktik ramah lingkungan. Keberlanjutan bukan bagian inti model bisnis, sudah mengadopsi praktik ramah lingkungan, keberlanjutan adalah bagian dari inti model bisnis, dan dapat menangkap peluang “pasar hijau”.
Dua, eco entrepreneur: sudah mengadopsi praktik ramah lingkungan, keberlanjutan adalah bagian dari inti model bisnis, dan dapat menangkap peluang “pasar hijau”. Tiga, eco innovator: sudah melakukan eco innovation untuk meningkatkan produksi, proses produksi, pemasaran, organisasi, praktik bisnis, dan hubungan eksternal yang ditujukan untuk mengurangi dampak lingkungan.
Sementara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahun 2014, yang menjadi kerangka acuan bagi lembaga keuangan untuk berperan aktif dan berkontribusi positif dalam proses pembangunan yang berkelanjutan. Roadmap ini berisi panduan capaian keuangan berkelanjutan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Peraturan OJK (POJK) No. 60 Tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond) dikeluarkan sebagai sumber pembiayaan bagi kegiatan usaha berbasis lingkungan. Pada 2022 OJK merilis dokumen Taksonomi Hijau yang memilah sektor dan subsektor usaha yang ramah, kurang ramah, dan tidak ramah lingkungan.
Ada tiga klasifikasi kriteria pada Taksonomi Hijau. Satu, “hijau”, yaitu “do no significant harm apply minimum safeguard provide positive impact to the environment and align with the environmental objective of the taxonomy”. Dua, “kuning”, yang berarti “do no significant harm”. Tiga, “merah”, yang berarti “harmful activities”. Ini akan memberikan pedoman perbankan dalam menyalurkan kredit hijau.
Keterlibatan Perbankan
Isu perubahan iklim merupakan ancaman global yang juga sama dampaknya dengan pandemi COVID-19. Peran ini tak hanya terbatas pada pemerintah, tapi juga partisipasi perbankan. Elemen pembiayaan dalam menurunkan emisi karbon sangat penting sehingga diperlukan berbagai inisiatif juga dari sektor jasa keuangan untuk ikut berperan dalam melestarikan lingkungan. Sudah banyak pengelola dana besar yang mengalihkan sebagian investasinya pada instrumen investasi yang mendukung pelestarian lingkungan.
Banyak masyarakat yang belum menyadari pentingnya perekonomian berkelanjutan dan dampaknya bagi lingkungan serta kehidupan di masa mendatang. Untuk itu, perbankan dapat berperan mendukung sosialisasi serta menggerakkan perubahan industri untuk berpindah dari praktik konvensional ke pengelolaan usaha secara berkelanjutan.
Salah satu implementasi riil dari pendanaan yang berkelanjutan adalah dengan tidak memberikan pinjaman modal bagi usaha yang berpotensi merusak lingkungan. Karena itu, perbankan didorong untuk bisa mengintegrasikan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola usaha ke dalam kebijakan kredit dan investasi yang diberikannya.
Tentu saja hal itu membutuhkan investasi yang cukup besar. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan, hingga 2035 kebutuhan dana investasi untuk clean energy sekitar US$2,4 triliun per tahun. Lalu, sampai dengan 2050 terdapat kebutuhan dana sekitar US$1,6 triliun dan US$3,8 triliun per tahun untuk investasi dalam sistem pasokan energi.
Mengingat kebutuhan investasi yang signifikan, sektor keuangan diharapkan memainkan peran penting sebagai tulang punggung ekonomi riil dalam menyediakan sumber daya keuangan. Sektor perbankan tak hanya memenuhi kebutuhan keuangan sektor usaha, tapi juga menyalurkan kredit ke rumah tangga dan individu.
Karena itu, ada beberapa hal yang mesti dilakukan perbankan dalam mendukung UMKM hijau dan ekonomi berkelanjutan. Pertama, meningkatkan pembiayaan perbankan di sektor environmental, social, and governance (ESG) yang mencakup berbagai aspek. Peran bank dalam membiayai transisi ke UMKM hijau dan ekonomi berkelanjutan adalah untuk membuka investasi swasta, menjembatani penawaran dan permintaan dengan mempertimbangkan seluruh spektrum risiko, dan mengevaluasi proyek dari perspektif ekonomi dan lingkungan (EBF 2017).
Kedua, mendorong komitmen pelaku bisnis untuk menerapkan konsep UMKM hijau dan ekonomi berkelanjutan. Karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif kepada bank maupun pelaku bisnis yang ramah lingkungan dan disinsentif bagi bisnis yang merusak lingkungan.
Ketiga, secara paralel perbankan harus mulai menghijaukan operasinya. Bank-bank segera mengintegrasikan risiko lingkungan dan perubahan iklim ke dalam strategi dan sistem manajemen risikonya. Ke depan, makin hari makin banyak bank yang berkeinginan menjadi lebih hijau dan mulai meluncurkan produk keuangan hijau. Ini tidak hanya untuk meningkatkan nilai ekonominya, tapi juga untuk menjadi good corporate citizens.
Produk keuangan hijau mendorong bank untuk mematuhi peraturan atau pedoman pemerintah, meningkatkan reputasi perusahaan, dan menangkap peluang bisnis yang muncul. Ukuran pasar hijau terus tumbuh dan diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi.
Keempat, perluasan segmen. Perbankan harus memperluas cakupan segmen untuk penyaluran kredit keuangan berkelanjutan. Perbankan tak hanya terfokus pada sektor usaha energi terbarukan dan air bersih. Harus dielaborasi lebih luas, seperti pada segmen pelestarian lingkungan, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya dan penguatan lahan, UMKM, infrastruktur dasar, pengelolaan air limbah berkelanjutan, transportasi bersih, sektor energi bersih, panel surya, efisiensi energi, gedung hijau, dan sektor hijau.
Harapannya, melalui komitmen yang kuat, dukungan perbankan dalam UMKM hijau menjadi lebih optimal. Mengingat, hal itu akan memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional, pembangunan berkelanjutan, dan “Indonesia Maju 2045”.
*) Penulis adalah Group Head of Government Program, Division Business Program BNI.
Jakarta – KB Bank menjalin kemitraan dengan PT Tripatra Engineers and Constructors (Tripatra) melalui program… Read More
Jakarta – Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini, Kamis, 19 Desember 2024, kembali… Read More
Jakarta - Di tengah tantangan global yang terus meningkat, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan segera meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) berbasis NFC (Near Field Communication)… Read More
Jakarta – PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) buka suara soal isu kebocoran data nasabah yang disebabkan… Read More
Jakarta - PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) menjalin kolaborasi strategis dengan menyalurkan pembiayaan sebesar Rp327,3… Read More