Suku bunga yang rendah diharapkan dapat mendorong permintaan kredit yang pada gilirannya akan meningkatkan aktivitas perekonomian. Krisna Wijaya
Jakarta--Setelah paket kebijakan ekonomi (PKE) dikeluarkan secara serial dari satu sampai dengan empat, banyak pihak berpendapat, secara efektif kebijakan tersebut belum memberikan dampak signifikan. Seyogianya semua pihak tidak cepat memberikan pandangan seperti itu karena semua kebijakan ekonomi pada umumnya dan terkait dengan kebijakan moneter pada khususnya selalu mengalami time lag, masa jeda. Artinya, diperlukan waktu karena adanya transmisi dari sebuah kebijakan yang terkait dengan berbagai aspek, utamanya birokrasi dan kelembagaan yang terkait. Tidak ada rumusan yang baku berkaitan dengan time lag, misalnya, harus berapa lama. Namun, pada umumnya makin cepat time lag-nya diartikan sebagai makin tepat dan efektifnya suatu kebijakan.
Dalam proses transmisi kebijakan yang sekarang sedang berjalan, ada isu lain yang menjadi harapan pemerintah, yaitu agar suku bunga bank dapat diturunkan. Dengan suku bunga yang rendah diharapkan permintaan kredit akan meningkat yang pada gilirannya akan meningkatkan aktivitas perekonomian. Suku bunga yang rendah juga akan mengurangi beban biaya produksi sehingga tingkat harga jual menjadi makin terjangkau oleh sebagian besar konsumen.
Penurunan suku bunga bank pada umumnya sering dihadapkan pada ekspektasi yang berlawanan arah. Siapa saja ketika akan menyimpan uangnya di bank selalu menginginkan suku bunga yang setinggi mungkin. Sebaliknya, ketika seseorang memerlukan kredit ekspektasinya ialah mendapatkan suku bunga kredit serendah mungkin. Dengan kondisi seperti itu, tentunya menjadi menyulitkan bank untuk merumuskan tingkat suku bunga yang bisa memenuhi kedua harapan yang saling berlawanan. Bagaimanapun bank harus mempunyai keuntungan yang rasional sebagai bagian dari kesinambungan usahanya. Dengan perolehan laba yang terukur dan memadai, hal itu akan memberikan ruang yang lebih besar bagi bank untuk melakukan ekspansi kredit karena permodalannya makin kuat.
Dengan memerhatikan pengalaman sejak Orde Baru sampai dengan sekarang, kondisi perbankan secara nasional selalu dalam keadaan investment gap, saat bank belum bisa memenuhi semua dana untuk kreditnya berasal dari dana pihak ketiga (DPK), yaitu dana yang berasal dari masyarakat. Pertumbuhan kredit selalu di atas pertumbuhan DPK sehingga untuk mencukupi kebutuhan dananya harus dipenuhi melalui pinjaman, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Mungkin pada era itu alasannya ialah untuk memacu pertumbuhan ekonomi sehingga penerapan suku bunga rendah dilakukan melalui subsidi dari pemerintah dan/atau pinjaman dari Bank Indonesia (BI) melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Pendekatan tersebut tampaknya agak sulit untuk diterapkan kembali dan kalau bank diharapkan bisa memberikan kredit murah satu-satunya cara ialah melalui subsidi bunga.
Menjadi pertanyaan tentunya. Apakah keinginan pemerintah agar perbankan menurunkan suku bunga secara signifikan akan disertai dengan pemberian subsidi bunga? Dengan banyak pertimbangan dan belajar dari masa lalu, seyogianya pemberian subsidi suku bunga sebisa mungkin dihindari. Kalaupun akan dilakukan, seyogianya hanya untuk kredit bagi kelompok pengusaha mikro dan kecil, misalnya. Ini pun harus diperhitungkan secara saksama, khususnya dalam konteks kemampuan keuangan pemerintah. Ini pun harus disertai dengan pengawasan yang efektif agar pemberian subsidi bunga tidak menyuburkan moral hazard dalam bentuk penyalahgunaan.
Penurunan permintaan kredit memang bisa terjadi karena tingginya tingkat suku bunga. Namun, sejatinya tidak selalu masalah suku bunga yang menjadi penyebabnya. Misalnya, masih ada kebijakan yang diberlakukan sering kali tumpang tindih sehingga sekadar mengurus perizinan masih tidak efektif dan efisien. Bukan rahasia lagi kalau apa yang disebut high cost economy dalam kenyataannya masih belum bisa hilang, yaitu berupa biaya atau pungutan-pungutan tidak resmi. Memang ada kemauan yang kuat dari pemerintah untuk menghilangkannya melalui debirokratisasi. Hanya saja semua itu memerlukan waktu sehingga bisa terjadi kalau terjadi penurunan permintaan kredit bukan karena faktor suku bunga.
Keinginan pemerintah agar suku bunga perbankan bisa turun secara signifikan tentunya tidak salah. Hanya saja kajiannya harus lebih komprehensif sehingga dapat diyakini bahwa penurunan suku bunga secara signifikan akan meningkatkan permintaan kredit. Meningkatnya permintaan kredit tersebut tentunya harus berkualitas sehingga tidak menimbulkan masalah pada kemudian hari dengan meningkatnya tunggakan dan kredit macet.
Banyak pengalaman pada masa lalu manakala keinginan pemerintah untuk tujuan yang baik, khususnya dalam meningkatkan permintaan kredit, berujung pada hasil akhir dengan membengkaknya tunggakan dan kredit macet. Mengapa kecenderungan tersebut berulang karena sering kali asumsi terjadinya kelesuan ekonomi lebih banyak disebabkan oleh sulitnya mendapatkan kredit yang disebabkan oleh tingginya tingkat suku bunga. Padahal, suku bunga merupakan salah satu variabel permintaan kredit.
Penulis adalah pengamat perbankan.
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More
Suasana saat penyerahan sertifikat Predikat Platinum Green Building dari Green Building Council Indonesia (GBCI) Jakarta.… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) melaporkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Oktober 2024 mencapai Rp8.460,6 triliun,… Read More